Pick Me Kembali Berulah

171 11 0
                                    

Keesokan harinya.
Aku berada di kelas mengerjakan tugas yang belum selesai. Aku sengaja datang lebih pagi supaya tidak ada murid yang melihatku bareng dengan Pak Arkan.

“Hei, Diva. Tumben jam segini udah datang?” sapa Lusi saat sampai di kelas.

Aku hanya melirik dan kembali mengerjakan tugas. Lusi melangkah mendekatiku, kemudian dia berdiri di depanku dan merampas pulpenku.

“Lo tau nggak?” tanyanya.

Aku menggeleng tanpa menatapnya.

“Gue pacaran sama mantan lo,” ungkapnya dengan penuh antusias.

Aku hanya mengeluarkan kata oh. Aku tidak peduli dengan informasi yang dia sampaikan sebab aku sudah punya Pak Arkan yang jauh lebih segalanya dari mantan pacarku.

“Kok cuman oh doang sih? Gue pacaran loh sama mantan kesayangan lo. Mantan yang paling ngga bisa lo lupain,” ucap Lusi berusaha memancing kesedihanku.

“Aku harus gimana? Harus bikin syukuran gitu? Aku senang kok kalau Kak Dev punya pacar baru. Semoga kalian langgeng sampai maut memisahkan,” tuturkan.

“Aneh banget deh lo. Selama ini lo sayang kan sama Kak Dev, kenapa sekarang lo santai saja pas gue pacaran sama dia?” tanya Lusi.

Lusi menatapku penasaran, sedangkan aku tersenyum seringai.

“Karena aku udah punya pengganti yang jauh lebih baik,” jawabku.

Lusi tercengang dan menampilkan wajah emosi. Aku tahu Lusi adalah tipikal orang yang tidak suka disaingi. Saat dia tahu aku menulis novel, dia menganggap aku sebagai saingan bahkan dia juga tidak mau berbagi ilmu cara mengetik di app word.

Aku sempat bingung, untung selama menulis aku ikut kelas pembelajaran dan aku bertemu banyak penulis lain yang baik hati. Mereka mengajarkanku mengetik menggunakan word dengan format yang sesuai.

“Diva!” panggil seseorang memecahkan keheningan.

Aku menoleh sumber suara dan melihat Dinda sedang berjalan menuju kelasku. Dinda memasuki kelas, dan duduk di sampingku. Sebelumnya aku sengaja meletakkan ranselku—mengisi bangku sebelahku yang kosong—supaya Lusi tidak duduk di sebelahku.

“Gue kangen banget sama lo.” Dinda memelukku dengan erat sampai aku kesulitan bernapas. Aku berusaha melepaskan pelukannya, lalu mendorong pelan tubuh Dinda.

“Lo kangen atau mau bunuh gue sih?” tanyaku.

“Mana mungkin gue bunuh lo,” jawab Dinda.

“Tapi pelukan lo bikin sesak,” sahutku.

“Hehe, gue kangen banget soalnya.” Dinda cengengesan, aku membalasnya dengan ekspresi datar. Aku enggan berkomentar karena takut Dinda keceplosan, apalagi di depan kami ada Lusi yang sejak tadi seperti sengaja ingin menunggu Dinda bicara sesuatu.

“Lo Dinda ya?” tanya Lusi akhirnya.

“Iya, kenapa? Lo penggemar gue ya? Mau minta tanda tangan?” tanya Dinda.

“Ngapain gue minta tanda tangan. Gue siswi paling terkenal di sekolah ini,” tutur Lusi sambil mengibaskan rambut.

“Siswi paling terkenal? Hello, perasaan gue kenal lo juga ngga. Kenal sih tapi gue kenalnya gara-gara kasus lo yang jadiin sahabat sebagai kambing hitam demi menutupi kejahatan yang lo lakukan,” ungkap Dinda.

“Bagus deh kalau lo kenal sama kasus gue. Kalau kalian berani macam-macam, gue bikin kalian berdua kayak Pelita!” ancam Lusi sambil menunjuk aku dan Dinda.

“Anak orang miskin kayak lo enggak mungkin bisa ngalahin seorang Dinda. Lo tahu siapa Kakek gue? Ya, Kakek gue adalah pemilik yayasan ini! Kalau lo berani macam-macam terutama sama Diva, gue bakal suruh Kakek gue buat keluarin lo dari sekolah!” Dinda mengancam Lusi balik.

Aku hanya diam mendengar keributan mereka. Aku tidak mau mencari masalah karena aku bukan Dinda yang terlahir dari keluarga konglomerat. Tujuanku adalah sekolah meskipun kini aku berstatus sebagai istri guru tapi tidak ada seorangpun yang mengetahui statusku sebagai istri, kecuali Dinda.

“Kenapa sih lo mau temenan sama Diva? Dia itu miskin, kampungan, jelek. Hidungnya kayak babi,” cemooh Lusi sambil menatapku rendah.

“Lo punya kaca ngga sih? Muka lo kayak Anabelle dan sifat lo kayak nenek lampir. Berbanding terbalik sama Diva, dia mah cantik, lembut dan sopan. Buktinya dia berhasil dapatkan hati Pak Arkan,” ucap Dinda keceplosan.

Aku terbelalak, dan mencubit lengan Dinda supaya berhenti berbicara. Dinda menatapku dengan wajah yang tidak kalah kaget, kemudian Dinda langsung menutup mulutnya.

“Pak Arkan? Sejak kapan Pak Arkan mau sama murid kayak dia? Selera Pak Arkan itu gue dan gue bakal buat Pak Arkan terpincut sama gue,” tutur Lusi.

Lusi tersenyum licik, kemudian dia pergi meninggalkan kami. Aku mengembuskan napas lega karena Lusi tidak percaya dengan omongan Dinda.

“Akhirnya tuh nenek lampir pergi juga. Bikin darah tinggi tau ngga? Kok lo tahan sekelas sama dia? Kalau mending pindah sekolah!” seru Dinda.

“Gue ngga punya pilihan lain. Gue sekolah buat gapai cita-cita bukan buat cari teman,” jawabku.

“Tapi kalau dia setiap hari hina lo, apa lo enggak muak? Sekali-kali orang kayak Lusi harus dikasih balasan supaya kapok!” tegas Dinda.

“Ngga perlu. Omongan dia benar kok. Aku emang jelek dan aku ngga peduli,” jawabku santai.

“Tapi gue yang ngga terima! Liat aja gue balas tuh orang nanti!” sumpah Dinda.

Dinda mengepalkan tangannya dan menampilkan mata elang yang membuat bulu kudukku meremang. Dinda memang juaranya bikin orang ngeri berhadapan dengannya. Selain itu, dia juga kerap membalas perbuatan pick me sekolah yang suka merundung siswi lain yang dirasa saingan mereka.

Love My Teacher [END]Where stories live. Discover now