Kembali Isi

95 7 0
                                    

Aku berada di ruangan rumah sakit bersama dokter yang tengah memeriksa perutku. Jantungku berdetak kencang, penasaran dengan hasil pemeriksaan.

“Bagaimana keadaan istri saya?” tanya Pak Arkan yang berada di sampingku.

“Selamat, Pak. Istri bapak sedang hamil,” jawabnya.

Pak Arkan sujud syukur, lalu mencium keningku. Dia menitikkan air mata, dan tersenyum bahagia.
Aku terharu melihatnya, dan merasa begitu dihargai oleh tindakannya.

“Harap jaga istrinya baik-baik ya, Pak. Jangan biarkan aktivitas berlebih karena rentan mengalami keguguran,” ujar dokter memberikan nasihat.
“Baik, Pak.”

Dokter keluar dari ruangan, meninggalkan kami yang masih terhanyut dalam kebahagiaan.

Aku beranjak dari ranjang pesakitan, kemudian memeluk Pak Arkan. Aku membiarkan tangisan kebahagiaanku pecah di pelukannya.

“Semoga kali ini Tuhan mengizinkan kita punya momongan,” doa Pak Arkan.

“Aamiin,” sahutku.

Aku melepas pelukan dan keluar dari ruangan. Dinda serta Gala menunggu di luar ruangan, mereka langsung mendekati kami dengan raut cemas.
“Gimana kondisi Diva?” tanya Dinda.

“Gue hamil,” jawabku.

Seketika Dinda mematung, lalu Dinda memelukku dan mengusap rambutku. Aku merasakan ketulusannya, dia pun pasti bahagia akan memiliki keponakan.

“Semoga kali ini lo benaran dikasih anugerah untuk memiliki momongan,” doa Dinda.

Dinda melepaskan pelukannya, kemudian kami berjalan menuju luar. Tiba-tiba Kesya berdiri menghalangi jalan kami, dia memandang kami dengan wajah murka.

“Gara-gara kalian, hidup gue hancur!” seru Kesya.

Dia mendorongku dan hendak menampar wajahku. Pak Arkan menangkis tangannya, lalu mendorongnya kasar.

“Kalau kamu berani menyakiti Diva, saya akan melaporkan kamu ke polisi!” ancam Pak Arkan.

“Silakan laporkan, gue ngga takut. Gue bersumpah akan balas dendam ke kalian!” teriak Kesya.

Dia menjerit, lalu tertawa seperti orang sakit jiwa. Pak Arkan menggenggam tanganku dan membawaku pergi dari sana. Kami berlari memasuki mobil karena Kesya menyusul dan membawa benda tajam.

“Gue bunuh kalian!” ancamnya.

Dia menggedor pintu mobil. Pak Arkan menancapkan pegas dan menjalankan mobil, Kesya berusaha mengejar mobil kami tetapi Pak Arkan mempercepat laju mobilnya hingga kecepatan tinggi.

Keesokan harinya.

Aku berbaring di kasur, tubuhku lemas dan tidak kuat berdiri. Aku melihat Pak Arkan tengah siap-siap berangkat kerja. Dia mengenakan seragam guru dan rambut yang tersisir rapi.

“Aku berangkat kerja dulu ya. Kalau ada apa-apa telepon aku,” ujarnya.

“Iya, sayang. Aku ditemani sama Dinda kok, kamu tenang saja.” Aku tersenyum, meyakini Pak Arkan bahwa baik-baik saja meskipun tidak ditemani olehnya.

“Oke, sayang. Sampai ketemu nanti sore,” ucapnya.

Dia mengecup keningku, lalu mengusap perutku. “Jaga bunda. Jagoan Ayah jangan bikin bunda sakit.”

“Kamu setir mobil sendiri?” tanyaku.
“Gala yang setir. Aku duduk manis saja,” jawabnya.

“Bilang ke Gala, bawa mobilnya jangan ngebut. Dia bawa calon Ayah,” ujarku.

“Iya, sayang. Aku pergi ya.” Pak Arkan melambaikan tangan dan berjalan keluar kamar. Aku memandangnya yang perlahan menghilang dari pandanganku.

“Lindungilah suamiku. Jaga dia karena dia calon Ayahku,” doaku.
Aku memejamkan mata dan kembali menutup tubuhku dengan selimut.

Love My Teacher [END]Where stories live. Discover now