4. Desa Curahwangi, 07:11

318 38 0
                                    

"WOHOOOOO!!!" Fadil berteriak kencang sambil merekam pemandangan sekitarnya.

Zilmi dan Irwan duduk bersandar pada tas carrier dan ransel mereka, bersantai menikmati angin sambil mengisap rokok. Di samping mereka nampak beberapa tumpuk sayuran dan beras.

Ketiga laki- laki itu duduk di bak belakang sebuah mobil open kap yang melaju pelan membelah sawah dan perkebunan warga, yang seolah menemani mereka menuju Curahwangi.

"Makasih loh Pak, sudah mau bawa kita," Damia tersenyum manis sambil mengangguk. Tadi di pasar Damia lah yang mengajak bicara seorang pemilik mobil sayur, yang kebetulan juga akan mampir ke Curahwangi.

Damia dan Santi duduk di kursi samping sopir.

"Ah, gak usah dipikir," ujar si sopir ramah sambil mengusap wajahnya. "Toh satu jalur. Kalian juga sudah kasih saya uang rokok."

"Itu kan gak seberapa, kita bener- bener makasih," sambung Santi. Ia nampak sungkan dengan kebaikan si sopir.

Damia dan Santi mengajak si sopir berbicara sepanjang sisa perjalanan mereka. Sopir itu nampak sudah sangat hafal sekali dengan jalanan ini. Dengan tanpa kesulitan ia melibas jalan berlubang, berkelok dan menanjak.

Tak membutuhkan waktu lama sebelum akhirnya mobil sayur itu berhenti di pintu desa, di mana dari sini mobil akan balik kanan setelah mengedrop barang angkutannya.

Zilmi dan kawan- kawannya melambaikan tangan penuh terimakasih. Sejenak kemudian, mereka berjalan memasuki area desa.

Beberapa warga yang melintas menyapa mereka ramah, melempar senyum. Membuat Zilmi dan tim nya merasa betah walau baru saja tiba di sini.

Rumah- rumah yang sederhana, hewan ternak yang berkeliaran, dan petak- petak sayur di halaman. Sebuah pemandangan asri yang tak mereka temukan di Surabaya.

"Nah, guys. Kita sudah tiba nih di Curahwangi. Bener- bener desa yang indah-" Damia, Zilmi dan Fadil langsung sibuk untuk take video di satu sudut.

Sementara Irwan dan Santi berdiam di belakang kamera masih mencoba mengamati sekitar.

"Nah, sekarang kita mau ke mana ini?"tanya Irwan menarik nafas.

"Kita cari pos registrasi," Santi memeriksa kembali note di smartphone. Ia menyiapkan formulir pendaftaran, dan identitas masing- masing. "Hari ini sebelum siang kita sudah harus jalan."

Santi dan semuanya berjalan menyusuri desa sambil sesekali bertanya lokasi pos. Sementara Fadil melakukan tugasnya untuk merekam semuanya.

Mereka menemukan tempat registrasi di ujung lain desa, yang berupa sebuah bangunan pos kecil. Di sebelahnya terdapat papan peta jalur pendakian dan portal gerbang menuju hutan.

Di pos itu hanya ada seorang petugas lelaki dan seorang perempuan berkerudung. Si lelaki nampaknya adalah staff KSDA, sedangkan si perempuan mungkin staff puskesmas.

Tim Malam Jumat segera menghampiri pos bersama- sama.

Zilmi dan para lelaki sedang mengurusi tiket dan registrasi urusan pendakian, ketika si staff perempuan memanggil Santi dan Damia.

"Sini Mbak, biar saya cek dulu," ujar staff itu mempersilakan Santi dan Damia duduk. Di mejanya terdapat kotak P3K dan tensimeter.

Damia tersenyum ramah melihat sosok staff perempuan itu. Mungkin usianya sekitar 28-29 tahunan, dan paras manisnya terlihat sangat cocok dengan kerudung yang ia kenakan.

Staff itu memeriksa tekanan darah Santi dan Damia bergantian, lalu bertanya pada mereka. "Apa ada di antara kalian yang sedang haid hari ini?"

"Nggak ada Mbak," jawab Santi- merasa sedikit aneh karena mendapat pertanyaan begitu. "Apa kalo haid nggak boleh naik Raung? Ada pantangannya gitu?"

Si staff hanya tersenyum. "Bukan. Karena pendakian Raung apalagi jalur Curahwangi ini membutuhkan kondisi tubuh yang fit. Makanya aku periksa kalian para cewek."

"Terus kita- kita ini enggak perlu diperiksa gitu Mbak?" Zilmi menunjuk dirinya dan para cowok.

"Ngelihat sekilas dari fisik kalian yang kayak ternak sehat begitu juga jelas kali enggak perlu," seloroh Santi. Si mbak staff hanya tertawa sembari merapikan perlengkapannya.

"Oh iya Mbak, ini kan satu dari sekian jalur pendakian Raung. Kenapa sepi sekali? Dari berangkat ke sini, saya hanya lihat satu- dua kelompok kecil pendaki," tanya Damia sambil melihat sekitar pos.

"Yah karena dibanding dengan jalur lainnya, Curahwangi ini relatif baru dan kurang dikenal. Selain itu untuk mencapai ke sini, harus memutar lebih jauh ketimbang jalur lain," jawab si mbak staff.

"Jadi karena itu ya-" Damia mencondongkan badannya ke depan sambil memelankan suara. "-dan bukan karena di jalur ini ada Alas Medi?"

"Memangnya kenapa dengan Alas Medi?" Mbak staff itu bertanya balik.

"Kan katanya, Alas Medi itu terkenal angker Mbak? Apa bukan gara- gara itu jalur ini jadi kurang diminati?" Damia menyandarkan badannya pada kursi.

Fadil di belakang merekam semua percakapan dengan tenang, agar tidak menarik perhatian. Ia ingin video BTS nya berjalan alami.

Si mbak staff membetulkan kerudungnya, memandangi satu persatu wajah tim Malam Jumat. "Alas Medi ya nggak ada bedanya dengan hutan yang lain. Banyak mahluk yang menempati wilayah itu, yang fisik maupun non-fisik. Karena Allah menciptakan manusia tidak sendirian di dunia ini. Sungai, gunung dan bahkan di gedung perkotaan pun juga ada yang seperti itu.

Yang penting bagi kalian adalah, kalian harus bisa menempatkan diri sebagai pengunjung di atas sana. Jangan berbuat seenaknya yang mungkin bisa mengganggu keharmonisan alam yang sudah berjalan.

Memangnya kalian berniat mau apa ke Raung? Cuma mendaki kan?"

Damia dan yang lain terdiam. Mereka nampak ragu untuk menjawab.

"Iya Mbak," jawab Zilmi singkat.

"Kalau begitu, tidak masalah," si mbak staff mengembalikan KTP Zilmi dan yang lain.

"..."

Damia kembali bertanya untuk sedikit mengorek informasi. "Tapi katanya, ada beberapa pendaki yang lewat jalur ini, dan mereka menemukan semacam petilasan gitu di area Alas Medi?"

Kali ini si mbak stsff yang terdiam. Ia seperti berpikir sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawab. "Ya, di jalur ini memang ada petilasan."

Damia dan yang lain hampir saja melompat kegirangan saat mendengarnya. Namun mereka masih menguasai diri. "Apa tempat itu angker Mbak?"

"Petilasan itu lokasinya terpisah jauh dari jalur utama. Dan sudah tidak pernah di kunjungi siapapun. Jika kalian mengikuti jalur ke puncak, kalian tidak akan melewatinya kok," ujar si Mbak staff ramah. "Dan tidak ada urusannya juga kalian ke sana."

"Tapi-" Damia kembali mencoba memancing. "-kenapa ada petilasan di Alas Medi?"

Si mbak staff menarik nafas panjang. "Sudahlah. Seperti kataku tadi- yang aku sarankan; posisikan diri kalian sebagai pengunjung. Jangan terlalu mencampuri urusan lain di tempat tuan rumah.

Petilasan itu bukan untuk dikunjungi umum- toh tidak ada yang menarik di sana.

Jika kalian ingin mendaki, mendaki saja. Ikuti jalur yang sudah ada, karena jalur itu di buat dengan mempertimbangkan aspek keselamatan para pendaki juga. Jika kalian nekat keluar dari jalur, kita tidak tahu apa yang akan terjadi."

Damia memandangi teman- temannya, lalu mengangguk. Sepertinya mereka sudah merasa cukup untuk berada di pos ini. Mereka memutuskan untuk segera berangkat.

"Baik mbak," Damia dan yang lain tersenyum sambil meraih tas ransel dan carrier mereka. "Kalau begitu kita siap- siap untuk naik."

Si mbak staff mengangguk ramah. Ia beranjak dari mejanya dan menunjukkan jalan menuju portal gerbang pendakian.

"Hati- hati ya," ujarnya penuh senyum. "Semoga pendakian kalian menyenangkan."

PETILASAN ALAS MEDI (COMPLETE)Where stories live. Discover now