25. Lereng Raung, 01.32

243 32 0
                                    

"Ayo!!" seu Zilmi yang berlari di belakang, sambil terus menyorotkan senternya.

"..." Santi tak menjawab. Raut wajahnya menunjukkan panik, takut dan emosi yang bercampur aduk.

Kedua orang itu berlari sambil berpegangan pada apapun yang bisa mereka raih, melompati batu dan berusaha sebisa mungkin agar tak terpeleset di kontur lereng yang miring.

Zilmi kembali menoleh ke belakang untuk melihat sosok- sosok yang mengejar mereka. Namun setelah beberapa kali melihat, ia tak menemukan apapun. Hanya ada gelap dan lebatnya kanopi hutan.

"Bentar, Santi!" Zilmi meraih lengan baju Santi, menahannya untuk berhenti. "Bentar, bentar. Kayaknya mereka udah gak ngejar lagi."

Santi melambatkan larinya lalu berhenti. Ia menyandarkan badan pada batang pohon besar, sambil berusaha bicara di antara nafas yang terengah- engah. "Yakin- kamu Zil?"

Zilmi menyorotkan senter nya ke sekeliling. "Iya. Udah gak ada lagi."

"..." Santi melorot dan terduduk penuh kelegaan. Ia mengusap wajahnya yang penuh buliran keringat besar. Ia sangat membutuhkan jeda untuk beristirahat. "Itu- itu tadi mahluk apaan Zil?"

Zilmi hanya menggeleng, sebab ia juga sama tak tahunya dengan Santi. "Tapi tadi kamu lihat itu kan? Apakah itu-"

Santi mengacungkan jarinya, gestur untuk Zilmi agar ia tak meneruskan kalimat. "Jangan bikin aku inget lagi sama itu. Bikin aku-"

"..."

"-HOEEEEK!!!" Santi kembali memuntahkan isi perutnya. Apa yang ia lihat tadi benar- benar mengerikan dan menjijikkan. Nalarnya tak mampu memproses kejadian itu.

Zilmi mendekat dan memijit pundak Santi lembut. Ia membiarkan Santi untuk mengambil nafas, mengontrol dirinya.

Ini semua sudah sangat keterlaluan. Mereka harus segera keluar dari sini dan meminta pertolongan.

"Kamu kuat jalan?" tanya Zilmi lirih. "Kita harus cari jalan ke desa, kita harus cari bantuan warga."

Santi tak menjawab. Kaki dan tubuhnya gemetaran karena syok. Matanya basah dan ia mulai menangis. "Nggak mau lagi.. Ayo nggak mau lagi di sini."

Zilmi merendahkan badannya. "Iya, makanya kita jalan yuk. Kita turun ke desa. Kita cari bantuan buat Irwan sama Damia."

Beberapa lamanya Zilmi mencoba menenangkan Santi. Namun ia tetap mengedar pandangannya ke sekitar, terus berjaga- jaga dengan situasi.

Lalu perlahan Santi berdiri. Ia mengusap air matanya sambil menarik nafas panjang. Ia menepis- nepis kotoran dedaunan dari celananya. "Kamu jalan duluan."

"Oke," Zilmi mengangguk. Lalu ia bergerak terlebih dahulu, melanjutkan perjalanan mereka menembus hutan. Tujuannya hanya satu: keluar dari hutan dan menemukan jalur pendakian.

-SREEK.

Suara serasah dedaunan dan ranting kering terdengar setiap kali mereka melangkah. Beberapa kali Zilmi harus menyibak dedaunan rendah yang rimbun menghalangi pandangan.

Hawa dinginnya lereng kini mulai terasa, karena mereka tak berlari lagi.

Entah berapa lama mereka berjalan- yang pasti kini sorot nyala senter di tangan Zilmi mulai meredup. Namun sedari tadi hanya ada batang besar pepohonan, semak dedaunan dan kegelapan.

Zilmi sendiri tak tahu ia berjalan ke mana, atau bahwa ia berada di mana. Ia hanya berjalan mengikuti ke mana langkah membawa.

Keduanya masih saja berjalan dalam diam. Tak ada pembicaraan, tak ada ucapan. Hanya terfokus pada jalan di depan.

"..."

Kini Zilmi menyerah. Sudah fix; bahwa kini mereka tersesat. Ia menuntun Santi berjalan berjam- jam hanya untuk membawanya berputar- putar dalam hutan.

"Santi, sori ya. Kayaknya kali ini kita-" Zilmi berbalik dan tak meneruskan kalimatnya.

Sebab yang berada di belakangnya, adalah sosok perempuan yang wajahnya tertutup rambut panjang, dengan gaun putih kotor dan kusam. Ia hanya berdiri diam, menundukkan kepala.

"Hihihihihi.." sosok itu terkekeh lirih.

"JANCUK!!"

PETILASAN ALAS MEDI (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang