🌸🌸🌸🌸²

6.1K 524 77
                                    

"Sunghoon, aku mau kuliah."

Sunghoon yang sedang menyetir saat perjalanan pulang mereka dari rumah sakit, menoleh sekilas dengan ekspresi terkejut.

"Tiba-tiba?"

Jaeyun menghela napas. "Kemarin saat pergi bersama Riki, dia menanyaiku soal kuliah. Dia heran bagaimana aku bisa bekerja di perusahaanmu saat aku sendiri hanya lulusan sekolah menengah. Itu jadi membuatku kepikiran."

Bocah sialan, maki Sunghoon dalam hati. Bisa-bisanya bocah itu menambah beban pikiran suami kecilnya yang sedang hamil.

"Tapi kau sedang hamil. Dokter melarangmu melakukan banyak aktivitas terutama yang menambah beban pikiranmu."

"Aku tidak bilang sekarang. Kurasa setelah melahirkan, aku akan mendaftar kuliah."

Sunghoon menggeleng pelan. Terlihat mustahil baginya. Bagaimana caranya Jaeyun membagi waktu dan energinya saat harus melakukan kerja, kuliah dan mengurus anak bersamaan?

"Aku tidak yakin kau bisa kuliah sementara di saat yang sama kau harus kerja dan mengurus bayi. Tapi kalau itu maumu baiklah, aku akan mendukungmu."

Jaeyun menoleh sambil tersenyum senang. "Kau semakin membuatku mencintaimu."

Sunghoon terkekeh saja. Sifat Jaeyun yang mulai to the point dibandingkan sejak awal mereka bertemu entah kenapa membuatnya suka. Suka dalam arti suka akan perubahan sifat Jaeyun yang memudahkannya mengerti isi pikiran pria itu. Inilah yang dia mau sejak awal pernikahan, tidak ribet dengan kode-kode yang diberikan perempuan padahal kan tinggal bilang saja kalau memang mau dimengerti.

"Kau pernah tanya, apakah aku tidak suka menikah denganmu."

Jaeyun menoleh. Menatap Sunghoon penuh minat. "Ne. Kau belum memberiku alasan sebenarnya."

Sunghoon meliriknya sekilas. "Yah, aku suka menikah denganmu."

Mata Jaeyun berbinar. "Jadi Hyung menyukaiku?"

"Not you, but our marriage."

Si manis langsung manyun. Ia menolehkan kepalanya kembali ke depan, sudah tidak minat lagi mendengar ucapan Sunghoon.

"Sejauh ini menurutku pernikahan kita sempurna, seperti yang kubayangkan," lanjut Sunghoon tanpa peduli dengan reaksi Jaeyun.

"Yah tentu saja, sejak awal kau hanya butuh sekretaris dan ART berkedok istri," balas Jaeyun agak sewot. Memang apa lagi yang dia harapkan dari Sunghoon?

"Awalnya memang begitu. Sejak awal aku menikah hanya untuk memenuhi keinginan bunda punya cucu. Di satu sisi aku juga butuh sekretaris yang bisa merangkap sebagai asisten rumah tangga. Well, semua itu akhirnya diwujudkan dalam status istri."

Jika dulu Jaeyun akan menerima dengan ucapan Sunghoon ini, kali ini dia merasa kesal dan sedih. Dia menyimpulkan, bahwa sejak awal dirinya hanya diinginkan sebagai mesin penghasil anak, sekretaris dan ART saja, bukan pasangan hidup. Kenapa terdengar miris sekali nasibnya.

"Tapi semakin lama, aku akhirnya menyadari sesuatu." Sunghoon menjeda ceritanya, memberhentikan mobil karena lampu merah. Dengan begitu dia bisa memandangi wajah manis Jaeyun dari samping dengan lebih leluasa. Tangannya terulur untuk menjawil pipi tembam Jaeyun.

"Ternyata aku membutuhkan seorang istri."

Jaeyun yang sejak tadi menatap ke luar jendela di sampingnya karena tidak ingin mendengar Sunghoon mengoceh, kali ini akhirnya menoleh. Ia mengerjap tak mengerti saat Sunghoon menatapnya dengan senyum teduh.

"Kau sangat berarti bagiku, Jaeyun. Eksistensimu jauh lebih berarti dari tiga peran yang kusebutkan sebelumnya. Aku suka menikah denganmu, karena bagiku hanya kau satu-satunya orang yang pantas menjadi istriku, bukan yang lain."

He is my wifeWhere stories live. Discover now