31. Petilasan, 04.00

260 39 10
                                    

"AYO!!"

Triyo menarik Damia berlari kencang, sambil berusaha sebisa mungkin menjaga sorot senternya membuka jalan.

Damia berlari sambil menangis. Setelah Fadil, Irwan dan kini Zilmi. Satu- persatu teman- temannya tewas mengenaskan seperti itu.

Lalu bagaimana dengan Santi?
Apakah dia sendirian di luar sana?

Mereka terus berlari menuju Timur. Triyo mendongak, menatap langit yang kini terlihat biru kelam. Pertanda bahwa matahari akan terbit.

Ia juga melihat secercah garis panjang membelah langit. Triyo tahu, bahwa itu adalah petunjuk arah yang ia tunggu.

"Srengenge wetan akan menuntun kalian."

Damia berlari dengan nafas yang tak beraturan. Ia sudah tak mampu lagi untuk mengikuti laju lari Triyo.

"Sebentar!!" Damia berseru sambil memegangi dadanya yang terasa sakit. "Aku udah nggak kuat!"

Mendengar ini Triyo pun melambatkan larinya, untuk kemudian berjalan seperti biasa. Ia menatap wajah Damia yang bermandikan peluh dan terlihat pucat. Dipaksa sedikit lagi, dia bisa pingsan.

"Baiklah, kita jalan saja," Triyo tetap awas mengamati sekitar. Damia mengangguk setuju.

Keduanya berjalan cepat sambil terus mengamati guratan cahaya di atas langit. Garis panjang yang menunjukkan arah Timur, yang membawa mereka tiba di satu tempat.

"Ini-?" Triyo mengernyitkan wajah, sebab ia tak pernah melihat benda itu sebelumnya.

Damia yang menyadari mereka ada di mana, menggelengkan kepala tak percaya. Ini adalah tempat yang paling tak ingin ia berada sekarang.

Tempat di mana mereka menginap dua hari lalu. Tempat di mana kengerian ini semua berawal.

"Astaga!" Damia sedikit trauma untuk kembali berada di sini. Ia menunjuk ke dua tenda yang masih berada di sana. "Kita bisa balik ke petilasan! Ini tenda yang kami pasang kemarin!"

"Petilasan?" Triyo mengernyitkan wajah. Sorot senter nya menyinari sebuah benda yang ditutup kain putih dan diikat dengan main batik.

"Jadi ini petilasan yang kamu maksud?" Triyo berjalan mendekati tugu itu, dan mengamatinya lekat. Nampaknya Triyo sangat mengenal bentuk benda ini. Lalu Triyo pun menyibak sedikit kain nya.

"Ini kan tugu pertigaan Lawang Krajan? Sejak kapan jadi petilasan?" Triyo mundur beberapa langkah karena tercengang. Jika benar cerita gadis bernama Damia dan artikel itu, maka memang ia sudah berada di Alas Medi ini selama sepuluh tahun?

"Ayo kita pergi!" Damia menggandeng tangan Triyo, mengajaknya pergi. "Tempat ini angker, dan-"

Damia tak meneruskan kalimatnya. Ia melihat sesuatu di dalam gelapnya hutan tak jauh dari mereka. Sesuatu yang berpendar samar- berwarna kuning kemerahan.

Api.

Terlihat banyak bola api yang melayang- layang dalam pekatnya malam. Yang bergerak mendekati tempat itu dari sela pepohonan.

"Triyo," pekik Damia sedikit panik. "Itu- itu.."

"..." Triyo mendengus, menatap nyalang ke arah itu. Ia mempersiapkan dirinya menghadapi apapun yang akan datang.

"ITU MEREKA!!"

Lalu tiba- tiba saja, banyak orang bermunculan dari dalam hutan. Mereka merupakan warga desa Curahwangi- yang datang beramai- ramai membawa obor.

"AH?" Damia terbelalak kaget melihat begitu banyak orang yang datang tanpa di sangka. Ia berdiri diam kebingungan dengan apa yang terjadi.

Kenapa bisa banyak warga Curahwangi di sini?

"KAMU!" seorang perempuan berkerudung bergegas mendekati Damia, dan segera memeluknya. "Untunglah kamu tidak apa- apa."

Damia mengenali perempuan itu. Ia adalah perawat di pos pendakian, yang tim Malam Jumat temui sebelum mereka berangkat melakukan pencarian petilasan.

"Sebenarnya apa yang kalian lakukan di sini?" perawat berkerudung itu melepas dekapannya, mengamati Damia dari atas sampai bawah. "Tempat ini berbahaya. Kalian tak boleh ada di sini."

"..."

"Cuman kalian berdua? Teman- teman mu yang lain mana?" tanya perawat itu sekali lagi.

Damia tak menjawab pertanyaan itu. Ia menghambur dan menangis di pundak si perawat. Beberapa warga menghampiri mereka berdua, mencoba menenangkan Damia.

"Kamu aman sekarang," perawat itu mengangguk ke arah para warga untuk membantunya.

Triyo yang masih berdiri diam, menyipitkan matanya karena melihat seseorang yang ia kenal di antara para warga, berdiri di belakang sana. Itu adalah sosok kakek yang pernah bertemu dengannya di malam kejadian itu.

Itu adalah Mbah Raung.

Perawat itu pun beralih dari Damia, berjalan mendekati Triyo. Ia melihat kondisinya yang penuh luka dari beberapa jarak. "Coba sini aku periksa sebentar-"

"Silakan," jawab Triyo.

Begitu mendengar suara Triyo, perawat itu terhenti. Ia menatap Triyo lekat beberapa lamanya dengan wajah tak percaya.

"ASTAGA!!" perawat itu langsung mendekap Triyo erat. "YA TUHAN! KOK BISA SIH?"

"Mbak?" Triyo mengernyit kebingungan melihat tingkah perawat berkerudung yang tiba- tiba saja memeluknya erat. "Ngapain?"

"Kamu lupa sama aku?" perawat itu mendongak, tersenyum sumringah melihat wajah Triyo. "Ini aku, Mas Triyo!"

Triyo semakin kebingungan sebab si perawat itu tiba- tiba saja menyebut namanya. "Siapa ya?"

"Ini aku Mas!"  perawat itu nampak sangat senang melihat Triyo.

Tunggu. Sekilas lalu Triyo seperti pernah melihat perempuan ini. Lalu Triyo pun terbelalak saat menyadari siapa yang sedang memeluknya.

"AJENG?"

PETILASAN ALAS MEDI (COMPLETE)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt