Part 43 - What if

1.3K 259 54
                                    

Ini part panjang banget karena keterusan. Enjoy!

***

Sudah hari kelima dan ayah Jan bisa dikunjungi. Kondisi dia dan Maja juga sudah membaik. Admaja masih harus menjalani rawat jalan, sama seperti dirinya sekalipun pada kasusnya bukan karena luka-luka. Lebih kepada kehamilannya. Mereka berdua sedang mengemasi barang-barang dan bersiap pergi menuju kamar ayah saat pintu ruangan mereka diketuk. Matanya menatap Maja mengira bahwa suaminya yang sedang menunggu seseorang. Kepala Maja menggeleng perlahan.

"Masuk," jawab Maja.

Sosok ayah Jan yang duduk dikursi roda lengkap dengan infus dan oksigen muncul bersama suster dan mama yang berada di belakangnya. Keterkejutan membuat dia melangkah mendekati ayah. "Loh, Pa? Daya baru saja mau ke sana."

Satu tangan ayah mengisyaratkan agar dia berhenti dan refleks tubuhnya menuruti. Ayah melepas masker oksigen dan memberikannya pada suster. "Apa kalian bisa meninggalkan saya bersama menantu saya?"

Semua orang mengerti hingga hanya mengangguk dan meninggalkan mereka berdua. Pintu sudah tertutup di belakang ayah. Sisa jarak mereka hanya tiga langkah saja. Sosok ayah yang biasanya berwibawa, kuat, serta tegas sirna. Mata ayah terus menatapnya. Ada banyak rasa bersalah, sedih, juga sesal yang membuncah pada manik mata itu. Hingga sosok ayah menjadi rapuh.

"Daya..."

Saliva dia loloskan karena sungguh dia tidak ingin situasi ini terjadi. Dia mendekat lalu menurunkan tubuhnya hingga bertumpu pada lutut. "Papa, tidak perlu bilang..."

"Tolong, biarkan saya bicara."

Mulutnya bungkam kaku, titik air mata juga mulai datang mengisi sudutnya. Dua tangan ayah menyentuh bahunya lembut.

"Kamu mirip sekali dengan Dany. Mata yang tegas dan tajam, juga cara bicaramu. Rambut hitammu mirip dengan ibumu, juga senyummu. Kamu cantik dan kuat sekali," ayah diam sejenak. "Saya melihatmu terluka dalam, kemudian bangkit dan tumbuh menjadi wanita yang mempesona. Seringkali saya berpikir untuk meminta Maja berkenalan denganmu. Tapi, saya merasa kami tidak pantas untukmu. Jadi saya selalu urungkan niat itu. Sampai akhirnya takdir membawamu ke rumah kami."

Setetes air mata jatuh di pipinya, juga pipi ayah.

"Saya yang bersalah. Karena urusan pribadi saya, keluargamu celaka. Kamu celaka." Suara ayah bergetar. Dia sendiri sudah tidak bisa menahan air mata yang terus jatuh satu-satu. "Tolong maafkan saya, entah kapan, maafkan saya." Ada jeda di sana. "Selamanya kamu akan selalu jadi bagian dari keluarga Hadijaya, anak Papa dan Mama juga."

"Mama...juga bilang begitu," bisiknya. Karena tidak tahan, dia memeluk tubuh ayah dan menangis di sana. "Jangan bilang apa-apa lagi. Semua sudah terjadi, Daya sudah maafkan semua."

"Saya sangat menyesal karena baru memiliki keberanian untuk bicara begini. Maafkan saya."

Kepalanya menggeleng perlahan sambil terus memeluk tubuh ayah. Awalnya, dia jatuh cinta pada keluarga ini, bukan dengan Admaja. Keluarga hangat, terbuka, persis seperti keluarganya dulu. Mama Fe yang selalu perhatian sekali, Adeline yang selalu mendukungnya, juga Papa Janadi yang diam-diam selalu melindunginya bahkan tanpa dia tahu. Lalu ketulusan Admaja dia bisa rasakan juga. Betapa laki-laki menyebalkan itu selalu keras kepala dan tidak mau pergi, terus berada disisinya.

Pelukan dia longgarkan. Air mata dia hapus seperti ayah yang sedang menghapus air mata juga. Kemudian dia tersenyum. "Daya sudah maafkan, Papa jangan minta maaf lagi," nafas dia hirup dalam. "Papa fokus pada kesehatan Papa. Maja mau bolos soalnya," kekehnya.

Ayah tersenyum lebar. "Ya, ya. Kalian boloslah dulu. Selama yang kalian mau. Yusri dan Agam akan tangani semua."

"Daya nggak mau bolos, tapi Maja memaksa," ujarnya.

The Marriage TrapWhere stories live. Discover now