24. Lawang Krajan. 24:03

271 31 1
                                    

Bulan bersinar pucat, menyinari rumah- rumah kayu kecil yang berada di antara rimbunnya hutan. Suasana malam itu terasa begitu tenang, dengan kabut tipis menggelayut.

Di dalam salah satu rumah, terlihat Damia tengah terlelap- bergelung dalam selimut tebal yang terasa nyaman di tengah dinginnya hawa lereng.

-SREEK. SREEEK.

Terdengar suara nyaring benda yang bergesekan.

Damia membuka mata. Beberapa lama ia berbaring diam di atas tikar, mengumpulkan semua kesadarannya. Suara itu terus saja terdengar di antara sunyi malam.

Damia meraih senter di sebelah, dan segera menyalakannya. Ia menyorotkan senter ke penjuru ruangan rumah kayu itu. Namun kosong, tak ada apapun yang ia temukan.

-SREEEK. SREEEK.

Ah, rupanya suara itu berasal dari luar.

Damia mengernyitkan wajah, berusaha berpikir. Suara ini entah kenapa terdengar sangat familiar baginya. Namun suara apa itu?

-SREEEK. SREEEK.

Sapu. Itu suara orang yang sedang menyapu.

Ya. Itu suara seperti yang biasa ia dengar saat orang- orang menyapu jalanan dengan sapu lidi.
Tapi, memangnya siapa orang yang menyapu jalan di tengah malam begini?

Damia bangkit dari tidurnya dan berjalan menuju pintu. Lalu ia berjongkok di satu sisi, dan mengintip dari celah kayu.

Untuk beberapa saat pertama, Damia tak bisa melihat apapun. Dan perlahan, ia membiasakan diri dengan kegelapan di luar.

Lalu ia melihatnya.

Tak jauh dari rumah tempat ia berada, ia melihat sesosok nenek yang berdiri di tengah jalan desa. Nenek berambut putih panjang yang menutupi wajah, mengenakan kebaya dan jarik coklat. Ia berdiri membungkuk sambil menggerakkan sapunya.

-SREEK. SREEK.

"Astaga!"

Damia menarik nafas tertahan.

Tanpa menunggu, ia mengulurkan tangan dan meraih sebuah balok kayu kecil di dekatnya. Lalu memasang balok itu pada pegangan kayu sebagai palang. Mengunci pintu agar tak bisa dibuka dari luar.

Sedikit tergesa ia menuju ke tengah ruangan, dan segera berbaring kembali di lantai. Damia menarik selimut tebal itu lalu bergelung di dalamnya, menutupi seluruh tubuh dari ujung kaki sampai kepala.

"Ya ampuuun," batin Damia. "Apa itu tadi?"

-SREEEK. SREEEK.

Suara nenek menyapu itu masih saja terdengar. Pelan, teratur. Namun membuat Damia merinding di sekujur tubuhnya. Damia memejamkan mata sambil berdoa dalam hati agar mahluk apapun itu, segera pergi.

-SREEEK. SREEEK.

Damia menutupi telinganya dengan kedua tangan. Suara sapu itu benar- benar membuatnya merasa tak nyaman. Seolah mahluk itu ingin menunjukkan bahwa ia masih berada di luar sana.

Damia merasa sangat ketakutan, dengan kenyataan bahwa ia berada di sini sendirian. Ia ingin menangis. Ia ingin berteriak minta tolong. Tapi tak bisa.

Ia tak bisa berbuat apa- apa.

"..."

Damia terdiam beberapa lama. Ia membuka matanya, masih bergelung di dalam selimut. Namun ia tak mendengar suara apapun. Hanya keheningan malam yang menyambutnya.

Suara gesekan sapu itu telah hilang.

Satu menit. Dua menit.

Damia mencoba mempertajam pendengarannya, dan ya, memang tak ada suara apapun. Apakah sosok nenek itu telah pergi?

Damia menggerakkan tangannya gemetaran, dengan satu jarinya ia mengangkat sedikit selimut yang menutupi. Membuat segaris celah agar ia bisa melihat keadaan sekitarnya.

Damia menyorotkan senternya lagi, perlahan, menyapu sekeliling.

Dan seketika itu jantungnya hampir copot.

Dari celah selimut, senternya menyorot sepasang kaki pucat keriput berada di ujung ruangan. Kaki yang basah membusuk, dengan kuku kehitaman. Ia melihat bagian bawah jarik berwarna cokelat. Ia juga melihat sapu lidi di sebelah kaki itu.

Sosok nenek itu ada di sini, di dalam rumah kayu. Bersamanya.

-SREEEK. SREEEK.

Nenek itu menggerakkan sapunya, menyapu lantai tanah rumah itu. Damia bisa melihat kaki nenek itu berjalan mendekat ke arahnya.

Lalu berhenti tepat di depan mata Damia.

Damia menutupi mulutnya, menahan tangis sambil terbelalak melihat kaki itu dari celah selimut.

"..."

"Kowe nyapo kok geletakan ndek kene, Nduk?" ujar nenek itu dengan suara parau. (Kamu ngapain kok rebahan di sini, Neng?)

"AAAAAAAHHHH!!!" Damia seketika menghambur dari dalam selimut menuju pintu. Saking paniknya ia berlari, ia tak bisa menguasai diri dan terguling ke arah dinding kayu tepat di sebelah pintu.

-BRUUUK!!!

Damia terduduk di lantai tanah sambil menahan nyeri. Lalu tanpa sengaja ia menoleh ke arah sosok nenek yang berdiri di dekat tikar.

Nenek berambut putih panjang awut- awutan, membungkuk, dan menatap ke arahnya. Dengan wajah berlendir dan menyeringai- memamerkan gigi kehitaman.

"Lah nyapo kok mlayu? Mbah medeni po?" tanya nenek itu. (Loh kenapa kok lari? Memang Nenek menakutkan ya?)

Damia menangis, tak bisa berkata- kata.

Tangannya merabai pintu, mencoba untuk menarik palangnya lepas. Namun panik dan ketakutan membuatnya kesulitan bahkan untuk sekedar menarik balok palangnya.

Klasik.

Nenek itu beranjak dari tempatnya. Melangkah pelan, mendekat. "Arep nang endi toh, cah ayu?"
(Mau ke mana sih, anak cantik?"

"Hiii.." Damia menggeleng.

Akhirnya ia bisa menarik balok kayu palang nya lepas. Lalu refleks Damia melemparnya ke kepala si nenek.

"Hihihihi," sosok si nenek hanya tertawa sambil terus berjalan mendekat. Seolah ia tak merasakan apapun. Satu tangannya dengan kuku panjang terjulur hendak menyentuh Damia.

"TIDAAAK!!" Damia berbalik lalu menerjang pintu kayu hingga menjeblak terbuka. Ia pun tersungkur di jalan tepat di depan rumah, yang berupa tanah berbatu.

Namun Damia tak peduli, ia kembali bangkit dan segera menjejakkan kakinya untuk pergi dari situ.

"Nduk?" Nenek itu memanggilnya. "Hihihihi."

Damia menyorotkan senter ke depan, menuju hutan. Ia tak peduli lagi dengan pepohonan besar gelap yang menyeramkan. Ia tak peduli entah ia harus ke mana.

Yang Damia tahu, ia harus berlari secepatnya dari desa itu.

PETILASAN ALAS MEDI (COMPLETE)Where stories live. Discover now