14. Home

21.1K 1.3K 88
                                    

2 tahun lalu

Apa yang diharapkan dari keluarga yang terang-terangan menyebut anak pungut? Sepanjang Melody mengingat hanya kata itu yang akan terlontar saat dirinya mulai mengeluh. Tak peduli soal mental anak, mereka seolah merasa rugi jika melihat Melody istirahat.

Melody menyimpan keranjang besar berisi baju yang sudah dirinya cuci pada atas batu. Dia melihat telapak tangannya yang begitu memerah. Terlihat kontras dengan kulit lengannya yang begitu putih. Kulit Melody memang lebih putih dibanding kebanyakan orang. Tak jarang orang-orang di kampung ini memuji hal itu. Hingga membuat kedua adiknya iri dan berbalik membenci Melody.

Melody menghela napas panjang. Perjalanan menuju rumahnya masih jauh, tapi tenaganya sudah sangat menipis apalagi perutnya yang tidak berhenti berbunyi. Sudah dua hari air yang mengalir ke rumah warga terputus karena longsor. Mau tak mau Melody harus pergi ke sungai untuk mencuci atau mengangkut air karena kedua adiknya tidak mau seperti orang lain yang pergi mandi di sungai.

Melody sudah selesai melaksanakan ujian, itu sebabnya dia tidak pergi ke sekolah. Namun, hingga anak-anak yang lain pulang sekolah, Melody belum juga mendapatkan istirahat.

Melody kembali memangku keranjangnya lagi, berlama-lama dia di sini pun hanya membuat kepalanya terasa panas juga pening, matahari memang tengah terik-teriknya.

"Ini Tuhan nggak lagi berniat jadiin aku Cinderella 'kan? Pas banget 2 sodara yang benci banget plus ibu yang galak banget. Tuhan, kapan dong pangerannya dateng?" Melody tertawa kecil. Hiburan untuk diri sendiri karena tidak ada yang bisa dirinya harapi.

Melody bersenandung kecil kemudian mulai menjemur pakaiannya. Di saat semua selesai dia pun masuk ke dalam untuk mengisi perutnya. Namun, yang dirinya dapati adalah meja makan yang berantakan seolah segerombol ayam baru makan di sana. Semua lauk yang ia masak tadi pagi habis, hanya tersisa sedikit nasi di sana.

Melody menarik napas dan menghembuskannya secara perlahan. Dia mengambil nasi itu dengan tangan. Mengepal-ngepalkan hingga memadat lalu memasukkannya ke dalam mulut.  Melody mengambil sebuah kain lalu mengikatnya kuat pada perut. Tangan yang lain mengambil jerigen, karena untuk mandi sore pun jelas kedua adiknya tetap ingin mandi di rumah.

oOo

Melody baru selesai melipat pakaian di teras depan. Ia kemudian berjalan ke dalam untuk menata baju-baju itu ke dalam lemari. Untuk malam-malam seperti ini, biasanya Bapak dan Ibu menonton TV sementara adiknya yang kelas 8 dan kelas 6 SD sibuk memainkan ponselnya di kamar masing-masing.

Melody menarik napas kemudian memantapkan dirinya untuk mendekati Bapak yang tengah menonton itu.

"Pak ...," panggil Melody dengan agak takut-takut.

"Hemm ...." Pria paruh baya itu bergumam tanpa mengalihkan pandangan dari layar TV.

"Melody minta uang ... boleh?"

Ardi langsung menoleh pada Melody dengan wajah tak bersahabatnya. "Kamu udah gede, masih mikirin jajan?"

"Bukan buat jajan kok, Pak," ralat Melody dengan cepat.

"Terus?"

"Melody 'kan mau perpisahan, boleh Melody minta uang seratus ribu?"

Mata Ardi langsung melotot. "Udah paling bener nggak usah sekolah! Beasiswa dari mananya?! Ujungnya tetep keluar duit 'kan?!"

Melody meremaskan tangannya satu sama lain. Tetap mencoba terlihat kuat meski kini dirinya sudah ketakutan setengah mati. Marah Ardi bukan hal yang sepele, karena tak jarang berakhir dengan Melody yang dipukul.

Fight for My Fate [TAMAT]Where stories live. Discover now