14. Menalar Tuhan Bagian Tiga

15 5 0
                                    

Happy reading :)

“Nah, hubungan cerita sahabat saya dengan argumen terakhir saya adalah Saya ingin menggunakan cerita sahabat saya ini sebagai analogi dalam argumen terakhir saya,” jawab Ahmad sambil melihat jam tangan yang memperlihatkan beberapa menit lagi waktu istirahat akan berakhir.

“Jar, kamu sadar nggak sih kalau selama ini, orang-orang atheis dan orang-orang yang tidak percaya bahwa Tuhan itu ada, sebenarnya telah membuktikan logika bahwa Tuhan itu ada.” Fajar mengernyitkan alis.

“Hah, Maksud lu apa? Gua nggak paham,” respon Fajar dengan bingung.

“Gini, Jar. Jika saya berkenalan dan berinteraksi dengan sahabat saya pada tanggal sembilan belas Desember dua ribu dua puluh tiga, Bisa nggak saya mengatakan bahwa tanggal-tanggal sebelum tanggal sembilan belas Desember dua ribu dua puluh tiga adalah tanggal-tanggal ketidakberadaan sahabat saya dalam hidup saya?” tanya Ahmad pada Fajar.

“Bisa dong. Karena, tanggal-tanggal sebelum tanggal sembilan belas Desember dua ribu dua puluh tiga itu kan adalah tanggal-tanggal di saat lu belum kenal dan berinteraksi dengan sahabat lu, maka kita bisa bilang tanggal-tanggal itu adalah tanggal-tanggal ketidakberadaan sahabat lu dalam hidup lu. Ini sama saja ketika kita mengatakan bahwa negara Indonesia merdeka pada tanggal tujuh belas Agustus seribu sembilan ratus empat puluh lima, maka tanggal-tanggal sebelumnya, seperti tanggal enam belas Agustus, lima belas Agustus, empat belas Agustus, dan tanggal-tanggal sebelum tanggal tujuh belas Agustus seribu sembilan ratus empat puluh lima, adalah tanggal-tanggal ketidakadaan kemerdekaan di Indonesia, karena tanggal-tanggal tersebut adalah tanggal-tanggal di mana negara Indonesia belum merdeka,” ujar Fajar menjawab.

“Nah, terus kalau menurut kamu ketika saya belum tahu bahwa tanggal sembilan belas Desember dua ribu dua puluh tiga saya akan bertemu dan berinteraksi dengan seseorang yang sekarang menjadi sahabat saya, apakah saya akan tetap bisa mengatakan bahwa sebelum tanggal sembilan belas Desember dua ribu dua puluh tiga adalah tanggal-tanggal ketidakberadaan sahabat saya dalam hidup saya?” Ahmad kembali memberikan pertanyaan.

“Ya … nggak bisa dong. Kalau kita pakai sudut pandang lu yang sedang berada di tanggal-tanggal sebelum tanggal sembilan belas Desember dua ribu dua puluh tiga, pastinya lu nggak mungkin mengatakan bahwa tanggal-tanggal sebelum tanggal sembilan belas Desember dua ribu dua puluh tiga adalah tanggal-tanggal ketidakberadaan sahabat lu dalam hidup lu, karena lu sendiri kan nggak tahu kalau di masa depan, di tanggal sembilan belas Desember dua ribu dua puluh tiga, lu bakal ketemu sama seseorang yang akan menjadi sahabat lu sampai sekarang, jika kita melihatnya dari perspektif atau sudut pandang lhu Yang sedang berada di tanggal-tanggal sebelum tanggal sembilan belas Desember dua ribu dua puluh tiga. Ini sama aja ketika kita kembali ke masa lalu dengan mesin waktu ke tanggal-tanggal sebelum tanggal tujuh belas Agustus seribu sembilan ratus empat puluh lima, kita tidak akan menemukan orang-orang yang mengatakan bahwa tanggal-tanggal saat ini adalah tanggal-tanggal ketidak adaan kemerdekaan di Indonesia, karena orang-orang itu belum tahu bahwa tanggal tujuh belas Agustus seribu sembilan ratus empat puluh lima negara Indonesia akan merdeka,” balas Fajar menjawab.

“Kalau kayak gitu, Bisa dong saya bilang bahwa ketidak beradaan sahabat saya dalam hidup saya hanya bisa ada, ketika saya sudah berkenalan dengan sahabat saya itu? Karena sebelum saya berkenalan dengan sahabat saya itu, saya tidak bisa mengatakan bahwa saat ini adalah saat-saat ketidakberadaan sahabat saya, sebab saya tidak tahu peristiwa masa depan ketika saya bertemu dengan sahabat saya. Sama seperti orang-orang yang hidup ketika negara Indonesia belum merdeka, mereka tidak akan mengatakan bahwa saat-saat ini adalah saat-saat ketidakadaan kemerdekaan di negara Indonesia, sebab mereka tidak tahu peristiwa masa depan bahwa negara Indonesia akan merdeka. So, ketidakberadaan sesuatu itu bisa ada, ketika sesuatu tersebut ada.” Fajar mencoba mencerna penjelasan dari Ahmad, kemudian mengangguk setuju.

Teologi DealektikaWhere stories live. Discover now