38. Persaksian

9 6 0
                                    

Happy reading :)

Fajar terkekeh secara tiba-tiba kemudian berujar, “hahaha, lelucon yang bagus, Ayah. Tapi itu sama sekali nggak lucu, cepet kasih tahu gimana kondisi Ibu.”

Rizal hanya menghela nafas kemudian kembali menjawab, “Ayah nggak lagi bercanda. Kalau kamu masih nggak percaya, besok Ayah ajak kamu ziarah ke makam Ibu.”

Satu tetesan air mata meluncur membasahi pipi Fajar. Sejurus kemudian, Fajar tak dapat lagi membendung air matanya yang terus-menerus mengalir. Ahmad yang melihat sahabatnya sedih itu pun menepuk-nepuk pundak Fajar untuk menguatkannya.

Rizal menundukkan pandangannya seraya berucap lirih. “maafin Ayah, Fajar.”

Fajar menyeka air matanya kemudian menatap tajam Rizal. “dari dulu, Ayah cuman bisa minta maaf aja. Ayah tahu nggak, permohonan maaf Ayah itu nggak akan bisa membuat Ibu balik lagi!” bentak fajar pada Rizal.

Rizal berdiri dari duduknya dan bersujud di kaki Fajar. “Ayah mohon, Fajar. Ayah mohon maafin Ayah. Ayah tahu Ayah salah. Kamu bebas boleh ngelakuin apapun pada Ayah, tapi Ayah benar-benar mau berubah, benar-benar mau minta maaf, jadi Ayah mohon maafin Ayah.”

Fajar menatap sinis Ayahnya lalu menginjak tangan Rizal. Rasa sakit mulai menjalar di tubuh Rizal dan itu membuat Rizal meringis. Ahmad kemudian menarik Fajar sehingga kakinya tak lagi menginjak tangan Rizal.

“Arrggh, lepasin gua, Mad! Gua harus kasih pelajaran orang yang udah bikin Ibu gua menderita!” teriak Fajar sambil memberontak dari tarikan Ahmad.

BUGH!

Ahmad meninju perut fajar hingga Fajar tersungkur ke lantai. Fajar Yang tersungkur itu pun menatap nyalang Ahmad dan Ahmad Tak gentar mendapatkan tatapan seperti itu. Ia berjalan mendekati Fajar dengan ekspresi wajah yang tenang.

Fajar tertawa nyaring sambil menunjuk Ahmad. “oh, Jadi sekarang lu ada di pihak Ayah gua? Gua nggak habis pikir, Mad. Ternyata persahabatan kita nggak ada artinya.”

Cepat-cepat Ahmad menggelengkan kepalanya. “saya melakukan semua ini karena saya peduli dengan kamu, Jar. Apa yang kamu lakukan barusan itu sudah keterlaluan.”

Fajar mengerutkan alis kemudian membantah, “gua nggak keterlaluan loh ya. Justru yang keterlaluan itu dia. Dia yang udah bikin Ibu gua sedih gara-gara hanya mikirin dirinya sendiri dan poligaminya. Dia yang bikin gua pertama kali meragukan agama Islam. Dia yang pertama kali bikin gua muak dan keluar dari rumah. Lu masih mau bilang kalau gua yang keterlaluan?”

“Jangan lupa, dia yang bisa membuat kamu lahir sampai sekarang. Tanpa ada dia, Ibu Kamu tidak akan bisa melahirkan diri kamu sampai saat ini. Dia juga adalah sosok yang bisa memberikan kamu fasilitas-fasilitas dari rezeki yang dia dapatkan ketika kamu masih kecil. Kamu bisa tinggal dan hidup nyaman dari sejak bayi hingga Sekolah dasar itu juga tak lepas dari tanggung jawab dia. Apakah kamu sudah mampu membiayai hidup kamu sendiri? Apakah kamu sudah tahu bagaimana beratnya menjalani pekerjaan untuk mendapatkan sepeser uang? Apakah kamu tidak pernah memikirkan seberapa lelahnya dia dalam bekerja hanya untuk menghidupi keluarganya? Jar, Jangan biarkan rasa benci dan dendam menguasai kamu sehingga kamu menutup mata atas kebaikan dan hal-hal positif dari Ayah kamu,” pesan Ahmad pada Fajar.

“Jar, terlepas dari kamu mulai percaya bahwa Tuhan ada atau tidak, manusia itu adalah makhluk yang tidak sempurna dan pasti pernah melakukan kesalahan. Apakah dengan membenci Ayah kamu, Ibu kamu bisa bangkit lagi? Nggak kan? Apakah dengan kamu membenci Ayah kamu, masalah akan selesai? Nggak kan? Setiap orang berhak diberikan kesempatan kedua dan berhak memperbaiki dirinya lebih baik lagi,” imbuh Ahmad menasihati.

Fajar kembali membantah perkataan Ahmad. “tapi sekarang coba lu pikir deh, Mad. Ayah macam apa sih Yang tega menyakiti hati istrinya dan tega menyakiti hati anaknya? Gua nggak bisa terima itu.”

Teologi DealektikaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora