Kenangan Yang Hilang?

143 12 0
                                    

Aku duduk di meja, mengerjakan tugas Fisika yang harus dikumpul besok. Aku masih terbayang dengan ucapan Pak Arkan yang ambigu.

Ting!
Sebuah notifikasi masuk ke ponselku. Aku mengambilnya dan membaca pesan yang dikirim oleh Pak Arkan.

 Aku mengambilnya dan membaca pesan yang dikirim oleh Pak Arkan

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Aku hanya membaca pesan itu. Aku beranjak dari kursi dan bergegas ganti pakaian. Aku asal pilih baju yang penting bagus dan sopan, kemudian aku membuka pintu dan melangkah menuju ruang tamu.

Aku melihat Ayah sedang mengobrol dengan Pak Arkan, sedangkan Ibu hanya diam di samping Ayah. Aku dapat melihat wajah Ibu yang tidak bersahabat, Ibu masih belum merestui hubunganku dan Pak Arkan.

“Bapak ngapain dateng malem-malem? Ganggu saya belajar aja!” gerutuku sambil berjalan mendekati Pak Arkan.

Pak Arkan menatapku dan melontarkan senyuman paling manis yang semakin membuatku terpikat.

“Saya mau ajak kamu beli cincin buat pernikahan kita,” tutur Pak Arkan.

“Kan bisa besok. Kenapa harus sekarang? Nanti kalo tugas Fisika saya nggak selesai, bapak yang bilang ke Bu Erinda ya.” Aku masih tidak terima dengan ajakan Pak Arkan, selain mendadak. Tugas Fisika milikku juga belum selesai, bisa-bisa aku diamuk oleh Bu Erinda yang terkenal suka menjemur muridnya sampai jam istirahat kalau tidak mengerjakan tugas yang dia berikan.

“Kamu tenang aja, Pak Arkan guru. Dia pasti bantuin kamu kerjain tugas Fisika,” tutur Ayah.

Aku diam, aku tahu Ayah pasti membela Pak Arkan sebab Pak Arkan adalah mesin ATM berjalannya. Ayah bisa meminta apapun pada Pak Arkan, apalagi jika nanti aku menikah dengan Pak Arkan. Mungkin si tua keladi ini akan meminta sertifikat bumi pada Pak Arkan.

“Ayo kita jalan. Sebelum hari semakin larut,” tutur Pak Arkan.

Ya sejujurnya aku juga kurang suka dengan gaya bicara Pak Arkan yang terlalu baku. Tapi mau bagaimana lagi? Itulah risiko menjalin hubungan dengan pria matang, apalagi dia berprofesi sebagai guru dan Pak Arkan juga memiliki gelar Sastra.

Pak Arkan mengulurkan tangan dan bergaya seperti Pangeran yang hendak menuntun Cinderella. Aku menerima uluran Pak Arkan, lalu kami berjalan menuju mobil yang terparkir di halaman.

Kami duduk bersebelahan. Aku bersikap tenang meskipun Pak Arkan tatapan Pak Arkan membuat jantungku berdetak kencang.

“Nanti kalo udah nikah, kamu mau punya anak berapa?” tanya Pak Arkan memecahkan keheningan.

“Dua aja,” jawabku.

“Yah, kurang sayang. Saya maunya punya seratus anak biar kita bisa investasi,” tutur Pak Arkan.

“Kalo gitu bapak nikahin lima puluh wanita aja. Saya nggak minat punya banyak anak,” titahku sambil menampilkan ekspresi ketus.

“Emang boleh?” tanya Pak Arkan.

“YA NGGAK BOLEH!” seruku dengan penuh penekanan.

“Saya cuman bercanda kok. Nggak mungkin saya nikahin lima puluh wanita sekaligus nanti Gatot saya bisa putus,” ucap Pak Arkan.

Aku mengerutkan alis, menatap Pak Arkan dengan ekspresi datar. Pak Arkan membalas tatapanku dan tersenyum seringai. Aku mengerti maksud ucapannya, tapi aku enggan menanggapi otak kotornya.

“Jangan macem-macem ya, Pak. Atau bapak mau Gatot nya, saya cincang-cincang?” tanyaku dengan nada mengancam.

“Jangan dong. Nanti kalo dicincang-cincang, kamu nggak bisa punya anak.” Pak Arkan menjawab sambil menutup Gatot perkasanya menggunakan tangan. Aku menahan geli melihat tingkahnya.

“Makanya jangan sembarangan,” sahutku dengan wajah ketus.

Aku memalingkan wajah dan menatap ke arah jendela. Aku melihat kemacetan Jakarta yang membuat mataku terasa lelah. Aku bersandar di pintu mobil, tanpa sadar mataku terpejam dan perlahan aku kehilangan kesadaran.

“Bangun, udah sampai.”

Aku merasakan sebuah tepukan mendarat di pipiku. Perlahan aku membuka mata dan melihat Pak Arkan berada tepat di depanku, kami hanya berjarak sejengkal hingga aku dapat mencium aroma napasnya.

“Kita dimana?” tanyaku bingung.

“Di bulan,” jawab Pak Arkan asal.

Pak Arkan keluar dari mobil dan membuka pintu mobil—tempatku duduk. Tiba-tiba Pak Arkan menggendongku dan membawaku menuju sebuah tempat yang terlihat seperti toko perhiasan.

“Selamat datang, Pak Arkan.” Para karyawan menyambut kedatangan kami. Pak Arkan membalasnya dengan senyuman kecil, sedangkan aku hanya diam—menatap karyawan toko yang cantik-cantik.

“Kenapa bapak nggak nikah sama salah satu dari mereka aja? Kenapa bapak pilih nikah sama bocil kayak saya?” Aku melontarkan seribu pertanyaan pada Pak Arkan.

“Udah berapa kali saya bilang? Saya tertarik sama kamu dan kamu adalah wanita yang buat saya memendam rasa selama beberapa tahun,” jawab Pak Arkan membuatku bingung.

“Beberapa tahun? Kita aja baru ketemu. Bapak bohong ya?” tanyaku tidak percaya.

“Kita udah pernah ketemu sebelumnya. Bahkan sejak lama,” jawab Pak Arkan.

“Kapan?” tanyaku lagi.

“Saat kecelakaan itu terjadi. Ada banyak yang kamu lupakan tapi saya tidak bisa memaksa kamu untuk mengingatnya,” jawab Pak Arkan.

Aku membisu, mencoba mengingat semua kenangan yang aku lupakan. Sejak kejadian kecelakaan itu aku memang hilang ingatan tapi aku tidak merasa pernah menjalin hubungan dengan pria tua sebelumnya.

“Mbak, tolong siapkan cincin paling bagus untuk calon istri saya.” Ucapan Pak Arkan membuyarkan lamunanku, sikap Pak Arkan begitu romantis bahkan lebih romantis dari tokoh novel yang aku tulis.

Aku penasaran dengan kisah yang Pak Arkan maksud. Mungkinkah kami memang memiliki hubungan atau Pak Arkan hanya mengarangnya supaya aku tidak banyak tanya?

Menyebalkan sekali menjadi orang yang lupa ingatan. Aku berharap semoga tuhan mengembalikan ingatanku supaya aku bisa mengetahui kebenaran yang Pak Arkan sembunyikan.

Love My Teacher [END]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora