10. Your Orders

19K 1.4K 49
                                    

Milka dan Hema duduk pada sebuah bangku yang dinaungi pohon. Hema memeluk Milka cukup lama. Milka juga tidak tahu, dalam pelukan pria itu bukannya berhenti Milka malah semakin menangis. Hema memeluk sampai tangisan Milka berhenti.

Hema menengadahkan wajahnya. Matanya terpejam menikmati cahaya matahari yang masuk dari sela daun.

"Makasih," ucap Milka.

Kening Hema berkerut sebentar sebelum menoleh ke arah Milka yang ternyata berbicara sambil menunduk melihat sepatu. Padahal dia biasanya selalu menatap berani pada mata Hema.

"Nggak masalah, cuma basah dikit," ucap Hema seraya mencubit kaos di bagian dadanya.

"Maksud aku buat yang semalam, bukan barusan," ralat Milka dengan cepat. Matanya mengerjap-ngerjap gugup.

"Yang barusan anggap nggak pernah ada," lanjut gadis itu dengan suara yang merendah.

Sudut bibir Hema tertarik. Dia berdecih lalu dilanjutkan dengan kekehan. "Bisa ngerasa malu juga."

Hema pun kembali menengadah. Kali ini ia menatap burung yang tengah berjalan-jalan pada sebuah dahan.

"Tempat kayak gini emang bisa bikin tersentuh. Entah soal bersyukur atau kenangan. Itu bukan sesuatu yang harus dibikin malu kok."

Kening Milka berkerut dalam. Tidak salah Hema berbicara seperti itu padanya? Ini aneh, sangat-sangat aneh.
Hema, kalau bukan basa-basi untuk percakapan selesai, hanya mengatakan apa yang harus Milka lakukan.

"Pertama kali?" tanya Hema. "Maksudnya setelah waktu kecil kita ke sini," rincinya.

Milka mengangguk.

Hema menatap nyalang. "Dulu kamu nggak keluar dari mobil."

"Karena kamu bilang jalannya kotor."

Milka juga menatap nyalang. Mengingat bagaimana dirinya yang masih berusia 7 tahun sudah menjalankan semua titah Hema. Hema memang tidak mengatakan kalimat perintah secara langsung. Dia juga tidak menuntut Milka untuk selalu menuruti perkataan dia.

Namun, satu yang tidak akan pernah Milka lupakan. Saat usia 7 tahun, Milka pernah bermain di sebuah taman bersama Hema dan Abyan. Hema menyuruh Milka duduk pada sebuah bangku.

"Kamu duduk di sini, jangan ke mana-mana."

Hema dan Abyan sibuk bermain. Berbagai permainan sampai mereka berlari pergi meninggalkan Milka sendirian. Jam berganti. Matahari bergulir hingga awan hitam muncul dan hujan pun turun.

Milka tetap di sana. Sebenarnya bukan karena dia menuruti perkataan Hema, tapi dia terlalu takut untuk pulang. Karena di rumah yang dia dapat hanya bentakan dari Prita juga pukulan dari Damian. Apalagi bisnis Damian sedang tergoncang, Milka selalu menjadi pelampiasan dari emosi pria itu.

Waktu itu Milka berharap ada petir yang menyambar dirinya. Anak kecil yang benar-benar mengharapkan kematian, tapi juga tidak berani jika melakukannya sendiri.

Kulit putih Milka semakin pucat. Tubuhnya bergetar hebat. Di jam 5 sore, Hema berlari ke arahnya seraya membawa payung. Milka tak sadarkan diri saat Hema berhasil memayungi tubuhnya.

Besoknya Milka terbangun dengan seluruh tubuh yang terasa panas. Namun, bukan itu yang terpenting. Pagi itu pertama kalinya Prita dan Damian memeluk Milka. Pertama kalinya mereka mencium kepala Milka dan memanggil Sayang.

Alasannya karena Hema Lingga Danuarta mau dijodohkan dengan dirinya. Sejak saat itu Hema menjadi pusat dunianya. Apa yang harus dirinya lakukan adalah untuk Hema.

Milka tidak akan menggiring opini buruk tentang Hema. Dia tidak pernah menyuruh Milka melakukan hal yang berat. Yang Milka pelajari, bukan diam di bawah hujan berjam-jam yang kejam, tapi menjadi pasangan Danuarta bukan hal yang mudah. Milka dituntut dengan segala kesempurnaan. Ketakutan keluarganya akan kehilangan Hema membuat Prita dan Damian gencar menjadikan Milka sebagai hal yang Hema suka. Apa yang Hema sukai, Milka harus melakukannya.

Fight for My Fate [TAMAT]Where stories live. Discover now