26. Lereng Raung; 01.42

243 32 9
                                    

"Jancuk! Jancuk!"

Zilmi mengumpat sambil terus berlari menerobos belukar dan pepohonan lebat. Sorot senternya bergoyang- goyang tak stabil, akibat gerakannya berlari.

Tak sedikitpun ia menoleh ke belakang. Namun Zilmi tahu bahwa sosok bergaun putih itu mengejarnya. Ia bisa mendengar kemeresak dedaunan, dan suara tawa cekikikan yang terdengar begitu dekat.

"Hihihihi."

"Jancuk!!" Zilmi melompati batang pohon miring, dan mendarat di tanah dengan suara berdebam. Ransel carrier yang ia bawa sangat membebaninya berlari. Dengan cepat Zilmi melepas buckle dan melempar ransle yang ia kenakan. Kemudian ia kembali mendorong dirinya untuk berlari sebisanya.

Namun tiba- tiba saja ia teringat sesuatu.

Santi!

Di mana Santi? Bukannya sedari tadi Santi ikut berjalan di belakangnya? Atau...

Atau memang yang bersamanya sedari tadi adalah mahluk itu?

Lalu di mana Santi yang sebenarnya?

Sial! Zilmi tak bisa berpikir sambil berlari seperti ini. Yang penting ia harus lepas dari kejaran mahluk sialan ini. Ia bisa mencari Santi nanti.

Goresan dahan dan ranting tak Zilmi rasakan. Ia hanya fokus pada satu hal.

Sekilas saja Zilmi menoleh ke belakang, mendapati kelebatan gaun putih di atas sana- melayang di antara kanopi pepohonan.

"Hihihihi.."

"Anjiiiing.." Zilmi menggertakkan giginya. Ia terus saja berlari, melewati kontur lereng yang menurun.

Jujur saja setelah berjalan berjam- jam, dan kini harus berlari sekuat tenaga seperti ini, membuat Zilmi benar- benar sangat kelelahan.

Ia mulai merasakan nyeri di paha dan ulu hati nya. Dadanya pun terasa terbakar, dengan detak jantung yang terus berdegup kencang. Namun Zilmi terus memaksakan diri untuk berlari.

-SRAKK!!!

Zilmi melompat keluar dari hutan. Kini ia berada di sebuah jalan setapak yang nampaknya ia sangat kenal.

Ya, Zilmi sangat ingat dengan jalur ini. Ini adalah jalur yang dua hari lalu mereka lewati untuk mencari petilasan itu.

Ia sudah sangat dekat dengan Curahwangi.

Zilmi kembali menyorotkan senternya ke sekeliling dengan cepat. Namun hanya dedaunan lebat dan pepohonan yang nampak.

Tak ada mahluk itu.

"..." Zilmi berdiri sambil terengah. Ia masih waspada dengan sekitarnya, namun ia bisa sedikit rileks sekarang.

Zilmi menyandarkan punggung pada pohon di dekatnya, mengatur nafas. Semilir angin dan hawa lereng sangat membantunya untuk mendinginkan tubuh.

Apakah sebaiknya ia mencari Santi, atau turun terlebih dahulu ke Curahwangi untuk meminta bantuan warga?

Zilmi pun beranjak pergi. Ia melangkahkan kakinya yang kelelahan, menuruni jalur setapak itu. Lebih baik ia meneruskan perjalanan ke Curahwangi- sebab desa itu sudah sangat dekat.

Ia tak tahu posisi Santi ada di mana, dan area hutan ini terlalu luas untuk ia jelajahi seorang diri- terlebih untuk mencari seseorang dalam kegelapan malam.

Sebuah senyuman tipis tergambar di wajah Zilmi, mengetahui bahea sebentar lagi ia bisa keluar dari tempat sialan ini.

Sambil berjalan perlahan, ia mulai menenangkan diri.

Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Baru saja ia berjalan beberapa puluh meter, sorot senternya menangkap sesuatu tak jauh di depan sana.

Di atas pohon. Di sebuah dahan besar yang menaungi jalur pendakian.

Sosok bergaun putih itu duduk di atas sana, memainkan rambut sambil menggoyang- goyangkan kakinya. Ia memiringkan kepala, menatap ke arah Zilmi.

"Anjing!" umpat Zilmi lirih.

Lalu mahluk itu pun melayang turun dari pohon, dan berdiri tepat di depan Zilmi. Seolah hendak menghalanginya menuju desa Curahwangi.

Baru saja Zilmi merasa tenang, baru saja ia merasa punya sedikit harapan. Dan kini mahluk itu merusak semuanya.

Zilmi sudah terlalu dekat dengan Curahwangi untuk dirinya berlari balik menuju hutan.

Lebih baik ia maju- persetan dengan apa yang akan terjadi.

"Kamu pikir aku akan lari lagi?" Zilmi menarik nafas panjang. Ia benar- benar muak sekarang. Tangannya terkepal dan ia menatap nyalang. "Nggak. Cukup sudah!"

Mahluk itu hanya berdiri diam, menyeringai.

"AAAARGH!!" Zilmi pun berlari maju dan menerjang sosok bergaun putih itu.

-BRUUK!

Keduanya terjatuh ke tanah, dengan Zilmi berada di atas. Zilmi mendudukkan dirinya, menatap wajah mahluk itu. Dan mahluk itu menatap dirinya balik.

Zilmi merinding. Namun Zilmi sudah terlalu gelap mata, rasa amarahnya sudah mengalahkan rasa takutnya. Ia sudah capek berlari.

Tanpa membuang waktu, Zilmi pun meninju wajah mahluk bergaun putih itu.

-BUK!!

Namun mahluk itu seolah tak merasakan apapun. Ia kembali memiringkan kepala, mendelik kepadanya. Ia justru tertawa cekikikan seolah mengejek Zilmi. "Hihihihi.."

"SIALAN!!" Zilmi menoleh ke sekitar, dan meraih sebuah batu berukuran besar dengan kedua tangan. Ia pun mengangkatnya tinggi di udara. "MAKAN NIH!!"

"ZILMI!!"

-PRAAAAKK!!!

Zilmi menghantam kepala mahluk itu kuat- kuat. Lalu kembali mengangkat batu besar itu dengan emosi yang masih berkecamuk. Ia kembali menghantamkan batu itu lagi.

"ZIL-"

-PRAAAAAKK!!!

Dan lagi. Dan lagi.

Dan lagi.

Beberapa saat kemudian, hanya tinggal Zilmi yang terdengah, terduduk di atas sosok mahluk itu. Zilmi melempar batu besar itu di sebelahnya lalu mengusap wajahnya yang penuh cipratan darah.

Zilmi menyeringai menatap sosok mahluk berambut panjang dan berjaket itu-

Tunggu? Jaket?

Zilmi mendengus dan mengusap wajahnya kembali. Dan seketika itu ia membeku di tempat.

Ia mendapati Santi terbaring tak bergerak di bawahnya dengan wajah remuk tak berbentuk. Darah pekat menggenang di sekitar kepalanya. Kepalanya pecah dengan gumpalan putih otak yang berceceran keluar. Mulut Santi menganga dengan gigi dan rahang patah. Satu bola matanya terlepas dari rongga, menggelinding keluar- tertahan oleh satu urat tipis yang hampir putus.

"..."

Zilmi gemetaran menatap kedua tangan, dan seluruh tubuhnya yang berlumuran darah pacarnya sendiri.

"Santi?" Zilmi mengguncang bahu Santi. "Santi bangun, San!"

Namun tentu saja Santi tak merespon. Sebab Santi kini telah tewas mengenaskan, oleh tangan Zilmi.

Dan dini hari itu, sebuah teriakan memilukan terdengar menggema di lereng Raung yang tenang.

PETILASAN ALAS MEDI (COMPLETE)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora