2. Failure

22.8K 1.4K 160
                                    

"Gimana jalannya hari ini?"

Langkah Milka terhenti, ia menoleh. Rupanya papa juga mamanya belum masuk kamar, mereka menunggunya di sofa ruang tengah.

"Lancar," jawab Milka. Namun, dari ekspresi keduanya, Milka tahu mereka tidak puas akan jawabannya itu.

"Hema telat datang dan masih pake seragam. Apa alasannya?" Papanya yang duduk seraya menggulir-gulir foto di ponselnya itu berucap dingin. Tangannya yang terlihat kaku dengan urat-urat yang menegang menjelaskan dia tengah dilanda amarah.

"Dia ada urusan dulu." Milka menerapkan kelas yang sudah dilaluinya dengan tetap bersikap tenang.

"Urusan dia itu nonton sama gadis lain? Kamu tau itu?"

Milka terdiam. Ia tahu, sangat tahu. Namun, jalan terbaik saat ini adalah berpura-pura tidak mengetahuinya. Setidaknya konsekuensinya lebih ringan.

"Kalian memang dijodohkan, sulit mungkin untuk jatuh cinta satu sama lain, tapi bukan berarti kamu bebasin gitu aja orang lain buat masuk di antara kalian."

Prita, mama Milka itu juga berucap tak kalah dinginnya. Tak ada senyum keibuan atau nada hangat sebagai mana seorang ibu memperlakukan anak seusianya. Hubungan mereka bahkan lebih kaku dibanding hubungan bisnis.

"Aku akan urus." Lagi-lagi Milka memberikan jawaban dengan tenang.

"Urus? Memang kamu becus? Bukannya ini sudah jelas bukti dari ketidakmampuan kamu?" Damian kini tak lagi melihat ponselnya, kini ia beralih menatap Milka dengan tatapan tajamnya.

"Aku--"

"Memangnya apa sih yang kamu lakuin selama ini? Bahkan buat narik hati Hema pun kamu nggak bisa!"

Milka mencengkeram bajunya. Sebanyak apa pun Milka berlatih Milka tidak pernah bisa menahan bentakan ini. Hatinya selalu mencelos takut.

"Saya besarin kamu bukan buat jadi manusia nggak berguna kayak gini!"

Milka merapatkan giginya untuk menahan desakan dari tenggorokannya. Desakan yang membuat bola matanya memanas.

"Percuma kamu jadi tunangan dia 10 tahun, kalau akhirnya dia jatuh ke perempuan lain!"

oOo

"Percuma kamu jadi tunangan dia 10 tahun, kalau akhirnya dia jatuh ke perempuan lain!"

Milka bersandar pada pintu kamarnya. Tubuhnya perlahan merosot hingga akhirnya ia terduduk di sana. Wajah anggun yang selalu terpasang itu luntur, terganti dengan raut lelah. Hanya di sini, Milka bisa menunjukkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Tak perlu menutup topeng tebal yang bukan dirinya.

Milka melepaskan wedges 10 centi-nya lalu melemparkannya asal. Sebelahnya membentur lemari, sementara sebelahnya lagi masuk ke bawah ranjang Queen size-nya.

Milka menatap hampa ruangan yang luasnya hampir sama dengan luas ruang kelasnya. Ada Walk in closet yang berisi baju-baju branded. Dua lemari besar berisi sepatu juga tas mahal yang tak mudah didapatkan. Di sebelah kiri ada foto besar dirinya dan Hema yang tengah melakukan tukar cincin 2 tahun lalu.
Tak jauh dari sana ada rak berisi piala dan bukti-bukti dari prestasi yang Milka raih selama ini.

"Milka beruntung banget ya."

Milka mengingat ucapan temannya ketika mereka diajak masuk ke sini.
Kalimat itu terngiang, namun entah mengapa Milka merasa tengah ditertawakan.

Beruntung? Jika beruntung itu seperti ini, maka Milka akan mengharapkan kesialan.

Karena semua yang barusan netra Milka tangkap itu semakin memberatkannya. Milka sehebat itu, seunggul itu, tapi bisa-bisanya dia kalah dengan gadis beasiswa yang nilainya masih kalah jauh dengannya. Milka terkekeh.

Fight for My Fate [TAMAT]Where stories live. Discover now