2. Ragu

38 10 48
                                    

Happy reading :)

Fajar berjalan di tengah gelapnya malam. Iya tak tahu harus berjalan ke mana. Kakinya terus-menerus melangkah tanpa lelah dan tanpa tujuan.

Fajar sudah keluar dari wilayah kawasan komplek perumahannya. Kini dia berjalan sendirian di pinggir jalan raya. Sejujurnya, ia tak mau meninggalkan Ayah dan Ibunya. Tapi, Iya tak tahan lagi dengan pertengkaran yang terus-menerus terjadi di rumahnya.

Ia mendongak dan menatap langit. Suasana langit di kota Bandung saat ini penuh Awan kelabu. Nampaknya, tak lama lagi butiran air hujan akan jatuh membasahi bumi. Fajar harus segera mencari tempat berteduh.

Setelah berjalan cukup lama, ia kembali menemukan sebuah komplek perumahan. Fajar mulai berjalan memasuki komplek perumahan tersebut. Tepat setelah memasuki wilayah kawasan komplek perumahan itu, Fajar melihat sebuah masjid.

Fajar memutuskan untuk bermalam di masjid tersebut. Ia memasuki masjid dan melihat seorang pria tua yang sedang membaca Alquran. Fajar pun berjalan mendekati pria tua tersebut.

“Em … permisi, Pak. Bisakah saya menginap di masjid ini untuk beberapa malam?” tanya Fajar pada pria tua tersebut.

Pria tua itu menghentikan bacaan Alqurannya dan menolehkan wajahnya ke arah Fajar. “Masya Allah, tentu saja boleh, Nak. Tapi, anak sekecil kamu kok jam segini malah nginep di masjid? Memangnya orang tua kamu ke mana?”

Fajar hanya terdiam. Iya tak tahu harus menjawab apa. Pikirannya bergejolak, antara menceritakan masalah keluarganya atau berbohong demi privasi keluarganya.

“Nak, kamu tidak apa-apa?” pertanyaan pria tua itu membuyarkan lamunan Fajar.

“Eh, i— iya, Pak. Sa— Saya anak yatim piatu,” jawab Fajar berbohong.

“Astaghfirullahaladzim, terus rumah kamu di mana, Nak?” raut wajah pria itu menampakan kekhawatiran.

Fajar menggelengkan kepalanya. “Saya tidak tahu, Pak. Saya tersesat,” tepat setelah Fajar mengucapkan hal tersebut, suara gemuruh petir pun mulai terdengar dan perlahan hujan pun mulai turun.

Fajar tak berbohong ketika ia mengatakan bahwa ia tak tahu rumahnya, karena ia selalu diantar oleh sopirnya dan ia tidak memperhatikan jalan ketika pulang dari sekolah menuju rumahnya. Sehingga, ketika ia kabur dari rumah, dirinya hanya mengikuti jalan hingga menemui masjid ini. Pria tua tersebut mengajak Fajar untuk masuk ke sebuah ruangan di masjid tersebut.

Sembari berjalan, pria tua itu menceritakan bahwa dirinya adalah marbot di masjid itu. Beliau menjaga masjid ini dan beliau tinggal pula di masjid ini. Oleh karena itu, dibuatlah sebuah ruangan khusus untuk beliau beristirahat yang terdapat di dalam masjid.

“Terima kasih, Pak Ridwan. Bapak sudah memperkenankan saya tidur di ruangan bapak,” ucap Fajar berterima kasih, setelah mereka berdua sampai di ruangan Ridwan beristirahat.

Fajar sudah mengetahui nama pria tua tersebut karena di tengah perjalanan pria tersebut memperkenalkan namanya. “Tapi, bapak sendiri nanti tidur di mana?” tanya fajar pada Ridwan.

“Bapak bisa tidur di karpet dalam masjid, sekalian biar kalau udah waktu subuh, bapak bisa langsung azan. Bapak juga jadi nggak perlu bolak-balik kalau mau salat tahajud,” jelas Ridwan pada Fajar.

“Serius, Pak? Tapi kalau tidur di karpet kan dingin, Pak. Gimana kalau saya aja yang tidur di karpet dan bapak tidur di ruangan ini aja?” tawar Fajar.

Ridwan menggelengkan kepalanya. “nggak perlu, Nak. Bapak pakai sarung kok. Bapak nggak akan kedinginan, yang terpenting kamu yang nggak kedinginan.”

“Sekali lagi terima kasih ya, Pak,” kata Fajar sambil tersenyum.

“Iya, sama-sama, Nak. Udah, sekarang tidur ya. Besok Bapak bakal bawa kamu ke rumah RT setempat, biar kamu bisa pulang lagi ke rumah kamu,” tutur Ridwan sambil berjalan keluar ruangan.

Teologi DealektikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang