Pesan Terakhir Arkan

139 17 44
                                    

Sesampainya di rumah sakit, kami membawa Arkan dan membaringkannya di brankar dorong. Perawat mendorong brankar dan membawanya masuk ke ruang ICU.

“Harap tunggu di depan. Kami akan melakukan pemeriksaan,” ujar perawat.

Perawat masuk ke dalam dan menutup rapat ruangan ICU. Aku menunggu di depan dan berusaha mengintip dari kaca jendela. Dokter tengah menangani Arkan dengan menempelkan defibrilator ke dadanya. Arkan kejang, tetapi tidak ada respons bagus darinya.

Angka dalam monitor pun semakin turun membuat hatiku menjadi resah. Aku menggenggam jari-jemariku dan berjalan ke sana-kemari seperti setrika rusak.

“Selamatkan suami hamba, jangan ambil dia dari hamba.” Aku berdoa sambil menundukkan kepala, aku membaca ayat-ayat Alquran untuk kesembuhan Pak Arkan.

Satu jam berlalu, dokter tidak kunjung keluar dan suara monitor ICU semakin berisik. Aku menggigit jariku, mencoba menenangkan pikiranku yang semakin kacau.

Tiba-tiba pintu ICU terbuka dan tampak seorang perawat yang berjalan mendekatiku.

“Siapa istri pasien?” tanyanya.

“Saya,” jawabku sambil mengacungkan tangan.

“Silakan masuk, Anda ditunggu sama pasien.” Ucapannya membuat pikiranku semakin tidak karuan.

Aku melangkah memasuki ruang ICU dan berjalan mendekati Pak Arkan yang terbaring di ranjang pesakitan.

Kondisinya benar-benar memprihatinkan, alat-alat di sekujur tubuhnya semakin banyak. Namun, matanya sedikit terbuka meskipun begitu sayu.

“Sayang ...” panggilnya pelan.

“Apa, sayang?” tanyaku.

Aku berdiri di sampingnya. Tiba-tiba dia meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

“Aku mau minta maaf,” katanya dengan susah payah.

“Kamu jangan bicara dulu,” ujarku.
Dia menggeleng, lalu membuka alat pernapasan yang terpasang di hidungnya.

“Aku mau minta maaf karena bohong sama kamu. Seharusnya aku bilang dari awal supaya kamu menolak perjodohan kita,” katanya dengan napas tersengal-sengal.

“Kamu kenapa ngomong gitu? Aku enggak suka!” seruku dengan mata berkaca-kaca. Aku berusaha menahan air mata yang mendesak keluar.

“Karena pernikahan kita hanya membawa luka untuk kamu. Sejak awal, aku tahu hidupku tidak lama tapi aku nekat untuk mencintai dan menikah kamu.” Dia berhenti dan mengembuskan napas dengan berat.

“Aku tahu aku egois tapi yang ada di pikiran aku saat itu adalah menikmati sisa umurku bersama orang yang aku cinta. Aku berharap ada anugerah tapi ternyata Tuhan tidak mengabulkan harapanku,” sambungnya.

Aku terpaku, tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Air mataku jatuh begitu deras dan menetes ke tangan Pak Arkan.

“Jangan nangis, sayang. Aku enggak rela melihat bidadari kecilku menangis di pemakamanku,” katanya sambil mengelap air mata yang jatuh ke pipiku.

“Stop bilang kayak gitu! Kamu pasti sembuh! Kamu bilang mau punya seratus anak, kan? Aku mau mewujudkannya,” ucapku sambil mencengkeram tangannya.

Dia menggeleng sambil tersenyum kecil. “Enggak bisa, sayang. Ini akhir dari kisah kita. Aku enggak bisa menepati janji pernikahan kita,” katanya.

“Terus kamu tega tinggalkan aku dan Arva? Dia masih butuh figur Ayah dan sekarang kamu menyerah?” tanyaku dengan sedikit emosi.

“Ada Gala yang siap menggantikan posisi aku. Dia juga cinta sama kamu,” jawabnya.

“Enggak! Aku enggak mau! Aku cuman mau sama Arkan Dirgantara,” tolak aku dengan tegas.

Dia kembali tersenyum, lalu mengusap puncak kepalaku dengan lembut.

“Aku pergi ya? Jaga diri kamu baik-baik,” katanya.

Tiba-tiba dia mengembuskan napas, dan menutup matanya. Genggaman tangannya terlepas dan monitor berbunyi kencang. Aku terbelalak melihat garis denyut jantung yang berubah lurus dan angka yang tertera di dalam monitor adalah nol.

“Arkan!” Aku berteriak histeris. Aku menggoyangkan tubuhnya dan menepuk-nepuk pipinya. Tidak ada respons darinya membuat tangisanku semakin pecah.

“Jangan tinggalin aku!” seruku.

Aku memeluk tubuhnya dan menangis sekencang-kencangnya. Aku memegang tangannya yang sangat dingin. Dokter terdiam melihatku yang menangis tidak karuan. Dia menghela napas, lalu memeriksa denyut nadi Pak Arkan di pergelangan tangan.

“Innalillahi. Pasien meninggal pada tanggal 1 Februari 2024,” tutur dokter.

Air mataku semakin mengalir deras dan aku tidak memiliki tenaga untuk berdiri tegak. Kepalaku terasa berkunang-kunang, perlahan penglihatan aku memudar dan aku kehilangan kesadaran.

Love My Teacher [END]Where stories live. Discover now