19. Lereng Raung, 18.01

254 41 8
                                    

"Sekarang kamu mau kita jalan," sungut Damia sambil tertatih. Ia berpegangan pada batang pohon rebah, lalu duduk di atasnya. "Gara- gara teriakan mu tadi aku refleks lari ke sini. Sekarang kakiku tambah sakit."

"Kamu refleks lari gara- gara aku teriak?" Irwan tertawa sambil berjalan mendekat. "Emang kamu segitu kuatir nya ya sama aku?"

"..." Damia melirik sinis ke arah Irwan. Dia enggak tahu gimana khawatirnya Damia tadi padanya. Dasar cowok.

Irwan diam sejenak, lalu duduk berlutut di hadapan Damia.

"Sori ya," ujar Irwan sambil meraih satu kaki Damia yang nyeri, lalu meletakkan di lututnya. Irwan menggulung satu celana Damia. "Gara- gara aku, ini jadi tambah sakit kan?"

LOH? LOH??

"Eh? I- iya," jawab Damia gugup.

Bagaimana Damia tidak gugup? Irwan berlutut di tanah sementara ia duduk di atas batang pohon, sehingga posisinya jadi lebih tinggi daripada Irwan. Terlebih saat ini Irwan sedang memegangi kakinya yang penuh bilur aneh itu.

Seperti tuan putri enggak sih?

"Diem bentar," Irwan memegangi betis Damia, lalu menekannya perlahan.

"ADUH- WAN!" Damia meringis memukul- mukul pundak Irwan. Bekas bilur di kakinya terasa begitu sakit sampai- sampai Damia meneteskan air mata.

"Tahan dikit," Irwan seolah tak peduli dengan yang dirasakan Damia. "Ini biasanya kalau lagi kram sepak bola aku juga urut begini."

Damia menghembus nafas sambil jemarinya mencengkeram bahu Irwan. Ia memperhatikan bagaimana jemari Irwan bergerak lembut mengurut betisnya, dan memang perlahan- lahan rasa nyeri itu berkurang.

Pijatan lembut Irwan terasa sangat nyaman, membuat nya merasa berdebar. Ia merasakan hangat yang seolah menjalar ke seluruh tubuhnya.

"Gimana?" tanya Irwan tanpa mengalihkan perhatian. Ia terus saja menggerakkan tangannya untuk mengurut betis Damia. "Mendingan?"

"He- em," Damia mengangguk pelan. Nyeri di betis yang menyiksanya sejak kemarin berangsur- angsur menghilang.

Namun kini entah kenapa ia merasa wajahnya panas. Aduh, apakah wajahnya memerah? Untung saja matahari sudah terbenam.

Damia merasakan seolah darahnya berdesir tak karuan. Kadang- kadang Irwan memang memperlakukannya seperti ini- di luar dugaan.

Damia memperhatikan wajah Irwan yang tengah fokus membuatnya nyaman. Wajah yang kadang membuatnya sebal, namun juga kadang membuatnya berdebar seperti ini.

Damia menggigit bibirnya ragu, lalu ia menggerakkan tangannya dari bahu Irwan. Menyentuh pipi cowok itu dengan kedua tangan.

"Mia?" Irwan mengernyit.

Lalu Damia mendekatkan wajahnya. Dan mencium bibir Irwan.

Di bawah temaram langit, diselimuti kabut yang dingin menggelayut. Damia seolah melepas sekat yang selama ini menahannya. Betapa ia ingin Irwan tahu bahwa inilah perasaannya.

Dan mungkin Irwan pun merasakan apa yang Damia rasa. Ia menyambut balik yang gadis itu lakukan.

Ada perasaan nyaman, berdebar, dan bergejolak di antara mereka. Lalu perlahan tangan Irwan bergeser dari betis Damia.

Tangan Irwan bergerak perlahan dan lembut, naik ke lutut, dan semakin naik lagi.

"HMF!" Damia terpekik kecil dan dengan cepat menahannya.

Keduanya bertatapan beberapa lama dengan nafas yang masih terengah. Jarak wajah mereka begitu dekat, sehingga Damia bisa merasakan embusan nafas Irwan di pipinya.

"..."

"Kenapa?"

"Aku-" jawab Damia menunduk salah tingkah, bingung mencari alasan. "-aku mau buang air kecil juga."

Irwan tersenyum tipis, dan beranjak berdiri. Mempersilakan Damia untuk meninggalkan tempat itu.

Damia segera meraih senter dari tas-nya, lalu berjalan cepat menjauh dari Irwan menuju semak- semak di dalam hutan, di balik pepohonan.

Entah kenapa tiba- tiba saja kakinya terasa sabgat jauh lebih baikm Kini ia bisa berjalan hampir normal seperti biasanya.

Damia berjalan sampai Irwan menghilang dari pandangannya.

"Duh, goblok.." Damia memejamkan matanya dan merutuki diri.

Apa- apaan itu tadi? Apa yang baru saja ia lakukan? Di saat seperti ini? Di tempat ini?

Dan justru Damia lah yang memulai?

Damia berjalan lebih dalam ke arah hutan dengan pikiran yang berkecamuk. Betapa ia ingin menghilang saja dari hadapan Irwan saking malunya. Damia benar- benar tidak fokus, dan terus saja melangkah tanpa menyadari keadaan di sekitar.

Sampai- sampai kakinya membentur sesuatu.

-dug.

"Hm?" Damia refleks menyorotkan senternya ke bawah.

Lalu jantungnya seolah berhenti seketika saat melihat apa yang membuatnya terantuk.

Sebab senternya tengah menyorot Irwan yang tengah terbaring di antara semak- semak, di sebelah kakinya.

Lebih tepatnya, senter yang ia pegang tengah menyorot mayat Irwan.

Mayat Irwan yang terbaring dengan kepala terpelintir putus dari badannya.

PETILASAN ALAS MEDI (COMPLETE)Where stories live. Discover now