BONUS D. Selamanya

363 44 13
                                    

Petilasan, 04.33

Damia berjalan tertatih di bantu beberapa warga yang menuntunnya menyusuri jalur pendakian. Pak Supri memimpin mereka berjalan sambil mulutnya bergerak membaca doa- doa di sepanjang jalur kembali menuju Curahwangi.

Ajeng dan Triyo berjalan agak berjarak dari rombongan warga desa, dengan Mbah Raung berada di paling belakang mengawasi mereka semua.

"Fuuuuhh.." Triyo mengembus sebatang rokok Surya penuh nikmat. Pak Supri memberikan Triyo sekotak rokok saat mereka bertemu tadi.

Setelah semua apa yang ia alami- rasanya sulit dipercaya bisa bertemu kembali dengan manusia.
Terlebih bisa membakar batangan tembakau seperti ini.

"Gimana kabarmu Mas?" Ajeng mencoba mengajak Triyo bicara.

"Ah, jangan panggil aku Mas," Triyo tersenyum. "Kamu lebih tua dariku sekarang."

"Bagaimana kamu bisa bertahan selama ini di sana?"

"Aku sendiri nggak paham. Setahuku, aku baru menghabiskan tiga malam di sana," Triyo kembali mengisap rokoknya dalam. "Dan tiba- tiba saja, aku terlempar ke sepuluh tahun kemudian?"

"Mungkin karena beda dimensi kita dan di sana," Ajeng melipat lengan, merasai hembusan angin pagi yang dingin. "Ada semacam distorsi waktu saat kamu keluar ke dunia ini. Bagimu di sana baru tiga malam, sementara di luar sini sudah berjalan sepuluh tahun."

"..." Triyo tak menjawab. Ada sesuatu yang ia pikirkan sembari ia berjalan.

Lalu mereka melintas di satu titik jalur, di mana dari sini mereka bisa melihat dengan jelas hamparan kota Kalibaru di bawah sana.

Triyo berhenti berjalan, berdiri menatap lampu- lampu kota yang masih menyala saat fajar menyingsing seperti ini. Langit yang mulai berwarna biru keunguan- dan horizon luas yang terasa membebaskan.

Aneh sekali rasanya bagi Triyo setelah selama ini berada di alam lain, sekarang melihat lampu dan peradaban.

Dengan kenyataan bahwa kini ia berada di dunia manusia.

Ajeng yang menyadari Triyo berhenti, segera berbalik. Membiarkan rombongan warga, Damia dan Pak Supri berjalan lebih dahulu.

Mbah Raung juga berhenti berjalan beberapa meter di belakang mereka, sambil menyulut rokok klobot kegemarannya.

"Indah ya?" Ajeng mendekat dan berdiri di sebelah Triyo.

"Iya," balas Triyo singkat.

Ajeng memandangi wajah Triyo yang menatap ke kejauhan. Ia tersenyum penuh dengan rasa bahagia karena bisa betemu kembali dengan seseorang setelah sekian lama. Sosok yang sepuluh tahun lalu pernah berjuang di antara hidup dan mati bersamanya.

Tak ada yang berubah dari Triyo. Baju yang ia kenakan, kondisi fisik dan semuanya seolah ia masih berada di malam itu.

"Tapi aku senang kamu selamat," Ajeng ikut memandangi hamparan lampu yang Triyo lihat. "Aku masih sering mimpi buruk tentang malam itu. Terutama tentang Mbak Putri."

"..." Triyo terdiam lama setelah mendengar nama itu disebut. Membiarkan asap putih membumbung dari mulutnya.

"-dan juga kamu," tambah Ajeng.

Beberapa menit lamanya dua manusia yang berasal dari waktu berbeda itu berdiri diam, berdampingan. Angin mengembus membawa segarnya hawa subuh yang menyelimuti.

"Mbak Ajeng," ujar Mbah Raung. Rupanya para warga dan sesepuh desa sudah begitu jauh di depan. Mereka sudah hampir tak terlihat di ujung sana. "Kamu harus menyusul mereka."

Ajeng mengangguk ramah pada Mbah Raung.

"Ayo Mas," Ajeng beranjak dari tempatnya, mengajak Triyo pergi. Namun lelaki itu masih tetap bergeming di tempat. "Mas Triyo?

"Ke mana?" tanya Triyo lirih.

"Kok ke mana? Kita pulang lah?" Ajeng mengernyit heran. "Badanmu penuh luka begitu. Aku akan merawatmu begitu sampai di desa."

"Pulang?"

"..."

"Ini memang dunia manusia," Triyo melempar puntung rokoknya ke tanah, dan menginjaknya mati. "Tapi ini bukan masaku. Aku berasal dari sepuluh tahun lalu."

Ajeng mulai merasakan gelagat tak enak dari kalimat Triyo. "Maksudmu?'

"Kalau pun aku ikut kamu ke desa, semua yang ada di sini pasti sudah banyak yang berubah. Bahkan kamu pun-" Triyo menatap Ajeng yang kini sudah terlihat sangat dewasa.

Bahwa Ajeng yang dulu terlihat seperti gadis rumahan  manja, kini telah menjadi seorang anggota medis resmi. Ajeng yang nampak jauh lebih cantik dengan kerudungnya.

"Aku seperti merasa tak mengenalimu."

"Tapi-" Ajeng memegang tangan Triyo. "-aku tetap saja sama seperti Ajeng yang dulu Mas. Aku nggak berubah."

"..."

Langit di timur mulai terang. Cercah cahaya matahari membias, menyinari sekitar mereka. Dari sela sela dedaunan hutan.

Dan menyinari Triyo.

Lebih tepatnya- bersinar menembus tubuhnya. Triyo mematung mengamati tangannya sendiri yang seperti memudar.

Ajeng menoleh ke arah Mbah Raung yang berdiri beberapa jarak dari mereka. Raut wajahnya nampak cemas dan kebingungan.

"Mbah? Ini Mas Triyo kenapa?"

"..."

"Dulu ia tidak keluar dari hutan saat ayam berkokok," Mbah Raung mengisap rokok klobotnya tenang, seolah sudah tahu apa yang akan terjadi. "Dia terjebak di dunia kami selamanya."

Ajeng kembali menoleh ke arah Triyo, kali ini dengan mata membasah.

Masa harus begini?

Padahal Mas Triyo baru saja bisa keluar dari dunia itu. Padahal baru saja sebentar Ajeng bisa berbincang dengannya.

"Mas Triyo," Ajeng memegangi lengan kaos Triyo. "Kamu nggak akan kembali ke sana kan?"

Triyo tersenyum. "Sebenarnya aku nggak ingin. Tapi kenyataannya aku nggak bisa keluar."

Ajeng melirik ke arah matahari yang semakin naik. Sinarnya yang semakin terang membuat sosok Triyo semakin memudar.

Ajeng menggigit bibirnya penuh putus asa. Betapa sekarang ia ingin menahan matahari agar tak bergerak semakin tinggi. Namun tentu saja kan, itu mustahil?

"Nggak adil," lirih Ajeng dengan suara bergetar. Buliran air meleleh di sudut matanya.

Triyo mengamati kotak rokok Surya pemberian Pak Supri di tangannya yang juga ikut memudar. Tunggu, jika benda dari masa sekarang juga ikut memudar bersamanya, apakah mungkin-

Triyo menunduk, mencopot kalung dog-tag TNI nya. Ia meraih tangan Ajeng dan meletakkan kalung itu di dalam genggaman tangannya

Dan ternyata benar. Kalung itu berhenti memudar saat berada di tangan Ajeng.

"Terima kasih kamu sudah inget aku selama ini," Triyo tersenyum memandang wajah Ajeng. "Gitu aja aku sudah seneng kok."

Mbah Raung berjalan mendekati Triyo. Sosoknya juga ikut memudar bersama dengan naiknya matahari.

"Mbak Ajeng jangan khawatir. Aku akan menjaganya di sana," Mbah Raung menepuk bahu Triyo, meyakinkan Ajeng bahwa Triyo akan baik- baik saja bersamanya.

Triyo mengangguk kepada Mbah Raung. Walaupun ia dan Mbah Raung merupakan dua mahluk yang berbeda, setidaknya ada satu sosok yang ia kenal nanti di sana.

Ajeng terisak dengan air mata meleleh tak terbendung. Matahari yang sudah naik sepenuhnya, menyorotkan cahaya yang hangat di wajah Ajeng. Membuat paras cantik itu terlihat cerah walau berurai tangis.

"Ternyata kamu memang belum berubah, masih cengeng kayak dulu-" Triyo tertawa sambil mengangkat tangannya, mengusap pipi Ajeng yang basah. "Senyum dong."

Ajeng menarik nafas dalam, berusah tersenyum dalam perasaan kalutnya.

"Nah, kan gitu cantik," ujar Triyo sebelum akhirnya sosok nya benar- benar menghilang tak berbekas.

Meninggalkan Ajeng sendirian di tengah jalur pendakian. Dengan sebuah kalung stainless yang menggantung di tangan.

PETILASAN ALAS MEDI (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang