Ketulusan Pak Arkan

139 12 0
                                    

Bel pulang sekolah berbunyi.

Seluruh siswa dan siswi berhamburan meninggalkan kelas. Aku merapikan buku dan memasukannya ke dalam ransel, lalu aku menggendong ransel dan berjalan keluar meninggalkan kelas.

Aku berjalan menuju pendopo. Namun, tiba-tiba seseorang menarik tanganku dan membawaku pergi menuju halaman belakang sekolah.

“Mau ngapain lo?” tanyaku.

Aku menatapnya sinis, dia hanya diam dan menatapku dengan wajah yang dingin menyeramkan.

“Apa kabar sayang?” tanyanya.

“Sayang, sayang pala lo peang!” pekik aku tidak terima dengan ucapannya.

“Jangan galak-galak sayang. Aku kangen sama kamu,” katanya.

Aku menggeleng, menatapnya dengan ekspresi geli.

“Minggir! Gue mau pulang,” titahku.

“Aku antar ya?” tawarnya.

“Nggak perlu,” jawabku.

Aku menepis tangannya yang hendak menggenggam tanganku, lalu aku melangkah melewatinya dan berjalan menuju pintu gerbang.

“Tolong kasih aku kesempatan. Sekali aja,” katanya dengan nada memohon.

Dia berjalan di belakangku dan berusaha menjajarkan posisinya denganku. Aku mengabaikannya dan tetap berjalan menuju pintu gerbang.

“Adiva!” panggil seseorang.

Aku menoleh ke sumber suara, melihat Pak Arkan berdiri di samping tiang yang bangunan pendopo.

Aku berlari menghampiri Pak Arkan dan sengaja memeluknya supaya mantanku berhenti mengikuti aku.

“Siapa dia?” tanya Pak Arkan.

Pak Arkan menatap mantanku dari ujung kaki hingga kepala, sedangkan mantanku hanya diam dan membalas tatapan Arkan dengan wajah datar.

“Ini om kamu, Div?” tanya mantanku seraya menunjuk Pak Arkan.

“Sembarangan! Kamu pikir muka saya kayak om-om? Saya masih muda dan saya adalah guru di sekolah ini,” jawab Pak Arkan dengan nada sewot.

“Oh, bapak guru baru ya? Kenalin sama Devan—alumni sekolah ini.” Dia meraih tangan Pak Arkan dan mencium punggung tangannya, aku tertawa kecil melihat kelakuan mereka yang sedikit absurd.

“Ngapain kamu ganggu Diva? Kamu tau peraturan sekolah?” tanya Pak Arkan dengan ceramah khas gurunya.

“Saya mau ngajak Diva balikan, Pak. Saya masih cinta sama dia dan saya yakin dia juga masih cinta sama saya,” jawab Devan jujur.

“Balikan? Enak aja! Diva udah punya calon suami. Lagian Diva gak boleh pacaran, dia harus fokus belajar karena tugas anak sekolah cuman belajar!” tegas Pak Arkan.

“Kenapa jadi bapak yang ngatur? Lagian niat saya pacari Diva adalah untuk menjaganya karena Diva selalu ceroboh dan saya takut ada cowok jahat yang mendekatinya,” tutur Dev.

“Diva udah gede, udah bisa jaga diri. Lagian tampang kamu kayak boti, sok-sokan mau jaga anak orang. Mending perbaiki postur kamu yang kayak bencong itu,” ujar Pak Arkan.

Pak Arkan menarik tanganku, lalu berjalan  menjauh dari Devan. Aku menoleh ke Devan yang memandang kami dari kejauhan. Terlihat jelas ekspresi bingungnya, pasti dia bertanya-tanya tentang Pak Arkan.

Sesampainya di depan mobil, Pak Arkan membuka pintu kemudian aku masuk ke dalam. Aku melihat wajah Pak Arkan ditekuk setelah berinteraksi dengan Devan yang berstatus sebagai mantan pacarku.

“Bapak cemburu?” tanyaku asal.

“Nggak,” jawabnya tanpa melirikku sedikit pun.

Aku tersenyum kecil, aku dapat melihat kebohongan dari wajah Pak Arkan yang jelas-jelas menampakkan wajah terbakar api cemburu.

“Jangan bohong, Pak. Kata nenek saya kalo bohong nanti cepat mati,” ucapku bergurau.

Pak Arkan hanya diam, dan menatapku sejenak. Tatapannya menandakan berbagai arti yang membuatku ikutan membisu.

“Kamu mau balikan sama dia?” tanya Pak Arkan membuatku terdiam.

Aku melirik Pak Arkan, kemudian membuang napas berat.

“Sekalipun saya jawab mau, saya nggak mungkin membatalkan pernikahan kita karena taruhannya adalah kebahagiaan Ibu saya.” Aku jawab jujur, aku pun belum memiliki perasaan yang jelas untuk Pak Arkan. Hanya sebatas rasa kagum karena akhir-akhir ini dia baik padaku.

“Maaf,” tuturnya.

“Nggak papa,” jawabku.

Kami sama-sama diam untuk beberapa saat. Aku memalingkan wajah dan melihat pemandangan macet melalui kaca jendela.

“Saya boleh minta sesuatu?” tanya Pak Arkan memecahkan keheningan.

“Apa?” tanyaku.

Tatapanku teralihkan ke Pak Arkan dan menatap pupil matanya.

“Jangan taruh perasaan ke saya! Cukup saya aja yang taruh perasaan ke kamu,” tutur Pak Arkan membuatku bertanya-tanya.

“Maksudnya?” tanyaku bingung.

“Suatu saat kamu tau. Tapi yang jelas hubungan kita tidak lama dan kamu cukup menemani saya sampai takdir memisahkan kita,” jawab Pak Arkan.

Aku terdiam, berusaha mencerna kata-kata Pak Arkan. Kenapa Pak Arkan berbicara seperti mengetahui sisa umurnya, apakah ada sesuatu yang Pak Arkan sembunyikan?

“Diva ...” panggil Pak Arkan membuyarkan lamunanku.

“Kenapa, Pak?” tanyaku.

“Kalau misalnya saya tinggalin kamu setelah menikah gimana?” tanya Pak Arkan membuatku semakin bingung.

“Kalo ngomong yang jelas dong, jangan buat saya pusing,” ucapku.

“Gimana kalo kamu jadi janda muda?” tanya Pak Arkan.

“Amit-amit! Jangan sampai jadi janda muda. Serem banget ngomongnya, jangan-jangan bapak mau nikah lagi ya? Terus saya diceraikan,” kataku panjang kali lebar.

“Saya nggak mungkin ceraikan kamu. Bagi saya, pernikahan dilakukan sekali untuk seumur hidup hidup.” Pak Arkan menjawab seraya mengukir senyuman paling indah yang pernah aku lihat.

“Terus kenapa bapak ngomong gitu?” tanyaku dan menatapnya curiga.

“Umur gak ada yang tau, Diva. Siapa tau saya meninggal terus kamu jadi janda muda,” jawab Pak Arkan.

“Gampang, saya tinggal susul bapak.” Aku menjawab santai.

“Susul ke mana?” tanya Pak Arkan.

“Susul ke surga jugalah,” jawabku.

“Terus nanti anak kita siapa yang jaga?” tanya Pak Arkan lagi.

Aku diam, kehabisan kata-kata. Aku menatap Pak Arkan dengan wajah gelisah, entah kenapa aku merasa takut mendengarnya.

“Bapak kenapa ngomong gitu sih? Kata nenek saya nggak baik ngomongin soal kematian,” ucapku berusaha berpikir positif.

“Iya, maaf. Saya gak akan ngomongin itu lagi,” tutur Pak Arkan.

“Janji?” tanyaku.

Aku mengulurkan jari kelingking dan mengajak Pak Arkan untuk bersumpah kelingking. Pak Arkan menautkan kelingkingnya di kelingking aku sebagai janji.

“Saya jatuh cinta sama kamu, Diva. Saya harap Tuhan memberi saya kesempatan untuk membahagiakan dan menjaga kamu, setidaknya sampai kamu mendapat gelar sarjana.” Pak Arkan berkata pelan, aku membalasnya dengan senyuman.

Ucapan Pak Arkan membuat hatiku berbunga-bunga. Jarang ada pria yang memikirkan pendidikan, Pak Arkan adalah satu-satunya pria yang mendukungku untuk lanjut kuliah dan meraih gelar tertinggi.

Meskipun aku belum mencintainya tapi aku tidak rela jika ada yang merampas Pak Arkan dari hidupku. Dan aku belajar mencintainya walaupun Pak Arkan memintaku tidak membalas cintanya, tapi aku yakin tembok hatiku bisa hancur karena dibobol oleh ketulusan Pak Arkan dan perhatiannya padaku.

Love My Teacher [END]Where stories live. Discover now