33. Diskusi Bagian Satu

13 5 0
                                    

Happy reading :)

Fajar tersenyum mendengar penjelasan Ahmad, sedangkan Melinda tertegun mendengar penjelasan itu. Iya baru kali ini mendengar penjelasan seorang Ahmad Fauzi Rabbani yang dapat menjelaskan sains dan ilmu pengetahuan dalam Alquran. Melinda mengembangkan senyumnya dan kembali mengatakan sesuatu.

“Hmm, sepertinya kamu mengetahui banyak hal mengenai agama Islam,” opini Melinda berpendapat.

Ahmad menggelengkan kepalanya, “ah, saya masih belajar kok, tante. Saya baru tahu sedikit mengenai agama Islam.”

Fajar mendengus dan berujar, “yaelah, nggak usah merendah gitu kali, Mad. Orang kemarin aja kita ngomongin banyak hal tentang agama Islam.”

Melinda tersenyum dan berucap, “Oh, jadi kalian kemarin sudah bicara banyak hal tentang agama Islam ya? Kalau begitu, Gimana kalau sekarang giliran tante yang berdiskusi dengan Ahmad mengenai agama Islam?”

“Dengan senang hati, tante,” jawab Ahmad sambil tersenyum.

“Hmm, Baiklah, tante akan memulai dari sebuah pertanyaan. Kamu pasti tahu kalau Allah subhanahu wa ta'ala dalam agama islam itu memiliki deskripsi ‘laisa kamislihi syaiun’ yang artinya, Allah subhanahu wa ta'ala tidak seperti apapun. Jika Allah subhanahu wa ta'ala tidak seperti apapun, Mengapa Allah memiliki sifat-sifat wajib atau nama-nama baik yang kalau kita lihat lagi nama-nama atau sifat-sifat tersebut adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk hidup? Contohnya kayak melihat, mendengar, mengasihi, menyayangi, Atau sifat-sifat lainnya,” tanya Melinda kritis pada Ahmad.

Ahmad tersenyum dan kembali bertanya, “tante, kalau seandainya tante bertengkar dengan suami tante dan misalnya Tante memiliki seorang anak yang masih kecil, kemudian tanpa sengaja pertengkaran Tante dan suami Tante dilihat oleh anak tante yang masih kecil, kira-kira tante akan menjawab apa jika anak tante yang masih kecil itu mendengar kata perceraian dari suami tante ketika tante dan suami Tante sedang bertengkar dan anak Tante menanyakan istilah percerayan itu?”

Melinda berpikir sejenak kemudian menjawab, “tante akan jelaskan perceraian dengan bahasa yang mudah dipahami oleh anak tante yang masih kecil. Mungkin, tante akan mendefinisikan perceraian sebagai kondisi di mana tante dan suami tante tidak lagi tinggal serumah. Atau, tante akan jelaskan kepada anak tante kalau Ayahnya akan pergi dan tidak akan tinggal bersamanya dan Ibunya. Intinya, tante akan menyesuaikan penjelasan tante mengenai perceraian kepada anak tante sesuai dengan umurnya.”

Mendengar jawaban tersebut, Ahmad kembali bertanya, “menurut tante, Apakah definisi perceraian yang tante jelaskan bahwa perceraian itu adalah kondisi dimana tante dan suami tante tidak lagi tinggal serumah itu benar?”

“Sebenarnya, apa yang tante jelaskan mengenai definisi perceraian tersebut benar, namun kurang tepat. Perceraian kan tidak hanya sebatas kondisi di mana seorang suami dan seorang istri tidak tinggal dalam satu rumah, tapi kondisi di mana hubungan suami istri itu terputus dan rumah tangganya hancur. Tante menggunakan definisi yang sederhana untuk memberi penjelasan kepada anak tante yang masih kecil dalam pengandaian yang kamu jelaskan tadi. Jika tante menjelaskan definisi perceraian kepada anak kecil, tentu saja tante harus menurunkan definisinya menjadi bentuk sederhana dan itu akan membuat definisi perceraian yang tante jelaskan kepada anak tante yang masih kecil itu tidak dapat mendeskripsikan definisi perceraian secara utuh,” balas Melinda menjawab.

“Nah, begitu pula dengan deskripsi Allah, tante. Deskripsi bahwa Allah maha melihat, mendengar, merajai, mengasihi, menyayangi, dan deskripsi-deskripsi lainnya sebenarnya tidak salah, tapi deskripsi-deskripsi itu tidak dapat mewakili deskripsi Allah subhanahu wa ta'ala secara utuh. Hal ini sama saja seperti pengandaian yang saya berikan pada tante, dimana tante menjelaskan perceraian dengan definisi sederhana yang tidak dapat mewakili definisi perceraian secara utuh. Tante melakukan hal itu karena tante menyesuaikan definisi perceraian kepada anak tante yang masih kecil. Allah juga menyesuaikan penjelasan deskripsi dirinya sendiri kepada manusia yang memiliki keterbatasan pikiran dan akal, dengan memberikan deskripsi yang mudah dipahami oleh manusia itu sendiri. Oleh karena itulah, Allah memberikan deskripsi berupa sifat-sifat yang dimiliki oleh makhluk hidup, karena sifat-sifat itulah yang bisa manusia pahami sebagai gambaran Seperti apa Allah. Namun, Allah juga menjelaskan bahwa Allah tidak seperti apapun. Sehingga, meskipun Allah maha melihat, tapi maha melihatnya Allah tidak seperti sifat melihatnya makhluk. Meskipun Allah maha mengasihi, tapi gambaran seperti apa Allah maha mengasihinya tidak sama seperti sifat mengasihinya makhluk,” papar Ahmad menjelaskan.

Teologi DealektikaWhere stories live. Discover now