3. Just a Doll

20.2K 1.4K 68
                                    

Saat usia 7 tahun. Ketika teman-teman masih meributkan boneka Barbie. Milka sudah harus memikirkan bagaimana menjadi pasangan yang sempurna untuk pewaris Danuarta. Mengejar semua poin tentang kriteria pasangan idaman.

Cantik.

Milka melakukan berbagai treatment perawatan kulit, orahraga untuk membentuk tubuh ideal, bahkan merelakan apa itu enaknya makanan demi menjaga berat badan.

Cerdas.

Siang malam tak ada satu waktu pun yang terlewat untuk belajar. Berbagai macam les ia ikuti. Lelah tak pernah jadi prioritasnya, dia terus belajar meski sembari menyeka darah dari hidung dengan sebelah tangan.

Berkepribadian.

Milka terus mengikuti kelas-kelas yang tak sedikit. Tentang tatakrama, sopan santun, bahkan untuk hal seperti seperti duduk dan berjalan. Milka merelakan dirinya yang sudah tidak seperti manusia. Tetap tenang meski isi pikirannya kacau balau. Milka tetap tersenyum meski hatinya kalut. Bahkan tak meneteskan air mata meski ia sangat ingin menangis. Demi menjaga citranya.

Milka melakukan semua itu. Karena dia pasangan Hema. Sejak cincin itu tersemat di jemarinya, hidup Milka hanya berporos pada Hema. Semua yang Milka lakukan tak terlepas dari Hema sebagai alasannya.

Karena sesuai dengan yang diatur, hidup Milka hanya untuk Hema.
Hema.
Hema.
Hema.

Tubuh Milka ambruk dan bergetar hebat. Ponselnya terjatuh entah ke mana. Setelah menerima foto Hema yang mencium pipi Melody, Milka seolah kehilangan kesadarannya dengan mata yang masih terbuka.

Milka sudah memperingatkan Hema, Milka juga sudah memperingatkan Melody. Tapi kenapa mereka malah semakin menjadi?

Milka mulai memukuli dadanya yang terus berdenyut sakit. Dirinya memejamkan mata. Membuat bayangan atas semua perjalanannya selama ini kini seolah berlomba-lomba menyerbunya. Menunjukkan jika semua keringat dan darahnya selama ini tidak berarti.

"Milka?"

Milka terlonjak kaget begitu seseorang menyentuh bahunya. Seorang gadis dengan rambut tegulung rapi menampilkan raut bingung.

"Kamu nggak papa?" tanyanya dengan nada yang agak ragu. Meskipun mereka sering berlatih bersama, mereka tidak terlalu akrab.

"Nggak papa," jawab Milka.

Gadis itu melihat tangan Milka yang masih terkepal di depan dadanya. Bagaimana dirinya tidak khawatir jelas tadi Milka memukul-mukul dirinya.

"Lupain yang kamu lihat."

"Ha-hah? Eu ...."

Milka melangkah tenang ke arah lokernya. "Aku mau ganti, bisa keluar?"

Gadis itu semakin memasang wajah bingung. Ruang ganti jelas ada di sampingnya meskipun di sini pun tidak masalah, tapi tentu ini bukan hal yang mengenakan di mana baru pertama kali juga dirinya mencoba bersikap ramah pada Milka.

"O-oke, maaf Milka," ucap gadis itu lalu cepat-cepat berjalan keluar.

Milka membuka lokernya. Hal yang langsung mengambil fokus matanya adalah sepasang soft shoes di sana.

"Hema suka sama penampilan ballerina kemarin, besok kamu les ballet ya." Perkataan ibunya 7 tahun lalu.

oOo

Di pukul 10 malam, Milka baru sampai di kediamannya. Dia menenteng tasnya dengan sedikit lesu. Lelah ternyata tidak bisa hilang, mau sestatis apa pun jadwal-jadwal yang Milka lakukan. Dia merasa begitu lemah saat tenaganya habis. Terlebih karena Milka yang selalu sempurna banyak melakukan kesalahan pada kelas ballet tadi.

Fight for My Fate [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang