Prolog

86 18 41
                                    

Happy reading :)

Seorang pria dengan baju koko berwarna putih dan peci putih yang bertengger di kepalanya, sedang berdiri di atas mimbar sembari berbicara. Dirinya sedang mengisi ceramah di sekolah ternama di kota Bandung. Kajian ceramah ini merupakan salah satu acara yang sedang diselenggarakan oleh OSIS di sekolah tersebut.

Namanya adalah Muhammad Fajar Malik. Namun, dirinya kerap disapa Ustadz  Fajar. Dia adalah lulusan jurusan filsafat yang memutuskan untuk menjadi seorang Ustadz, untuk mengajarkan agama Islam kepada anak-anak muda generasi zaman sekarang. Umurnya yang masih terbilang muda yaitu dua puluh enam tahun dan gaya menjelaskannya yang logis dan kekinian, membuat dirinya disukai oleh anak-anak muda

“Mungkin itu saja yang dapat Ustadz sampaikan. Mohon maaf bila ada kesalahan ataupun kekurangan. Ustadz persilahkan jika ingin ada yang bertanya. Maksimal tiga penanya, ya,” ucap Fajar dari atas mimbar.

Seorang siswi mengacungkan tangannya. “oke, sekarang perkenalkan dirimu dan Apa pertanyaanmu?” Fajar sudah bersedia untuk mendengar pertanyaan dari siswi itu.

Seorang guru memberikan sebuah mic kepada siswi itu. “assalamualaikum, Ustadz. Pertama-tama, perkenalkan nama saya Syifa dari kelas sebelas IPS. Saya mau tanya, Ustadz. Seperti yang kita ketahui, bahwa Allah itu Maha tahu. Pertanyaan saya, apabila Allah Maha tahu, bahkan Allah tahu apa yang kita inginkan, sebelum kita mengungkapkannya kepada Allah, lantas kenapa kita harus berdoa, Ustadz? Seharusnya, Kalau Allah itu Maha tahu, tanpa kita berdoa pun, Allah tahu apa keinginan kita. Jadi, Allah bisa memberikan apa yang kita inginkan, tanpa kita harus berdoa terlebih dahulu. Mohon penjelasannya, Ustadz. Terima kasih.” siswi yang bernama Syifa itu memberikan kembali micnya kepada guru yang tadi memberikan mic kepadanya.

Mendengar pertanyaan kritis dari siswi itu, Fajar hanya tersenyum. “waalaikumsalam. Masya Allah, terima kasih pertanyaan kritisnya, Syifa. Ustadz akan coba jawab dengan penjelasan yang logis dan mudah untuk dipahami. Tapi, sebelumnya, ustadz mau Syifa naik ke atas mimbar terlebih dahulu.” dengan ekspresi gugup sembari membawa buku catatan, Syifa berjalan ke arah mimbar.

Setelah Syifa naik ke atas mimbar, Fajar pun bertanya, “itu buku catatan kamu yang digunakan untuk mencatat ceramah Ustadz, ya?” Syifa hanya mengangguk menjawab pertanyaan dari Fajar.

Tiba-tiba saja, Fajar mengambil buku catatan yang sedang dipegang Shiva. “Ustadz, kenapa tiba-tiba ambil buku saya? Dan Ustadz nggak minta izin dulu,” protes Syifa.

“Loh, Emangnya kenapa kalau Ustadz ambil? Kan kamu juga lihat dan tahu kalau Ustadz ambil. Jadi, Ustadz enggak perlu minta izin sama kamu, kan?” tanya Fajar pada Syifa.

“Yah, tapi kan itu buku saya, Ustadz. Meskipun saya lihat dan tahu ustadz ngambil buku saya, tapi kan nggak sopan, Ustadz,” ujar Syifa.

Bukannya marah, Fajar tersenyum mendengar perkataan itu. “Nah, begitu juga dengan Allah, Syifa. Meskipun Allah Maha tahu akan apa yang diinginkan oleh manusia, namun manusia harus tetap meminta izin mengenai apapun yang dia inginkan kepada Allah. Karena pada hakikatnya, Allah yang menciptakan alam semesta dan itu artinya, alam semesta ini milik Allah. Jadi kalau manusia menginginkan sesuatu yang pada dasarnya milik Allah, maka manusia itu harus meminta izin kepada Allah dengan cara berdoa. Kalau manusia tidak berdoa untuk meminta izin ketika manusia ingin sesuatu yang dimiliki Allah, itu artinya sama aja dengan nggak sopan kepada Allah, dong.” dengan sangat jelas Syifa bisa memahami analogi yang sedang Fajar berikan.

“Baik, Ustadz, saya mengerti. Saya jadi tahu alasan Kenapa manusia harus berdoa kepada Allah. Terima kasih atas jawabannya, Ustadz.” Fajar mengembalikan buku yang tadi dia ambil kepada Syifa, lalu Syifa kembali duduk di tempat duduknya semula.

Teologi DealektikaWhere stories live. Discover now