Diva Diculik

133 11 0
                                    

Aku dan Dinda berada di pusat perbelanjaan terbesar di Kota Depok. Kami berkeliling mencari toko kosmetik untuk mencoba tester. Jika ada yang cocok, kami membelinya di toko online.

“Lo ngga masalah nemenin gue belanja? Nanti suami lo yang tua itu marah terus tantrum sama lo,” tanya Dinda.

“Pak Arkan bukan tipikal cowok kayak begitu kok. Dia pengertian dan bebasin aku buat lakuin apa aja,” jawabku.

“Ya sudah, kalau gitu kita cari makan saja. Lo pasti laper,” kata Dinda.

Kami berjalan menaiki eskalator, lalu kami menyusuri lantai dua yang ramai dengan restoran bintang lima. Dinda menarik tanganku dan berjalan menuju restoran yang aromanya saja sudah membuat perutku keroncongan.

“Lo ingat tempat ini ngga?” tanya Dinda.

“Ingatlah, ini tempat nongkrong kita pas SMP. Kalau bokap lo ada acara pasti kita main ke sini,” jawabku.

“Iya dong. Bokap gue emang baik tapi mungkin ngga sih kalau dia beneran jual gue ke Gala?” tanya Dinda lagi.

Aku terdiam, bingung mau menjawab apa. Memang mustahil jika Dinda dijual kepada keluarga Dirgantara oleh Ayahnya karena setahuku Ayahnya sangat baik, bahkan dia rela tidak menikah lagi untuk menjaga perasaan putri semata wayangnya—Dinda.

Tapi Ayah mertuaku—Hammam Dirgantara—juga bukan tipikal orang yang suka berbohong. Dia berbicara sesuai fakta karena aku pun dijual oleh Ayah dan menikah dengan Pak Arkan.
Meskipun sampai sekarang aku tidak tahu motif keluarga Dirgantara menjodohkan anak-anak mereka.

“Lo ngga kesurupan, kan?” tanya Dinda membuyarkan lamunanku.

“Ngga kok,” jawabku.

“Hmm, lo mau makan apa?” tanya Dinda sambil melihat buku menu yang berada di meja.

“Samain aja,” jawabku.

Entah mengapa akhir-akhir ini nafsu makanku berkurang karena mulutku rasanya tidak enak dan perutku mual saat diisi oleh makanan. Mungkin aku salah makan atau memang lagi kurang selera saja.

“Gue pesan dulu ya,” ucap Dinda.

Dinda berdiri dan berbalik membelakangi aku. Mataku terbelalak saat melihat bercak berwarna merah di rok yang Dinda pakai.

“Lo datang bulan?” tanyaku.

“Iya, kenapa?” Dinda bertanya balik.

“Nembus ke rok lo,” jawabku.

“Ha? Serius lo?”

Dinda melihat roknya dan benar, roknya penuh dengan darah. Dinda bergegas menuju kamar mandi meninggalkan aku sendiri.

“Tunggu, Din!” seruku.

Aku berlari mengejar Dinda. Namun, tiba-tiba seorang pria bertopi hitam berdiri dan menghalangi jalanku.

“Siapa kamu?” tanyaku sambil menatapnya dari ujung kaki hingga kepala.

Dia hanya diam, lalu menarik tanganku dan membawaku pergi dari tempat itu.

“Lepasin gue! Lo mau bawa gue ke mana?” tanyaku.

Aku berusaha memberontak dan melepaskan genggamannya. Namun, tenaga dia begitu kuat hingga aku tidak mampu melawannya.

“Diam atau aku dorong kamu dari eskalator?” ancamnya.

Aku diam dan terpaksa mengikutinya yang membawaku ke parkiran. Dia memaksaku masuk ke mobilnya, aku terpaksa masuk dan duduk di sampingnya. Setelah itu, dia menjalankan mobil dan pergi dari sana.

Sepanjang perjalanan, aku berdoa meminta pertolongan dan sesekali aku berusaha menelepon Dinda untuk meminta bantuan.

“Ngapain kamu?” tanyanya.

“Saya ngga ngapa-ngapain,” jawabku.

“Bohong!”

Tiba-tiba dia merampas ponsel yang aku sembunyikan di kantong celanaku, kemudian dia mematikan ponselku dan membuangnya ke sembarang arah.

“Kalau kamu berani meminta bantuan, saya bunuh kamu!” ancamnya.

Aku menelan saliva dan menunduk takut. Aku tidak mungkin melawan apalagi loncat dari mobil, seperti film-film yang aku tonton. Mobilnya melaju dengan begitu kencang, bahkan sampai membuat perutku terasa mual.

**

Dinda mencari keberadaan Diva yang menghilang tiba-tiba. Dinda menyusuri sekitar restoran, tapi tidak kunjung menemukan Diva.

“Diva, lo di mana?” Dinda berteriak. Namun, tidak ada jawaban.

“Permisi, Mas. Lihat cewek pakai seragam SMA ngga? Kira-kira tingginya seleher saya, rambut panjang dan badannya langsing kayak belum makan setahun.” Dinda bertanya pada seorang pelayan di restoran itu.

“Lihat, Mba. Tadi dia dibawa pergi sama cowok pakai baju serba hitam,” jawabnya.

“Kalau boleh tahu, mukanya kayak gimana ya?” tanya Dinda cemas.

“Waduh, kurang tahu saya. Mukanya ketutup kain soalnya,” jawabnya.

“Oh, begitu ya. Makasih ya.”

Dinda bergegas meninggalkan restoran dan menuju parkiran yang berada di lantai dasar. Dinda mengambil ponsel dan memencet nomor kontak Arkan.

“Halo?” tanya Arkan di balik telepon.

“Diva hilang, Pak!” seru Dinda.

“Apa? Kenapa Diva bisa hilang?” tanya Arkan.

“Saya juga ngga tahu, Pak. Tadi saya pergi ke toilet dan pas saya balik, Diva udah ngga ada di tempat duduknya.” Dinda menjelaskan gugup.

“Di mana kamu sekarang? Biar saya susul ke sana?” tanya Arkan.

“Di mal Zero, Pak,” jawabnya.

Arkan memutuskan panggilan telepon dan menancapkan pegas menuju mal tersebut, sedangkan Dinda kembali menyusuri mal—berharap Diva masih berada di sekitar sana.

Love My Teacher [END]Where stories live. Discover now