XXVI. Perhatian Kecil

11 2 0
                                    

Pagi hari yang cerah ini, Karin yang sudah siap dengan seragam sekolahnya tengah memakan sarapannya bersama dengan Bunda. Hal yang selalu wajib dilakukannya sebelum berangkat ke sekolah. Karena jika tidak, magh nya akan kambuh yang mengakibatnya dirinya harus merepotkan orang lain.

Seperti, Arya.

Pada hari itu.

Makanya sebisa mungkin, Karin tidak boleh melewatkan sarapannya.

"Berangkat sama Adel?" tanya Bunda setelah menyelesaikan sarapannya.

Karin yang sedang meminum susunya langsung saja segera menghabiskannya dan menatap Bunda. "Enggak, Bun. Karin berangkat sendiri."

"Lho? Lagi marahan?" Bunda menatap serius ke arah Karin.

"Adel sama Karin baik-baik aja, Bunda." jawab Karin tersenyum menjelaskan kepada Bunda agar tidak khawatir. "Cuma pulang nanti Karin ada latihan olim, jadi kita mutusin buat sendiri-sendiri aja."

Mendengar jawaban Karin barusan, Bunda berusaha tersenyum. Dan kemudian memilih bangkit untuk menyimpan piring kotor ke dapur, diikuti dengan Karin.

"Anak Bunda sekarang udah sibuk aja ya," ucap Bunda dengan nada menggodanya.

"Apa deh Bunda ini."

"Bunda makin ngerasa kesepian aja," Bunda kini memasang raut sedihnya, mencoba menatap ke arah Karin yang kini sudah semakin beranjak remaja. "Padahal baru semalem rumah ini terlihat ramai."

Karin yang memahami kondisi hati Bunda sedang sedih pun, mencoba untuk menghiburnya. "Nanti Karin bakal lebih sering buat ajak mereka main kesini."

Dan langsung saja, Bunda menampilkan lengkungan senyumannya. "Kalo gitu, Bunda juga bakal lebih sering buat bikin kuenya."

"Harus dong. Kue Bunda itu kue yang paling enak sebumi ini."

"Kamu ini. Paling bisa ngerayu Bunda."

"Iya dong. Diajarin sama Ayah."

Mendengar anak gadisnya menyebutkan kata 'Ayah' membuat raut muka Bunda seketika kembali bersedih. Teringat dengan suaminya yang sedang berada di luar kota itu. Entah sudah berapa hari mereka berdua tidak berkomunikasi, karena Ayah yang selalu berkata sedang sibuk.

Waktu semalam, sepulang teman-teman Karin dari rumah. Bunda mencoba menghubungi Ayah untuk menyampaikan kabar baik mengenai Karin yang ikut serta menjadi peserta olimpiade, namun sudah beberapa kali panggilan itu Bunda lakukan. Dan selalu berakhir dengan nomor Ayah yang tidak aktif.

Tentu saja hal itu membuat Bunda bersedih, tapi tidak ingin menunjukkan di depan anak gadisnya. Jadi, yang bisa Bunda lakukan adalah memendam semuanya seorang diri.

"Yaudah, Karin pamit berangkat ya, Bun." ucapan dari Karin itu membuat kesadaran Bunda kembali, lalu menatap ke arahnya yang sudah keluar dari dapur.

Bunda pun ikut mengantar Karin sampai teras halaman rumahnya. "Hati-hati, jangan ngebut."

"Iya, Bunda." Karin mengambil tangan Bunda untuk ia salimi dan tak lupa dengan mencium pipi sang Bunda. "Karin berangkat dulu. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Karin mengendarai motornya dengan kecepatan sedang, menikmati semilir angin pagi yang terasa sangat sejuk menerpa wajahnya.

Bergabung bersama beberapa pengendara motor lainnya, membuat Karin semakin berhati-hati mengendarai motornya. Bahkan tak jarang, ia memilih untuk mengendarai di tepi jalan daripada harus di tengah.

Selain berhati-hati, Karin juga tidak ingin selalu dikejutkan dengan suara klakson pengendara lainnya jika dirinya terlalu lambat dalam berkendara.

Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, akhirnya Karin tiba di parkiran sekolahnya, langsung saja ia mencari tempat kosong untuk menyimpan motornya. Karena pagi ini, suasana parkiran sudah lumayan ramai.

Ruang WaktuWhere stories live. Discover now