Koma

92 6 0
                                    

“Pak Arkan pulang jam berapa, Div?” tanya Dinda sambil memotong bawang.

“Kayaknya sebentar lagi,” jawabku.

Aku tengah memasak makanan kesukaan Pak Arkan, ditemani oleh Dinda. Aku sengaja menyiapkan kejutan supaya dia semakin cinta padaku. Tiba-tiba ponselku berbunyi, aku mengambil ponsel dan menerima panggilan telepon tersebut.

“Halo, ini siapa?” tanyaku.

“Selamat siang, Mbak. Betul ini kerabat Arkan Dirgantara?” tanyanya dari balik telepon. Suaranya berat seperti suara laki-laki, tapi itu bukan suara Pak Arkan.

“Betul, saya istrinya.”

“Suami Anda mengalami kecelakaan dan sekarang sedang ditangani oleh dokter di rumah sakit Citra Medika,” ungkapnya.

Aku tercengang dan tanganku bergetar hebat membuat ponsel terjatuh dari genggaman tanganku.

“Kenapa, Div?” tanya Dinda.

“Arkan dan Gala kecelakaan,” jawabku.

“Apa? Terus gimana kondisi mereka?” tanya Dinda cemas.

“Mereka ada di rumah sakit Citra Medika,” jawabku.

“Ayo ke sana!” seru Dinda.

Dinda menarik tanganku dan jalan keluar rumah. Aku mengunci pintu, lalu masuk ke mobil Dinda. Dia menancapkan pegas mobil dan melaju dengan kecepatan tinggi, sedangkan aku hanya diam memikirkan kondisi Pak Arkan.

Sesampainya di rumah sakit, kami bergegas masuk ke dalam dan menghampiri meja Front Office untuk menanyakan ruangan Arkan dan Gala.

“Permisi, Mbak. Di mana ruangan pasien yang bernama Arkan Dirgantara?” tanyaku tanpa basa-basi.

“Oh, pasien yang mengalami kritis ya? Dia ada di ruang ICU,” jawabnya.

Tubuhku semakin lemas, aku berusaha menopang tubuhku dan berjalan menuju ruang ICU.

Sesampainya di depan ruang ICU, aku melihat Papa dan Bunda mertuaku tengah menunggu di depan ruangan.

“Bunda ...” panggilku.

Bunda menoleh ke arahku, kemudian beranjak dari kursinya. Dia berjalan mendekatiku dan memeluk tubuhku dengan erat.

“Kamu harus kuat, Nak. Arkan baik-baik saja,” tuturnya.

“Iya, Arkan pasti bangun! Dia enggak mungkin tinggali aku,” jawabku.

“Iya, Nak.” Bunda berusaha menenangkanku, sedangkan aku membalas pelukannya dan meneteskan air mataku. Dadaku terasa sesak dan aku tidak sanggup berkata apa-apa, selain mengeluarkan isak tangis.

Tiba-tiba pintu ICU terbuka, muncul seorang dokter yang menangani Pak Arkan. Dia berjalan mendekati kami dengan mimik sedih.

“Bagaimana kondisi putra saya, Dok?” tanya Ayah penuh khawatir.

“Pasien mengalami cedera otak yang cukup serius tapi dia berhasil melewati masa kritis meskipun saya belum bisa memastikan kapan dia bangun,” jawab dokter.

“Maksudnya suami saya koma, Dok?” tanyaku.

Dokter mengangguk kecil. “Tapi Ibu jangan berkecil hati, pasien bisa sembuh. Ibu harus sabar dan senantiasa meminta pertolongan kepada Tuhan.”

Aku menghela napas, mencoba menerima kondisi Pak Arkan. Aku yakin dia hanya tidur sebentar dan dia akan bangun ketika rindu denganku.

“Ada yang ingin saya bicarakan,” kata dokter.

“Apa itu?” tanyaku bingung.

“Tadi saya melakukan pemeriksaan dan ternyata pasien memiliki penyakit leukemia,” ungkap dokter.

“Apa?” Aku terkejut, aku tidak mengetahui apa pun tentang penyakit Pak Arkan.

“Sejak SMP, putra saya memang mengidap penyakit leukimia,” jawab jujur Papa.

Aku semakin terkejut ketika mengetahui Papa dan Bunda sudah tahu penyakit Pak Arkan, sepertinya hanya aku yang tidak tahu.

“Saya mau bicara lebih serius terkait penyakit ini,” kata dokter sambil menatap Papa.

Papa beranjak dari kursi dan mengikuti dokter menuju ruangannya. Tidak lama, perawat keluar sambil membawa pakaian Pak Arkan yang keperluan medis.

“Mbak, saya boleh menjenguk pasien?” tanyaku pada perawat.

“Boleh tapi hanya satu orang saja,” jawabnya.

Aku memandang Bunda, dia menyuruhku untuk menjenguk duluan. Aku masuk ke ruang ICU, mendekati Pak Arkan yang terbaring di ranjang pesakitan. Sekujur tubuhnya terpasang oleh alat yang menghubungkan ke monitor dan beberapa alat lain. Aku duduk di sampingnya, dan menatap wajahnya.

“Kenapa kamu bohong sama aku? Kenapa kamu sembunyikan penyakit kamu dari aku? Apa kamu mau pergi dengan meninggalkan rasa bersalah seumur hidup kepadaku?” tanyaku dengan lirih.

Aku meraih dan menggenggam jari-jemarinya. Aku merasakan telapak tangannya yang dingin. Namun, embusan napasnya membuatku merasa sedikit tenang karena masih ada setitik harapan.

“Jangan pergi dulu. Katanya mau punya seratus anak, masa kamu tinggalin aku duluan? Nanti aku sama siapa?” tanyaku lagi.

Aku tersenyum, berusaha menutupi kesedihanku di hadapannya. Aku yakin dia bisa melihat dan mendengarnya meskipun matanya tertutup rapat.

“Janji ya, sayang? Jangan pergi duluan. Aku masih butuh kamu,” kataku.

Aku mengusap kepalanya, membiarkan air mataku menetes dan membasahi wajahnya. Tiba-tiba alarm berbunyi, menandakan waktu jenguk sudah habis. Aku menghela napas, dan beranjak dari posisi dudukku.

Aku mengecup kening Pak Arkan.
“Aku tunggu di luar ya, sayang. I love you, aku yakin semua pasti baik-baik saja dan kita akan tetap bersama.”

Aku melepaskan genggaman dari tangannya, kemudian berjalan menuju luar. Aku membuka pintu dan menoleh sejenak.

“Aku akan menunggumu. Mau selama apa pun itu, jiwa dan ragaku akan tetap untukmu.” Aku tersenyum, kemudian keluar dari ruangan dan kembali menutup pintu.

Love My Teacher [END]Where stories live. Discover now