16. Skorsing

16 5 0
                                    

Happy reading :)

Waktu pulang pun telah tiba. Fajar kembali harus menumpang dengan Ahmad, sebab mobil sopir pribadinya kembali bermasalah. Fajar bersama Ahmad Tengah menunggu sopir pribadi Ahmad datang. Sambil menunggu, seperti biasanya mereka akan berbincang-bincang.

“Mad, kalau lu dikasih pertanyaan kayak gini, lu milih yang mana?” Fajar berhenti sejenak sebelum mulai mengungkapkan pertanyaannya. “menurut lu, lu nempatin Tuhan sebagai imajinasi, ilusi, halusinasi, atau delusi?”

“Saya tidak menempatkan Tuhan padahal hal-hal yang kamu sebutkan, Jar,” jawab Ahmad sambil menatap siswa-siswi yang berlalu lalang.

Fajar mengernyitkan alis. “Kenapa alasan lu kayak gitu? Bukankah orang-orang yang mempercayai Tuhan akan memahami Tuhan? Jika orang-orang yang memahami Tuhan itu membayangkan mengenai pemahamannya, artinya Tuhan itu imajinasi dong? Jika seseorang menganggap seluruh objek di alam semesta ini adalah Tuhan, misalnya pohon adalah Tuhan, mobil adalah Tuhan, jalan adalah Tuhan, Tuhan di mana-mana, artinya orang itu sedang mengalami ilusi dong? Jika lu merasa Tuhan ada di dekat lu, Meskipun tidak ada apa-apa, artinya lu menempatkan Tuhan pada halusinasi dong? Dan jika lu mempercayai bahwa Tuhan ada, kemudian lu menyebarkan kepercayaan lu pada manusia lainnya, meskipun pada realitanya Tuhan itu nggak ada, artinya lu menempatkan Tuhan pada delusi dong?” tanya Fajar beruntun.

“Kalau kita ingin mengklasifikasikan sesuatu ke dalam imajinasi, ilusi, halusinasi, atau delusi, kita harus melihat Apakah sesuatu yang kita ingin klasifikasikan ke dalam hal-hal tersebut itu memenuhi syarat atau tidak. Contohnya, ketika kita sedang membaca sebuah cerita tanpa ada ilustrasi gambar di dalam cerita tersebut, maka gambaran yang keluar dari otak kita mengenai apa yang kita bayangkan itu adalah imajinasi. Ketika kita memahami Seperti apa tuhan, memang benar bahwa pemahaman kita itu adalah imajinasi kita. Namun bukan berarti pemahaman kita tentang Tuhan melalui imajinasi kita itu menandakan bahwa Tuhan hanya makhluk imajinasi dan tidak ada. Hal ini sama seperti seorang k-popers yang berimajinasi mengenai idolanya. Bayangan k-popers itu mengenai idolanya memang hanya sebatas imajinasi, tapi bukan berarti idola yang diimajinasikan itu tidak ada. Jadi, bukan berarti kita mengimajinasikan suatu objek, lantas objek yang kita imajinasikan itu sudah pasti tidak ada dalam realita,” papar Ahmad menjabarkan.

“Nah, yang dimaksud ilusi itu adalah kesalahan persepsi terhadap suatu objek. Misalnya, pada realitanya di depan kita adalah gurun pasir yang luas, tetapi karena efek fatamorgana, sehingga kita melihat mata air di tengah gurun pasir itu. Apakah ungkapan bahwa Tuhan di mana-mana itu adalah sebuah ilusi? Tergantung dari seperti apa kita memahami ungkapan tersebut. Jika kita memahami yang dimaksud Tuhan di mana-mana artinya segala sesuatu adalah benar-benar Tuhan, Artinya kita memang sedang mengalami ilusi. Sebab, tidak mungkin pencipta menempati ciptaan atau ciptaan itu adalah pencipta sendiri. Namun apabila kita memahami ungkapan Tuhan di mana-mana sebagai kesadaran hakikat sesungguhnya, maka hal ini bukan kesalahan persepsi dan bukan ilusi,” lanjut Ahmad menerangkan.

“Contohnya kayak gini.” Ahmad menunjuk dirinya sendiri. “jika saya memperkenalkan diri saya sebagai kumpulan-kumpulan sel, Sebenarnya saya tidak mengalami ilusi. Karena, saya mengatakan ungkapan tersebut dalam segi hakikat. Tentu saja bila saya benar-benar memahami bahwa saya adalah kumpulan-kumpulan sel, saya terklasifikasi sebagai orang yang berilusi. Sebab realitanya saya adalah manusia, bukan kumpulan-kumpulan sel.”

“Tapi, jika saya memahaminya dari segi hakikat, artinya saya mengatakan bahwa saya adalah kumpulan-kumpulan sel, sebab pada hakikatnya manusia tersusun dari kumpulan-kumpulan sel. Saya masih menyadari bahwa saya bukanlah kumpulan-kumpulan sel dan kumpulan-kumpulan sel itu bukanlah saya, karena saya dan kumpulan-kumpulan sel itu jelas berbeda. Namun, ungkapan bahwa saya adalah kumpulan-kumpulan sel itu adalah ungkapan yang bermakna bahwa pada dasarnya, tubuh saya itu disusun oleh kumpulan-kumpulan sel. Sehingga, pernyataan saya mengenai diri saya adalah kumpulan-kumpulan sel itu bukanlah ilusi, sebab konteksnya bukan persepsi Indrawih, namun persepsi maknawi. Begitu pula dengan Tuhan. Jika yang dimaksud Tuhan ada di mana-mana artinya adalah segala sesuatu merupakan ciptaan Tuhan dan pada dasarnya segala sesuatu tidak akan bisa tanpa diciptakan Tuhan, artinya segala sesuatu itu tidak abadi dan sifatnya fana. Jika segala sesuatu fana dan tidak abadi, artinya segala sesuatu sebelumnya tidak pernah ada, namun diadakan oleh Tuhan Yang maha ada. Ketika seseorang memandang dunia dari segi hakikat, dia akan melihat bahwa semua hal ciptaan termasuk dirinya sendiri itu pada hakikatnya tidak pernah ada.” Ahmad menghentikan sejenak penjelasannya untuk memeriksa handphonenya yang berbunyi pesan notifikasi.

Teologi DealektikaWhere stories live. Discover now