🌼⁴

5.2K 481 12
                                    

H - 3

"Sunghoon-a, malam ini datanglah ke Daegu bersama Jaeyun."

Sunghoon yang sedang makan siang bersama sekretarisnya, sengaja menyalakan speaker karena tangannya yang kanan memegang sumpit, kiri memegang kotak makan, mengerutkan dahi setelah mendengar ucapan sang bunda.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Kakekmu ingin bertemu kalian."

Sunghoon mendesah keras. "Aku sibuk, banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini."

"Ck, siapa yang mengizinkanmu menolak? Keluarga besar akan berkumpul malam ini untuk membahas pernikahan kalian nanti. Mereka ingin melihat Jaeyun, apa salahnya menyempatkan waktu semalam saja? Kalian bisa menginap di sini dan pulang besok pagi."

Sunghoon menaruh kotak makan dan sumpitnya dengan sedikit dibanting. Jaeyun di sampingnya sampai berjengit kaget. Puppy eyes nya terlihat ketakutan saat melirik Sunghoon yang sedang marah itu.

"Aku tidak ada waktu untuk bertemu mereka. Kenapa harus bertemu sekarang? Toh nanti saat acara juga mereka datang kan?"

"Dimana-mana sebelum menikah semua keluarga harus tau dulu siapa calon pengantinnya. Kalian tidak ada acara tunangan, maka dari itu sekarang saatnya Jaeyun bertemu keluarga kita."

"Aku tidak akan berangkat. Mereka bisa bertemu Jaeyun nanti saat acara pernikahan," keukeuh Sunghoon yang masih tidak mau mengalah pada sang bunda. Apapun yang sifatnya mendadak, dan menganggu algoritma kerjanya, dia akan tolak mati-matian. Apalagi hal remeh seperti pertemuan keluarga besar, Sunghoon tidak perlu itu.

"Park Sunghoon."

Mendengar suara berat ayahnya membuat Sunghoon terdiam. Mereka jarang mengobrol, sekalinya mengobrol pasti hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan dan hal berat lainnya.

"Kau harus datang malam ini. Soal pekerjaan, alihkan semua sisa pekerjaanmu hari ini pada Mark. Ini perintah ayah, kau harus datang nanti malam bersama Jaeyun. Sudah kusiapkan supir yang khusus akan mengantar kalian kemari, tidak ada alasan lagi titik."

Sunghoon mengepalkan tangannya. Di atas bunda masih ada ayah, Sunghoon sudah tidak bisa membantah lagi kalau sang ayah sudah turun tangan.

"Ne." Hanya itu jawabnya sebelum telepon ditutup sepihak oleh orangtua Sunghoon.

Sekarang Jaeyun tau darimana sikap keras kepala Sunghoon berasal. Ayah dan bunda, keduanya benar-benar sangat keras pada Sunghoon. Jujur ia merasa kasihan pada sang calon suami. Selain tekanan dari orangtuanya, Sunghoon juga sendirian tanpa saudara dan teman seperti dirinya untuk berbagi cerita. Pasti berat.

Sunghoon masih terdiam dengan posisi yang sama bahkan sampai Jaeyun selesai makan. Sekilas Sunghoon terlihat seolah sedang melamun, tapi di mata Jaeyun pria itu sedang mengatur emosinya. Marah yang paling menakutkan bukanlah saat mereka membanting barang & membentak orang, melainkan saat mereka hanya diam tanpa sepatah kata dengan nafas yang berembus kasar.

Meski awalnya ragu, Jaeyun memberanikan diri untuk mengelus lengan atas Sunghoon. Dia tidak berkata apapun bahkan saat Sunghoon menoleh padanya. Hanya memberikan seulas senyum, seolah menyemangati Sunghoon dari matanya.

Sunghoon juga sesungguhnya tidak butuh kalimat-kalimat penenang. Dia hanya butuh mengatur emosinya. Dengan Jaeyun yang mengelus lengannya, sedikit demi sedikit emosinya berangsur reda. Setelah nafasnya kembali stabil, dia meraih kembali kotak makannya berniat menyelesaikan makan, tapi saat ini dia bahkan sudah tidak berselera lagi.

"Buang saja, aku kenyang," katanya sambil menyerahkan kotak makannya pada Jaeyun lalu bangkit kembali ke mejanya.

Jaeyun menghela napas saat melihat isi kotak bekal Sunghoon yang masih setengah penuh. Mubazir sebenarnya, tapi memaksa orang yang sedang emosi untuk makan itu adalah hal paling sia-sia.

He is my wifeWhere stories live. Discover now