Diva Hamil?

167 14 0
                                    

Setelah bel pulang berbunyi, aku dan memutuskan pulang bareng bersama Pak Arkan. Kami sudah sepakat untuk tidak memikirkan ucapan warga sekolah tentang kami meskipun banyak yang menentang hubungan kami, tapi banyak pula yang mendukung hubunganku dengan Pak Arkan.

“Jangan dipikirin. Fokus saja sama masa depan kita,” ujar Pak Arkan.

Pak Arkan menggenggam jari-jemariku dan mencium punggung tanganku, ia berusaha menyakini diriku bahwa hubungan kami akan baik-baik saja. Tidak ada orang yang tahu status pernikahan kami, mereka hanya tahu Diva pacaran sama gurunya sendiri.

Sepanjang perjalanan aku hanya diam. Entah kenapa perutku terasa tidak nyaman, seperti ada sesuatu yang mengganjal. Selain itu, aku juga sering mual dan kepalaku berkunang-kunang.

“Kamu kenapa sayang? Kok diam saja? Aku buat salah ya?” tanya Pak Arkan memecahkan keheningan.

“Ngga papa, aku cuman lagi kurang enak badan saja.” Aku berkata jujur, aku merasa kepalaku berputar-putar.

Huek.
Tiba-tiba aku memuntahkan cairan putih yang bercampur nasi. Pak Arkan langsung menghentikan mobilnya dan memegang tubuhku yang  lemas.

“Kamu sakit?” tanya Pak Arkan.

Aku tidak mampu menjawab dan hanya menatapnya dengan mata nanar.

“Kita ke rumah sakit ya,” katanya.

Aku mengangguk kecil, lalu aku bersandar di kursi mobil dan memejamkan mata. Sedangkan Pak Arkan langsung menancapkan pegas mobil dan melaju menuju rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, Pak Arkan  menggendong dan membawaku ke dalam. Aku tidak kuasa berbicara sepatah katapun karena tubuhku lemas, seperti tidak makan tiga tahun.

Kami berada di ruang pemeriksaan umum, aku berbaring di ranjang pesakitan dan menatap Dokter yang berdiri di samping Pak Arkan.

“Istri saya kenapa ya, Dok?” tanya Pak Arkan sambil menampilkan raut cemas.

“Itu hal biasa yang kerap terjadi pada wanita hamil,” jawab dokter sambil mengukir senyuman.

“Jadi istri saya hamil?” tanya Pak Arkan tidak percaya.

“Iya, berhubung usia kandungannya masih sangat kecil, bapak harus menjaga istrinya supaya tidak terjadi hal buruk. Kalau bisa, jangan sampai kecapean ya.” Dokter memberi nasihat.

Aku menyimak obrolan Pak Arkan dengan dokter. Setelah dokter itu pergi, aku menatap Pak Arkan dengan air mata yang mengalir deras.

“Kamu kenapa nangis sayang?” tanya Pak Arkan sambil mengusap air mata yang membasahi pipiku.

“Saya takut, Pak.” Ucapanku terputus. Menarik napas dan membuangnya kasar, mencoba menenangkan hati.

“Takut kenapa? Hamil itu hal yang wajar, apalagi kamu sudah menikah dan berhubungan badan. Jadi ngga ada yang melarang,” kata Pak Arkan.

Responnya benar-benar membuatku kesal. Aku tahu kami memang sudah menikah tapi dia tidak memikirkan masa depan yang harus aku capai.

“Saya masih sekolah, Pak. Masih banyak cita-cita yang harus saya gapai. Bapak bilang pakai pengaman, mana buktinya? Saya justru hamil,” tanyaku. Air mata semakin mengalir deras.

Pak Arkan terdiam, lalu membuang napasnya kasar.

“Saya lupa, Diva. Bagaimanapun saya pria normal yang lebih suka main tanpa pengaman, saya tahu saya egois tapi penyesalan saya tidak bisa membuat janin yang ada dalam perut kamu hilang, kan. Memang kamu mau menggugurkannya?” tanya Pak Arkan.

“Gila! Mana mungkin saya tega gugurin calon anak saya sendiri! Dia ngga salah dan dia berhak lahir ke dunia!” jawabku secara tegas.

“Ya sudah, kita hadapi masalah ini sama-sama. Saya janji kehamilan kamu tidak ada yang tahu, kecuali keluarga kita.” Pak Arkan meyakini aku dan mengulurkan jari kelingking.

Aku menerima jari kelingking Pak Arkan dan berjanji untuk menjaga calon anak kita bersama-sama. Setelah merasa tenang, kami memilih pulang dan beristirahat di rumah. Sekalian memberikan kabar indah kepada keluarga Dirgantara dan keluargaku.

Sesampainya di kediaman mertuaku, kami langsung masuk ke dalam dan mencari keberadaan Papa serta Bunda di halaman belakang.

“Papa!” seru Pak Arkan sambil berlari menghampiri Ayahnya, sedangkan Ayahnya menghindar dan melontarkan tatapan jijik kepada Pak Arkan.

“Gila ya, kamu? Udah punya istri tapi masih kayak anak kecil!” tanya Ayah dengan nada sewot.

“Ih, Papa tega banget sama anak sendiri!” seru Pak Arkan sambil memonyongkan bibirnya.

“Tumben kamu ke sini, ada apa?” tanya Bunda tidak mau basa-basi.

“Arkan mau kasih kabar gembira buat kalian,” tutur Pak Arkan.

“Apa itu?” tanyanya.

“Diva hamil dan sebentar lagi kalian akan punya cucu!” ungkap Pak Arkan dengan suara ceria.

“Kamu serius?” tanyanya tidak percaya.

“Serius, Bunda.”

Seketika Bunda langsung berlari menghampiriku, kemudian Bunda memelukku dan mengusap puncak kepalaku dengan lembut.

“Akhirnya Bunda akan punya cucu juga,” tutur Bunda. Matanya berkaca-kaca seperti menahan tangis. Sekilas aku melihat kasih sayang dari wajah Bunda, sepertinya dia tidak sejahat yang aku kira.

“Selamat ya, Diva. Bunda senang kalau anak Bunda mau jadi Ayah,” katanya.

Aku hanya tersenyum. Nada bicara Bunda benar-benar lembut seperti Pak Arkan. Meskipun dia yang memaksaku menikah dengan Pak Arkan tapi sepertinya dia tipikal Ibu tiri yang bijak, buktinya Pak Arkan tumbuh menjadi anak yang baik dan bijaksana.

“Untuk merayakan kehamilan Diva, kita harus buat syukuran! Nanti Bunda mau undang Ibu-ibu pengajian,” tuturnya.

Aku dan Pak Arkan hanya mengangguk setuju. Kami tidak mau mengganggu kebahagiaan Ayah dan Bunda.

“Assalamualaikum.”

Pintu terbuka, tampak Gala yang berdiri di ambang pintu. Gala berjalan mendekati kami, kemudian Gala duduk di sebelah Pak Arkan.

“Kamu kenapa? Pulang-pulang ditekuk gitu mukanya,” tanya Bunda.

“Gala capek banget. Pindah jauh-jauh, eh malah ditinggal sama Kak Arkan.” Gala menjawab jujur dan melontarkan tatapan sinis pada Pak Arkan yang meninggalkannya di sekolah.

“Arkan kenapa kamu tinggalin Gala? Kan kamu sendiri yang suruh dia buat pindah ke Jakarta,” tanya Bunda sambil menatap Pak Arkan.

“Dia udah besar. Dia bisa pake motornya sendiri. Kenapa harus nebeng sama aku?” tanya balik Pak Arkan.

“Motor gue rusak gara-gara tolongin Diva pas diculik sama mantannya,” jawab Gala kemudian menatapku.

Aku merasa tidak enak. Aku memiliki utang budi pada Gala, ia menolong aku dari Devan. Jika tidak ada dia, mungkin aku sudah meninggal dunia.

“Ya sudah, nanti gue ganti motor lo. Biar lo ngga ganggu hubungan gue sama Diva,” kata Pak Arkan.

Pak Arkan beranjak dari sofa dan mendekatiku yang berdiri di samping Bunda. Setelah itu, Pak Arkan menggenggam tanganku dan membawaku pergi dari sana.

“Mau ke mana Arkan? Nanti Bunda mau adakan pengajian,” tanya Bunda sambil berteriak memanggil kami.

“Arkan balik lagi setelah adzan Maghrib,” jawab Pak Arkan tanpa menoleh ke belakang sedikit pun.

Kami keluar dari kediaman keluarga Dirgantara, lalu kami kembali masuk ke mobil dan meninggalkan pekarangan keluarga Dirgantara menuju rumah kami yang cukup jauh dari sana.

Love My Teacher [END]Where stories live. Discover now