16. Believe Me

22.6K 1.6K 114
                                    

"Should I call you, Serena?"

Milka masih tidak bisa mengatasi kekagetannya. Tatapannya kosong dengan dada yang bergemuruh. Beberapa kali dia terlihat terengah seolah sesak. Jangan lupakan wajahnya yang benar-benar pucat.

Milka menggigiti kukunya. Kenapa Hema bisa tahu? Kenapa dia bisa tahu tentang Serena? Padahal 12 tahun ini tidak ada yang curiga sedikit pun. Tidak ada yang menyadari jika Milka hanya pengganti. Kenapa sekarang tiba-tiba?

"Non!" Pembantu Milka memekik panik dan segera menangkap tubuh Milka yang limbung dan hampir terjatuh.

"Non kenapa udah pulang sekolah?"

Milka menggeleng, ia melepaskan diri dari wanita itu lalu lanjut melangkah ke arah kamarnya. Begitu pintunya tertutup, Milka tidak bisa menahan dirinya lagi. Dia terduduk di lantai.

Hema tahu tentang dirinya, apa artinya semua berakhir? Apa semua kerja keras Milka selama ini sia-sia?

Milka menggigit bibirnya. Air mata berjatuhan tanpa bisa dirinya tahan.

"Bunda ...." Milka bergumam lirih.

"Bunda ...." Suara Milka semakin bergetar. Tubuhnya meluruh, sekarang Milka terbaring pada lantai itu dengan terus terisak.

Milka mencengkeram kepalanya, menarik rambutnya dengan kuat. Isakan tangisnya semakin terdengar kuat.

"Ya Ampun, Non!"

Pembantunya langsung mendekat ke arah Milka. Dengan hati-hati dia mengangkat tubuh Milka, memelukkan padanya agar tubuh yang tidak bertenaga itu tidak kembali berbaring pada lantai yang dingin.

"Non, kenapa?"

Milka tak menjawab, dirinya hanya terus menangis. Memuntahkan segala kemelut yang kini berputar di kepalanya. Dia sudah berusaha dengan keras. Berusaha agar tidak ada sedikit pun celah. Milka rela mengubur dalam identitas aslinya, tapi kenapa harus terbongkar? Kenapa harus Hema juga yang mengetahuinya?

"Non, mau bibi buatin teh?"

Milka terdiam sejenak, ia seperti berpikir.

"Mau ya? Bibi buatin teh."

Milka menopang tubuhnya sendiri. Ia perlahan lepas dari pelukan pembantu itu. Wajahnya sembabnya menatap lurus. Ia kemudian mengangguk lemah.

Pembantu itu tersenyum. "Tunggu ya Non, bibi buatin dulu."

Milka mengangguk lagi dan pembantu itu pun pergi keluar. Milka menatap sekeliling kamarnya. Dia mulai bangkit berdiri dan menghampiri jendela. Matanya melihat matahari yang masih di atas, tetapi sudah mulai condong ke arah barat.

Milka kemudian melihat ke arah bawah.  Jarak dengan tanah berkisar antara 4 atau 5 meter. Tatapan Milka terlihat kosong. Milka menggerakkan tangannya untuk menyentuh kaca jendela. Kuku telunjuknya mengetuk-ngetuk seolah tengah berpikir.

"Non, ini tehnya."

Milka berbalik. Pembantu itu berjalan dengan membawa nampan. Milka pun melangkahkan kakinya untuk mendekat. Tangan lentiknya meraih pegangan cangkir itu, ia mengangkatnya.

Milka menatap pembantu itu yang masih memasang senyum.

"Non, mau--"

Milka menggerakkan tangannya cepat. Ia mengunci tubuh pembantu itu sementara tangannya yang lain meminumkan teh itu dengan paksa.

Pembantu itu berontak, Milka menggunakan seluruh tenaga untuk menahannya. Hingga saat isi cangkir itu habis, Milka baru melepaskannya.

Pembantu itu pun terjatuh seraya terbatuk-batuk. Dia menepuk-nepuk dadanya. Yang seiring berjalannya waktu gerakannya semakin melemah hingga dia benar-benar tidak sadarkan diri

Fight for My Fate [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang