Bayi Besarku

159 15 0
                                    

Malam pun tiba.
Aku dan Pak Arkan tengah berkumpul bersama keluarga untuk menyiapkan acara syukuran kecil di rumah. Aku duduk di samping Pak Arkan, menanti beberapa orang yang diundang menghadiri acara ini.

“Cie, bentar lagi jadi Ibu.”

Tiba-tiba Dinda datang sambil membawa sekeranjang kue. Dia berjalan mendekatiku, lalu duduk berhadapan denganku.

“Nih buat calon keponakan gue,” tuturnya sambil menyerahkan keranjang berisi kue lapis padaku.

“Terima kasih monyet. Kaulah sahabat terbaik aku,” kataku sambil meniru suara Kura-kura saat berbicara.

Aku menyantap kue lapis tersebut, sedangkan Dinda fokus menatap layar ponselnya yang entah berisi apa. Namun dari raut wajahnya, dia pasti sedang chatting dengan pacarnya.

“Woi, Dinda!” Gala berteriak dari jauh. Dinda menoleh ke arahnya, kemudian menatapnya sinis.

“Ngapain lo panggil-panggil gue?” tanya Dinda dengan ketus.

“Dih, jutek banget, Mbak. Jangan jutek-jutek nanti suka sama gue,” jawab Gala lalu tersenyum seringai.

Gala berdiri di dekat Dinda, kemudian duduk di kursi sebelahnya. Dinda menatap Gala sambil menautkan satu alisnya, ia bingung dengan perubahan sikap Gala yang lebih bersahabat.

“Lo kesambet apa? Biasanya ngga mau duduk deket gue,” tanya Dinda melontarkan tatapan curiga.

“Hmm, masa duduk di sebelah calon istri sendiri ngga boleh,” jawab Gala membuat Dinda terbelalak.

“Calon istri matamu! Sejak kapan gue pacaran sama lo? Otak lo pasti kejepit atau lo kebanyakan minum obat nyamuk!” seru Dinda tidak terima.

“Loh, ngga percaya? Coba tanya Papa lo tentang hubungan kita.” Gala jawab santai, lalu menyeruput secangkir kopi.

Dinda memalingkan pandangan dan menatap Papanya yang berada di barisan para orang tua.

“Pa, masa kata nih makhluk astral. Aku calon istrinya,” kata Dinda sambil menunjuk Gala di sampingnya.

“Sebentar lagi kamu dan Gala memang akan menikah. Setelah kalian lulus, kalian harus menikah seperti Diva dan Arkan.” Ibunda Pak Arkan menjawab sengaja dengan suara lembut supaya Dinda tidak terpancing emosi.

“Nikah? Kalian pikir hidup cuman untuk nikah? Buat apa nikah kalo ujung-ujungnya cerai? Nanti jadi janda terus open bo,” ucap Dinda tidak terima.

Aku menghela napas melihat perdebatan Dinda dengan Ibu mertuaku. Mereka sama-sama keras kepala menyebabkan perdebatan ini tidak bisa berhenti dengan mudah.

“Jangan egois, Dinda! Menikah dengan Gala akan membuat hidupmu bahagia. Kamu lihat Diva, dia bahagia semenjak menikah dengan Arkan. Lagi pula, mau sampai kapan kamu menunggu pacar kamu yang playboy itu? Seorang pria yang suka main perempuan, ngga akan insyaf sebelum kena penyakit kelamin.” Ibu ikut menasihati Dinda. Meskipun awalnya Ibu menolak pernikahanku tapi sekarang Ibu merestuinya, bahkan Ibu memberikan penghargaan menantu terbaik kepada Pak Arkan.

“Tapi, Bu. Si makhluk astral ini anak geng motor, nanti kalo dia mati gara-gara balapan liar gimana? Dinda jadi janda,” tutur Dinda.

“Wahai adinda, kamu tenang saja. Kakanda tidak mungkin membiarkan kamu menjadi janda. Kakanda akan selalu menjaga adinda sampai seumur hidup kanda,” sahut Gala.

Aku dan Pak Arkan saling beradu tatapan. Aku berusaha menahan tawa setelah mendengar ucapan Gala.

“Lo belum jadi suami aja udah gila apalagi pas jadi suami, bisa gue yang ikutan gila,” celetuk Dinda.

Dinda membuang muka dan kembali melihat layar ponselnya, sedangkan Gala masih berusaha merayu Dinda dengan gurauan-gurauan lucu.

Gala menangkup wajah dengan kedua tangan, dia menatap Dinda dan memberikan senyuman yang paling lebar. Sedangkan Dinda meliriknya dengan mata sinis.

“Berhenti ngeliatin gue atau gue colok mata lo!” ancam Dinda.

“Wahai adinda, kakanda sangat terkesima melihat wajah adinda,” kata Gala.

“Tapi gue jijik liat muka lo,” sahut Dinda.

“Kata pepatah, dari jijik bisa menjadi cinta. Nanti adinda pasti bisa jatuh cinta sama kakanda,” tutur Gala lagi.

“Argh, gue lagi gila tambah gila gara-gara ketemu sama lo!” Dinda berteriak sambil mengacak rambut. Dia terlihat frustrasi menghadapi kelakuan Gala yang di luar nalar. Sungguh aku pun tidak menyangka jika Gala lebih menyebalkan dari Pak Arkan.

“Cukup! Acara ini khusus untuk Adiva. Seharusnya kalian memberikan dukungan pada Adiva supaya dia semangat menjalani hidupnya sebagai calon ibu,” ujar Ayah mertua.

Ayah menatapku, kemudian berjalan menghampiriku sambil membawa sebuah makanan kesukaanku. Kemudian Ayah memberikan makanan itu pada Pak Arkan dan mengisyaratkan Pak Arkan untuk menyuapi aku.

Pak Arkan mengambil sesendok nasi, lalu menyuapkannya ke dalam mulutku. Aku mengunyah makanan sambil tersipu malu, aku baru tahu kalau di keluarga Dirgantara terdapat tradisi yang mengharuskan suami memberikan suapan pada istrinya yang tengah hamil muda.

“Semoga pernikahan kalian langgeng sampai maut memisahkan,” tutur Ayah sambil mengusap kepala aku dan Pak Arkan secara bergantian.

Setelah acara selesai, aku dan Pak Arkan memutuskan beristirahat di kamar Pak Arkan sewaktu belum menikah. Ayah tidak mengizinkan kami pulang karena hari sudah larut malam.

Aku duduk di tempat tidur Pak Arkan yang empuk dan nyaman. Kamarnya begitu luas, tidak seperti kamarku yang sempit dan pengap. Aku melihat dinding kamarnya yang penuh dengan fotonya, serta foto almarhumah Ibunya.

“Kalau boleh tahu, Ibu meninggal karena apa?” tanyaku.

“Ibu meninggal setelah melahirkan aku,” jawab Pak Arkan.

“Jadi, kamu belum pernah melihat Ibu secara langsung?” tanyaku lagi.

“Jangankan melihat, merasakan kasih sayangnya pun tidak pernah.” Pak Arkan menjawab dengan mimik sedih.

“Maaf,” ucapku merasa bersalah.

“Ngga papa, sayang. Kamu cuman nanya, masa ngga aku jawab.” Pak Arkan kembali tersenyum, kemudian duduk di sampingku.

Dia menyandarkan kepala di bahuku, aku mengusap kepala Pak Arkan dan mencium rambutnya yang harum.

“Pokoknya anak kita harus merasakan kasih sayang yang utuh! Aku ngga mau anak kita mengalami hal serupa sepertiku,” tuturnya.

“Insyaallah, sayang,” jawabku.

Pak Arkan meraih tanganku, lalu menggenggam jari-jemariku. Setelah itu, dia berbaring dan menaruh kepalanya di atas pahaku.

Aku menatap Pak Arkan sambil mengusap-usap rambutnya, Pak Arkan terlihat seperti seorang bayi yang tengah manja pada Ibunya.

Love My Teacher [END]Where stories live. Discover now