4. Different Lines

17.9K 1.2K 82
                                    

Milka keluar dari perpustakaan saat waktu istirahat tersisa beberapa menit lagi. Namun, bukan bisikan pujian yang sudah menghilang, atau desisan mengasihani, yang Milka dapati sekarang adalah tatapan tajam. Semuanya melihat Milka seolah pendosa besar.

Drama apa lagi yang terjadi? Apa mereka buta jika sedari tadi Milka hanya diam di perpustakaan. Apa mereka berpikir Milka merundung Melody atas kejadian tadi pagi? Milka bersumpah, dia tidak akan pernah melakukan hal seperti itu dengan tangannya.

Milka bukan orang rendahan seperti mereka.

Milka menghentikan langkahnya saat melewati pintu ruang olahraga yang terbuka. Di dalam sana ada Melody yang sudah terisak seraya mencoba melepas tangan Gladys yang menarik rambutnya. Tubuh Melody sudah kotor dan basah, hasil perundungan yang dilakukan Gladys bersama kedua temannya.

Pandangan Milka dan Melody tiba-tiba bertemu. Gadis itu memasang tatapan penuh permohonan agar Milka menolongnya. Tidak perlu susah-susah, Milka hanya perlu mengatakan 'berhenti', Gladys dan teman-temannya pasti akan langsung menurut. Seperti waktu itu.

Ya, seperti itu yang membuat Milka paham seperti apa orang yang tidak tahu terima kasih itu.

Milka memalingkan muka lalu kembali berjalan seolah tidak terjadi apa-apa. Suara ribut dari ruang olahraga itu tentu bisa didengar yang lain. Namun, mereka pun memilih diam bukan menolong. Sama saja seperti Milka, tapi tentu Milka akan mendapatkan pandangan yang berbeda.

Milka hampir saja bertabrakan dengan seseorang saat hendak memasuki kelas. Hema Lingga Danuarta. Dunia memang terlalu sempit.

Hema menatap Milka dengan tatapan elangnya, sementara Milka juga membalas dengan sorot tanpa gentarnya. Cukup lama mereka beradu tatap hingga Hema yang lebih dulu mengakhiri dan berlari cepat ke arah dari mana Milka datang tadi.

oOo

Hema membawa Melody ke apartemennya. Apartemen yang tidak dirinya gunakan sebenarnya. Ini hadiah dari pamannya karena dulu Hema pernah bicara ingin udara luar. Hema masih tetap tinggal dengan keluarga di rumah besarnya.

Hema mendudukkan Melody dengan hati-hati pada sofa.

"Hema, nanti sofanya kotor," ucap Melody dengan raut takut

"Itu bukan masalah." Hema mengusap bahu Melody memberikan pengertian.

"Kamu bisa tunggu dulu sebentar? Aku mau ke bawah dulu cari baju buat kamu."

Melody cepat-cepat memegang tangan Hema. "Nggak usah, Hema."

"Baju kamu basah dan kotor."

Melody menggigit bibirnya. "Melody nggak mau repotin Hema."

"Tapi kamu bisa sakit."

"Melody nggak papa." Gadis itu terlihat mencoba menyunggingkan senyum.

Hema menghela napas. "Dy, kamu jangan bohong, aku tau kamu nggak baik-baik aja."

Melody menunduk. Bahunya bergetar dia mulai kembali terisak. "Me-melody nggak tau. Pa-padahal Gladys udah berhenti ganggu Melody setelah dibilangin Milka. Ta-tapi sekarang Gla-gladys ganggu Melody lagi."

"Me-melody nggak ngelakuin salah apa-apa sama Gladys. Ta-tapi ...." Melody berhenti berbicara begitu Hema memeluk tubuhnya.

"Nggak papa, sekarang kamu aman."

Melody perlahan menggerakkan tangannya untuk balas memeluk Hema. Ia pun semakin terisak dalam pelukan pria itu.

oOo

Milka menghela napas berat begitu mendapatkan laporan bahwa Hema membawa Melody ke apartemennya. Hema memang sering tinggal di apartemennya sendiri, tapi apa harus dia bertindak sampai sejauh ini?

Milka melihat keluar jendela, mobilnya hampir sampai. Milka mengetikkan pesan dengan singkat. Menyuruh orang di seberang sana agar tidak melaporkan apa pun tentang Melody dan Hema lagi.

Mobil Milka berhenti. Sopirnya membukakan pintu dan Milka pun mulai melangkah keluar. Kaki panjangnya dipakaikan stiletto tinggi yang semakin membuat jenjang. Dipadukan dengan rok di atas lutut juga blazer dengan warna pastel. Penampilannya terlihat manis ditambah dengan senyuman yang kini dirinya sunggingkan.

"Sayang!"

Arum langsung mengangkat tangannya begitu Milka mulai memasuki pintu ruangan. Wanita paruh baya dengan gaya berkelas itu menyambut Milka dengan pelukan hangat.

"Mama kangen banget sama Milka, Hema jahat banget nggak pernah bawa Milka lagi ke rumah."

Arum adalah ibu dari Hema. Satu-satunya yang benar-benar bersikap hangat pada Milka. Dia bahkan yang menyuruh Milka untuk menyebut orang tua Hema dengan Mama dan Papa juga. Meskipun jarang bertemu, tapi Arum selalu memperhatikan Milka. Jika disuruh memilih Arum lebih seperti ibu dibandingkan dengan Prita.

"Milka makin cantik aja." Arum menyentuh tangan Milka lembut. "Kok bisa ya kulit Milka sebening ini, jangankan gadis-gadis di luar sana, Mama aja iri sama kulit Milka. Cantik sekali"

"Makasih, Ma."

Arum tersenyum sampai matanya menyipit. "Oh iya, Milka mau makan apa?"

"Hari ini Milka ngikutin keinginan Mama deh."

"Loh kok begitu? Memang Milka nggak ada yang dipengen?"

Milka menggeleng kecil. "Bukan gitu, tapi selera Mama soal makanan nggak pernah meleset."

Arum terkekeh kemudian mencubit pipi Milka pelan. "Kamu emang paling bisa ya bikin Mama senang. Mama makin nggak sabar loh buat bisa tinggal sama kamu. Kalo boleh nih, Mama pengen banget nyaranin buat kalian nikah muda aja"

Milka tersenyum untuk menyembunyikan getirnya. Menikah? Dengan pria yang kini tengah berduaan dengan wanita lain di apartemennya. Apakah pernikahan itu akan terjadi?

oOo

Suara muntahan terdengar di salah satu bilik toilet. Milka menunduk, ia terus memasukkan sikat gigi ke dalam mulutnya agar apa yang barusan dirinya makan itu kembali keluar.

Milka terdiam sejenak. Membiarkan perutnya yang terasa sakit agar membaik. Apa itu makanan enak? Milka harus kesakitan untuk memuntahkannya lagi. Agar berat badannya tidak bertambah

Milka terpikir apakah Melody yang dipilih Hema itu juga melakukan diet menyebalkan seperti Milka? Apa dia juga sama tersiksa seperti ini?

oOo

Melody keluar dari kamar mandi memakai kaos Hema yang menutupi sampai lutut. Tubuh kecilnya terlihat habis dilahap oleh baju itu. Sementara itu rambut pendeknya masih terlihat setengah basah.

Melody mendekat ke arah Hema yang kini tengah menata makanan di atas meja. Mata Melody tidak terlepas dari banyaknya hidangan yang tersedia di sana.

"Melody nggak pernah liat makanan sebanyak ini."

Hema tersenyum lembut. "Sekarang ini milik kamu, kamu bebas makan semuanya."

Mata Melody berbinar. "Boleh?"

Hema mengangguk. Melody langsung duduk, dia mengambil garpu lalu mulai menyantapnya dengan tergesa hingga pipinya terlihat menggembung. Mata Melody pun terlihat berkaca-kaca.

"Hey, kenapa nangis?" Hema mendekat lalu mengusap bawah mata Melody.

"Melody senang. Melody nggak pernah makan seperti ini. Jangankan yang mahal, Melody harus ngambil porsi sedikit karena kasian dua adik Melody yang masih masa pertumbuhan kalo kekurangan." Melody menunduk.

"Maaf, harusnya Melody nggak bilang ini."

Hema tersenyum lembut lagi, dia mengusap puncak kepala Melody. "Sekarang kamu nggak perlu ingat hal apa pun. Kamu fokus makan aja ya?"

Melody mengangguk dan makan dengan lahap. Hema menopang dagunya. Matanya memperhatikan Melody baik-baik. Sudut kiri bibirnya tertarik.

oOo

Fight for My Fate [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang