30. Lereng Raung, 03.32

334 33 17
                                    

"Hampir subuh," Triyo melihat sekilas jam tangan sportnya. "Sebentar lagi seharusnya sudah terlihat."

Triyo dan Damia berjalan menyusuri hutan. Kabut yang sejak kemarin menggelayut, kini mulai terlihat menipis. Bahkan hampir menghilang.

"..." Damia berjalan diam, tak tahu mereka sedang berjalan ke mana. Tapi sepertinya laki- laki  bernama Triyo ini sangat yakin dengan arah jalan mereka.

Triyo berjalan di belakang Damia; sebuah perlakuan kecil yang entah kenapa membuat gadis itu merasa tenang

Triyo menyorotkan senternya sambil beberapa kali berhenti di dekat pohon berbatang besar. Ia mengitari pohon itu, sambil tangannya menyentuh kulit batangnya. Sambil kemudian ia berjalan kembali ke satu arah.

"Kamu lihatin apa?" Damia sedikit penasaran dengan apa yang dilakukan Triyo.

"Lumut. Di tempat seperti ini, lumut biasanya tumbuh di sisi Barat pohon. Memang kurang akurat, tapi lebih baik daripada tak ada. Kita tak punya penunjuk arah lain di malam pekat seperti ini," ujar Triyo sambil menunjuk langit yang tak terlihat bintang sama sekali.

"Memang kita mau ke mana?" Damia kembali bertanya.

"Ke Timur," Triyo kembali menyororkan senternya, menuntun Damia ke satu arah. "Kata si Mbah itu kita harus jalan ke Timur, melalui hutan ini."

Damia kembali menatap Triyo bingung. "Si Mbah? Siapa?"

"..." Triyo melirik Damia, tersenyum. "Panjang ceritanya. Kita lanjut saja."

"Bukannya kamu bilang kita akan cari teman- temanku? Emangnya kita akan menemukan mereka di Timur?" Damia kembali bertanya.

Triyo berjalan sambil mengamati sekeliling. "Di sini, kita nggak akan pernah bisa menduga kita berjalan ke mana. Hutan ini aneh. Tidak bisa di nalar secara fisik. Tapi dengan berjalan ke Timur, mungkin saja nanti kita akan menemukan teman- temanmu."

".." Damia mengangguk, membenarkan ucapan Triyo dalam hati. Hutan bernama Alas Medi ini memang tak bisa di duga.

Keduanya melanjutkan perjalanan menuju Timur, sambil sesekali berbincang ringan.

Beberapa lama mereka berjalan, semuanya nampak baik- baik saja. Damia memang sangat lelah, namun ia bersyukur bahwa tak ada sesuatu apapun yang terjadi.

Dan ia juga bersyukur karena ada manusia lain yang bersamanya di hutan ini.

Triyo dan Damia berhenti di beberapa titik, mengamati keadaan dan melihat lumut sebagai panduan jalan mereka.

-BRUG.

"..." Damia terkesiap. Sesaat tadi ia mendengar sesuatu yang lain- seperti benda berat yang jatuh di serasah dedaunan lantai hutan.

Triyo sigap mematikan lampu senter di tangannya. Ia segera mendekati Damia dan menggandeng tangannya, sambil matanya awas mengamati sekitar.

"Kamu dengar juga?" bisik Damia.

"Ya," Triyo mengangguk singkat. Perlahan ia menuntun Damia untuk merapat ke pepohonan, mencoba menyembunyikan diri.

-BRUG.

Suara itu lagi. Kali ini semakin jelas. Seperti ada yang tengah mendekat ke arah mereka.

"...miaa.." sebuah suara parau memanggil.

Damia menggenggam tangan Triyo erat. Itu suara Zilmi. Triyo benar, dengan berjalan ke Timur- ternyata ia bisa bertemu dengan teman- temannya.

"Itu suara Zilmi. Itu temanku!" Damia tersenyum lebar. Ia merasa sedikit bersemangat karena setelah semua ini, ia akan bisa bertemu dengan salah seorang tim Malam Jumat nya.

"..." Triyo tak menjawab.

Ia masih mengamati keadaan di sekeliling penuh waspada. Berada di Alas Medi selama ini membuatnya belajar untuk tak mudah mempercayai panca indera fisik begitu saja.

"...miaa.." Zilmi kembali memanggil. "..tolong."

Damia yang mendengar permintaan tolong Zilmi, sontak hendak berlari menuju sumber suara. Namun Triyo menahannya.

Damia menoleh ke arah Triyo, sedikit marah. "Kamu ngapain? Itu temanku! Dia minta tolong!!"

Triyo menatap wajah Damia, membaca mimik wajahnya. Gadis ini terlihat begitu cemas dengan keadaan teman- temannya. Ia tahu benar bahwa gadis ini tak bisa di cegah.

"Baiklah," Triyo melepas genggaman tangannya. "Kita jalan pelan- pelan."

"Zilmi!" Damia berteriak sedikit keras. "Kamu di mana?"

"...di sini.."

Damia berjalan cepat menuju sumber suara. Sementara Triyo mengikuti di belakang, menerangi jalan di depan Damia. Ia tetap waspada menjaga gadis itu.

"..miaa.." Zilmi kembali memanggil. "..tolong.."

"Di sana," Triyo menggerakkan senternya ke satu arah.

Damia yang tak ingin membuang waktu, segera bergegas menuju arah tersebut. Ia dan Triyo keluar dari hutan, dan tiba di sebuah area di mana pepohonannya tak terlalu rapat.

Namun tak ada apapun.

"ZILMI?" Damia menoleh ke sekeliling. "Zilmi! Kamu di mana sih?"

"..di sini.."

-BRUG.

Suara benda berat itu kembali terdengar dari belakang. Triyo dan Damia sontak menoleh ke arah sumber suara. Dan keduanya mematung di tempat.

Berdiri di belakang mereka adalah Zilmi.

Dalam kondisi seluruh tubuhnya terlilit kain putih kotor yang berlumuran darah. Kain itu melilit tubuh Zilmi begitu erat, sehingga dengan sekali lihat saja dapat dipastikan bahwa tubuh dan tulang- tulang nya hancur seperti di remas kuat. Mata, hidung dan mulutnya pun mengalirkan darah.

Sosok Zilmi terlihat seperti pocong.

"..miaa, tolong.." Zilmi melompat mendekati Damia.

-BRUG.

"AAAAAAAHHH!!" Damia terpekik histeris melihat kondisi teman se-tim nya yang seperti itu.

Triyo yang sudah menduga hal semacam ini sedari tadi, segera menguasai diri. Ia meraih tangan Damia, lalu menariknya menjauh.

"AYO!!"

PETILASAN ALAS MEDI (COMPLETE)Where stories live. Discover now