11. Uncovered

18.5K 1.3K 111
                                    

Milka membekap kuat mulutnya agar isakannya tidak keluar. Dia duduk dalam bilik toilet paling ujung dan menangis sendirian. Milka tidak pernah ingin menyakiti orang lain, tapi kenapa orang-orang tak pernah berhenti untuk membuatnya terluka?

Milka memang hanya boneka Damian yang hidup mengikuti apa yang dia inginkan, tapi bukan berarti dirinya tidak merasakan apa-apa. Sakit sekali, Tuhan. Milka ingin menyerah.

"Ibu bangga sama kamu."

Milka terdiam. Tiba-tiba dirinya mengingat kalimat itu. Kalimat dari wanita yang tidak kenal dirinya. Kalimat dari wanita yang tidak tahu apa yang Milka jalani selama ini.

Milka menggeleng kuat dan mengusap wajahnya kasar. Seharusnya Milka tidak pergi ke sana. Sekarang Milka tidak mengerti perasaan asing yang dirinya rasakan. Meskipun itu terasa seperti obat yang lebih menenangkan.

"Melody tunggu dulu di sini, aku bawa baju gantinya ya."

"Iya, makasih ya, Gaby."

Milka mendengar suara percikan air di luar. Dia hanya terdiam. Milka tidak terpikir kalau mereka akan dipertemukan di sini. Harusnya tadi Milka pergi ke tempat yang memang tidak akan dikunjungi oleh siapa-siapa.

"Akhirnya aku bisa berhenti rasain hal-hal bodoh kayak gini."

Milka mengenyit. Itu suara Melody, tapi tidak terdengar seperti dia. Entah dari intonasi maupun isi perkataannya. Melody yang polos tidak mungkin berkata seperti itu 'kan?

"Sayang banget Milka cuma pinter di akademik. Dia mungkin bisa bikin guru takut, tapi mulut siswa terlalu banyak. Jatuhnya dia cuma blunder. Sekarang siapa yang bakal denger dia?"

Tangan Milka perlahan terkepal. Milka bukan tidak memikirkan kemungkinan itu. Dia tahu pasti yang selanjutnya ia terima dengan pengakuan itu. Kesalahan Milka di sini adalah tidak tahu jika itu campur tangan Melody.

"Good job Melody, sekarang nggak perlu mancing-mancing Milka lagi, fokus ke Hema." Melody terdengar bersenandung kecil di antara suara percikan-percikan air itu.

Milka menelan semua amarahnya. Ia menarik napas panjang lalu berdiri dan keluar dari bilik itu. Melody belum menyadari, dia masih melihat cermin dan membersihkan rambutnya. Milka bersyukur, karena dengan begitu Milka bisa menilik baik ekspresinya. Bahwa itu bukan wajah seseorang yang lugu atau naif.

Melody menghentikan gerakan tangannya matanya melirik melalui cermin. "Oke, aku baru ngelakuin blunder juga," gumamnya kemudian berbalik lalu menatap Milka, tanpa topeng polos seperti sebelumnya.

"Eum, pertama-tama, haruskah aku bilang makasih karena udah buat pengakuan tadi? Atau buat ancamannya karena buat orang-orang takut?"

Milka menatap Melody datar, bibirnya lantas tertawa. "Ternyata 'urusan' Hema itu orang yang sepicik ini?"

"Terima kasih(?)"

Milka mengepalkan tangannya. Melody bahkan tidak menampik sedikit pun. Milka selama ini tertipu. Dia pikir Melody memang orang baik, hanya terlalu naif saja. Ternyata dia lebih ular dari gadis-gadis yang pernah mencoba mendekati Hema.

Melody kembali berbalik ke arah cermin dan melanjutkan aktivitasnya. "Aku minta maaf. Coba bukan kamu tunangan Hema, aku nggak bakal ngelakuin hal ini ke kamu kok."

"Dan kamu anggap itu pembenaran?"

Melody mengangkat tangannya cuek. Dia kemudian menatap Milka dari cermin. "Mil-ka Sa-shi-ki-ran," ejanya dengan raut yang seolah ingin tertawa.

"Biar aku kasih saran. Sebaiknya mulai sekarang kamu harus jaga emosi kamu. Yang kamu lakuin tadi itu emang bikin mereka nggak berkutik, tapi di sisi lain kamu juga beri mereka pandangan kalau kamu itu monster.

Fight for My Fate [TAMAT]Where stories live. Discover now