BONUS A. Segel

240 37 0
                                    

[Sepuluh tahun sebelumnya]

Satu minggu telah berlalu semenjak kejadian mengerikan itu menimpa tim scout dari Curahwangi. Dari tujuh orang yang berangkat, hanya dua orang yang kembali.

Ajeng dan Slamet.

Itupun satu orang bernama Slamet, harus kembali dalam kondisi yang mengenaskan.

Para warga Curahwangi, dan seluruh orang yang berada di sana, memilih untuk tutup mulut dan tak membicarakan kejadian itu. Media pun lebih banyak meliput mengenai kejadian longsor yang menimpa Curahwangi.

Berita- berita yang beredar pun menjadi simpang siur karenanya. Dan para warga sengaja membiarkan itu untuk menyembunyikan kebenaran yang terjadi.

Sebab ada satu hal penting yang harus dikerjakan sekarang.

Di jalan hutan berbatu yang membelah Alas Medi, nampak sekelompok orang yang berjalan beriringan. Masing- masing dari mereka membawa sebuah bungkusan kain dan beberapa perlengkapan.

Mereka nampak rapi, mengenakan batik dan celana bahan, berjalan pelan mendaki menuju suatu tempat

Berada paling depan, Pak Supri sang kepala desa, dan juga Ajeng putri semata wayangnya. Mereka nampak sedikit kelelahan setelah mendaki jalan sejauh puluhan kilometer.

Namun mereka semua terus berjalan, sebab ini adalah sebuah keharusan.

Rombongan itu tiba dan berhenti di sebuah pertigaan jalan. Semua yang berada di sana, berdiri mengitari sebuah tugu tua yang sekaligus menjadi penunjuk jalan.

Salah seorang sesepuh desa, duduk bersila di dekat tugu itu. Sementara Pak Supri dan Ajeng menata tampah, buah- buahan, dan juga beberapa piring bunga tabur.

Warga lainnya nampak bahu membahu memasang dan menutupi tugu itu dengan kain putih, lalu mengikatnya dengan sebuah kain batik. Beberapa lainnya menata bebatuan besar yang mereka ambil dari sekitar, dan menatanya membentuk sebuah patok di depan tugu

Sesepuh desa melipat lengannya, mengucap kan doa- doa dalam bahasa jawa. Sementara Pak Supri berjalan mendekati tugu yang kini telah berselimut kain putih.

"Bau darah di tempat ini sangat menyengat," gumam Pak Supri sambil mengernyit.

Ajeng berjalan mengitari tugu berkain putih itu sambil menaburkan bunga di sekelilingnya. Sebuah gerakan simbolik untuk mengurangi aroma darah dengan wangi bunga.

Lalu Pak Supri membuka gulungan batik yang ia bawa. Ia pun menarik keluar sebuah keris tua yang nampak usang- namun terawat dengan baik.

Keris yang menjadi penghubung dirinya dengan Mbah Raung.

Dengan penuh hati- hati, Pak Supri menancapkan keris itu ke dalam tanah di belakang tugu. Tersembunyi di balik kain penutup berwarna putih yang menjuntai.

"Keris itu akan menjadi kunci pintu antara dua dunia. Selama keris itu menancap ia akan menyegel tempat ini dan para penghuninya," Pak Supri memandangi wajah para warga di sekeliling. Ia menyentuh tugu berselubung kain, memejamkan matanya.

"Semoga tak ada kejadian seperti ini lagi."

"..."

"Mulai sekarang, kita lupakan tempat ini. Jangan ada seorang pun yang mengunjungi tugu dan patok ini-" Pak Supri memperingatkan semua yang ada di sana. "Kita akan biarkan jalur ini ditumbuhi tanaman dan rumput liar, semoga bisa tertutup tanpa jejak."

"Baik Pak," sahut para warga mengerti. Toh mereka pun juga tak ingin berada di sekitar tempat ini.

Ajeng yang berdiri diam, melirik ke satu arah tak jauh dari mereka.

Di mana terlihat seorang tua yang berdiri sedikit tersembunyi. Ia mengenakan semacam pakaian panglima keraton yang membuatnya terlihat begitu gagah. Ia menatap lekat ke arah para warga dari balik pohon besar.

Mbah Raung mengangguk ke arah Ajeng, meyakinkan gadis itu bahwa ia akan melaksanakan tugasnya sebagai penjaga wilayah Alas Medi.

Ajeng menarik nafas panjang.

Ia mennangkupkan kedua tangan di depan dahi, memejamkan matanya. Ia pun membuat sebuah doa kecil untuk seseorang.

"Semoga kamu baik- baik saja di sana, Mas Triyo."

----

Sambil merekam sendiri, ia berbicara kepada kamera untuk mendeskripsikan apa yang lihat langsung untuk video BTS nya.

Damia yang sedang berkumpul dengan yang lain sejenak mengamati bagaimana asyiknya Fadil dalam dunianya, berjongkok sambil merekam detail petilasan yang ada di hadapannya.

"Nih guys. Jadi begini suasana malam hari di petilasan Alas Medi. Gelap dan sepi," Fadil berjongkok, merekam bagian kaki- kaki tugu. Matanya terfokus pada layar kamera hand held nya. "Memang entah kenapa bikin agak ngeri sih."

Fadil memutari tugu itu sambil terus merejam, ketika tiba- tiba cahaya lampu kameranya menyorot sesuatu.

Ada sesuatu yang berkilau memantulkan cahaya kamera di balik kain penutup tugu petilasan.

Fadil mengulurkan tangannya, menyibak kain dan rerumputan di sekitar itu. Ia yakin ia melihat sesuatu.

Lalu Fadil pun menelan ludah.

Ia menemukan sebuah gagang keris tua yang menancap hampir seluruhnya ke dalam tanah. Namun bukan itu yang menarik perhatiannya.

Jantungnya berdegup kencang ketika melihat pantulan cahaya kuning cerah dari bilah keris itu. Matanya menyipit, mencoba memastikan. Lalu Fadil pun tersenyum lebar.

Ini emas.
Bilah keris ini terbuat dari emas.

Tangan Fadik terulur, gemetaran, dan perlahan menggenggam gagang keris itu.

Fadil ingin mengambilnya.

Namun ia sedikit ragu, karena bagaimanapun, ia berada di tempat yang katanya angker. Lagipula, seseorang menancapkan keris emas di sini, sudah pasti dengan tujuan tertentu kan?

"..."

"...ambiil..."

Entah dari mana, Fadil merasakan ada semacam dorongan dalam dirinya untuk mencabut keris itu.

Hey, Fadil hanya ingin mengambil gambar keris itu sebentar saja untuk konten videonya. Tidak lebih. Tentunya tak akan ada masalah jika ia segera mengembalikannya lagi kan?

Lalu dengan gerakan cepat, Fadil mencabutnya lepas.

Angin tiba- tiba saja mengembus dari sela- sela pepohonan. Meniup api unggun mereka hampir padam.

"Kok jadi dingin banget ya?" ucap Santi memeluk lengannya.

PETILASAN ALAS MEDI (COMPLETE)Where stories live. Discover now