Tangisan Diva

94 8 0
                                    

Aku membuka mata, melihat sekeliling ruangan berwarna putih. Bau obat menusuk indra penciuman dan sepertinya aku ada di rumah sakit.

“Akhirnya, kamu sadar.” Pak Arkan berdiri di hadapanku, kemudian menggenggam jari-jemariku.

“Aku kenapa?” tanyaku pelan.

Arkan hanya diam dan memandang Gala juga Dinda yang berdiri di tidak jauh dari sana. Dinda berjalan mendekatiku, lalu Dinda mengusap puncak kepalaku dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.

“Div, lo kuat! Lo pasti bisa lewati semua ini!” seru Dinda.

Aku mengerutkan alis. “Kalian kenapa? Apa yang terjadi sama gue?”

Dinda menarik napas, kemudian mengembuskan napasnya kasar.
“Lo keguguran,” jawabnya.

Aku mematung, meraba perutku yang kembali kempes seperti tidak ada janin di dalamnya. Aku menelan saliva dan memandang Pak Arkan yang menundukkan kepala.

“Ke mana anak kita? Kenapa dia ngga ada, Pak?” tanyaku sambil menggoyangkan lengan Pak Arkan.

“Dia sudah pergi, sayang. Dia menanti kita di surga,” jawab Pak Arkan tanpa memandang aku sedikit pun.

“Ngga mungkin! Kalian bohong! Anakku masih ada dan dia akan lahir di dunia!” seruku sambil teriak.

Aku memegang kepala dan mengacak rambutku. “Pergi kalian! Aku ngga mau lihat pembohong!” teriakku sambil mendorong mereka yang membisu.

“Tenang sayang! Ini semua takdir!” teriak Pak Arkan.

Dia mendekap tubuhku, lalu mengusap rambutku lembut. Aku membalas pelukannya dan meneteskan air mata.

“Kenapa Tuhan jahat, Pak? Kenapa dia ambil calon buah hati kita?” tanyaku.

“Mungkin Tuhan mau menguji kita dan Tuhan pasti menggantikan yang terbaik untuk kita,” jawabnya.

Tangisanku semakin menjadi, Pak Arkan mengusap punggungku dan berusaha menghentikan tangisanku.

“Siapa yang celakai lo?” tanya Gala membuatku melepaskan pelukan Pak Arkan.

“Namanya Kesya—siswi kelas dua belas. Dia salah satu penggemar fanatik Pak Arkan,” jawabku jujur.

“Oh jadi dia yang mencelakai lo? Lihat saja, gue injak-injak tuh orang!” seru Dinda dengan emosi menggebu-gebu.

Dinda langsung keluar dari ruangan dan pergi entah ke mana, Gala mengepalkan tangan lalu menyusul Dinda meninggalkan ruangan.

“Saya akan kasih pelajaran kepada mereka,” kata Pak Arkan dengan wajah dingin seperti psikopat.

Aku menggenggam tangan Pak Arkan. “Aku ikut ya.”

“Jangan! Kamu di sini saja,” tolaknya.

“Tolong, biarkan aku ikut. Aku mau kasih pelajaran ke mereka juga,” kataku memohon.

Pak Arkan menghela napas. “Tapi kamu pakai kursi roda ya. Kondisi kamu masih belum pulih,” katanya.

Aku mengangguk setuju, kemudian dia menggendongku dan menaruh tubuhku di kursi roda.

Dia mendorong kursi roda dan berjalan meninggalkan ruang UGD untuk menyusul Gala dan Dinda yang sudah pergi lebih dulu.

Love My Teacher [END]Where stories live. Discover now