Part 37 - Because I miss you

1.4K 249 42
                                    

"Apa kamu mau melakukan apa saja untuk Dayana?" tanya dokter Linda sore itu saat sang dokter baru saja tiba.

Sudah pasti Maja menganggukkan kepala. Dia akan melakukan apa saja, memberikan segalanya yang dia punya untuk istri dan anak mereka. "Bilang saja apa, Dok. Saya akan penuhi."

"Untuk memulai lagi denganmu, yang paling pertama dan utama, Daya harus bisa memaafkan kalian."

Pikirannya kembali saat Niko menepuk pundaknya. Mereka sedang berada di ruang meeting besar ADS, dengan dokter Linda, Hanif Daud, Janice dan M-sahabat istrinya. Hanif baru saja memaparkan seluruh rencana untuk menyelamatkan Daya. Fisik dan psikologis.

"Maja," panggil Niko.

"Ya?"

"Kamu sudah mengerti apa yang harus kamu lakukan?" tanya Niko.

Kepalanya menunduk dalam, berusaha meredam amukan perasaan di dada. Seluruh mata di ruangan menatapnya, seolah paham bahwa dia adalah kunci untuk rencana menyelamatkan Daya. Apa yang mereka minta sungguh sangat berlebihan. Bahkan mungkin akan menguji ambang batas kewarasannya. Semua orang di ruangan juga tahu, bahwa dia berpotensi besar mengacaukan segalanya, jika dia tidak bisa mengendalikan dirinya dengan baik.

"Apa ada pilihan lain?" dia mendongak menatap dokter Linda.

"Selalu ada pilihan lain. Tapi ini yang terbaik. Bukankah kamu selalu menginginkan yang terbaik untuk Daya?" tanya dokter Linda perlahan.

"Bagaimana jika ini tidak berhasil?" bisiknya nyeri. Bayangan tentang itu sudah bisa meruntuhkan dunianya.

"Kita semua sudah sepakat bahwa keselamatan Daya adalah hal yang utama, Maja," kali ini Hanif Daud. "Dengan cara ini, keselamatan Daya akan terjamin 100%. Kemungkinan gagal untuk hal lain memang bisa terjadi, dan itu adalah pilihanmu. Apakah kamu mau menukar segalanya dengan keselamatan Dayana? Bahkan keinginan pribadimu?"

Saliva dia loloskan. Terjebak pada kenyataan pahit yang harus dia jalani. Mungkin ini hukuman atas apa yang dilakukan ayah dulu pada Daya. Mungkin dia memang tidak ditakdirkan untuk bahagia. Daya dulu pernah bilang saat mereka makan malam, rakyat jelata-lah yang pantas bahagia karena mereka tidak punya apa-apa. Jika dia bisa, saat ini dia akan memilih untuk tidak menjadi Hadijaya. Nafas dia hirup seiring dengan air matanya yang jatuh satu.

"Lakukan apa yang perlu dilakukan, Nik. Pastikan Daya selamat," dia berdiri lalu berpamitan sopan.

Langkahnya gontai karena dia melepaskan sebagian jiwanya pergi. Dadanya terasa sesak tapi dia tidak boleh berhenti, karena jika dia berhenti dia akan berlari menuju Daya tidak peduli atas apa yang akan terjadi. Dia laki-laki, dia akan sanggup berdiri. Sekalipun dengan berdiri itu hatinya mati. Basri sudah menunggu di lobby. Pintu kendaraan dibuka lalu dia masuk.

"Kemana, Tuan?"

"Pindahkan semua barang saya ke apartemen saya, Basri. Kita ke sana."

Ada banyak tanya pada raut wajah Basri. Namun laki-laki itu cukup paham untuk menahan semua kata lalu melajukan kendaraan saja dalam diam. Wajahnya menoleh ke kursi di sebelahnya. Ada Daya di sana. Rambut hitam panjang Daya dicepol sederhana dan ujungnya sedikit mencuat keluar, dengan pakaian kerja formal yang pas ditubuh ramping Daya, wangi yang tidak berlebihan seperti pulasan make-upnya. Setiap pagi Daya sibuk dengan tablet untuk mengatur jadwal, menghubungi Tari, atau Reza, atau Dion. Kemudian dia akan meraih tangan Daya dan menggenggamnya erat. Dia ingin Daya selalu ingat bahwa dia ada, dia nyata, dia mencintai wanita itu dalam seluruh diamnya. Kemudian Daya akan menatapnya sambil tersenyum kecil lalu menghentikan apapun yang sedang wanita itu lakukan. Menikmati perjalanan menuju kantor bersamanya sambil bergenggaman tangan. Saat ini, satu tangannya sudah terulur namun tidak ada sambut hangat terasa. Hatinya kosong, hampa.

The Marriage TrapUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum