11. Petilasan, 22.01

261 30 2
                                    

Damia menghembus nafas lelah.

Ia masih saja terjaga sendirian, berbaring namun tak  bisa tidur. Suasananya benar- benar sepi. Hanya suara tetes rintik hujan yang membuat riuh di dalam tenda. Tak ada suara hewan, atau apapun.

Lumayan lama juga hujannya. Semoga tidak ada air yang masuk ke dalam tenda.

Selain itu hawanya benar- benar menusuk. Ia tak bisa memejamkan mata sedari tadi - terlalu dingin untuknya. Terlebih kakinya yang kram tadi siang kini terasa semakin nyeri.

Damia mendudukkan diri dengan malas. Sejenak ia memandangi Santi yang sudah pulas sejak jam delapan tadi. Ia nampak begitu nyaman tidur bergelung selimut tebal.

"Enaknya jadi dia," Damia mendengus penuh iri.

Di tengah tenda yang temaram ia membongkar ransel besar dan meraih sebotol minyak urut. Sambil sedikit mendesis ia melipat bagian bawah celananya.

"Ini kenapa sih dari siang nggak ilang- ilang keram nya?" keluh Damia sambil menuang minyak ke tangan. Dengan hati- hati ia mengoles minyak itu ke bagian betis nya, lalu mengurut nya lembut.

"Ssshhh..." Damia meringis menahan nyeri

Beberapa menit lamanya ia terus memijit kakinya yang berasa berdenyut- denyut. Ia sangat terfokus untuk mengurangi sakit di kakinya, ketika tiba- tiba saja gerakannya terhenti.

Lalu seluruh tubuh Damia meremang.

Sesaat tadi, sekilas saja, ia seperti merasakan sesuatu di kuduknya. Sesuatu yang ringan dan lembut, seperti sapuan angin semilir.

Seolah ada yang menghembus nafas di belakang lehernya.

"..."

Damia menelan ludah. Ia tahu itu tidak mungkin, sebab ia berada di dalam tenda.

Tapi ia juga tahu bahwa apa yang ia rasakan tadi bukan perasaannya saja.

"Santi.." Damia memanggil lirih. Namun Santi tak bergeming. Ia masih saja nyaman dengan tidurnya.

Dengan tergesa Damia menutup botol minyak urut itu dan memasukannya ke dalam ransel. Ia meraih selimut di sebelahnya, lalu ikut merebahkan diri di belakang Santi.

Jantung Damia berdebar kencang.

Perasaannya benar- benar tak enak.

Ia terdiam lama sambil menajamkan indera nya. Ada apa ini?

Namun tak ada apapun. Sama seperti tadi, hanya ada suara tetes air hujan yang bergema di dalam tenda. Hawa yang dingin dan basah.

Damia kembali teringat dengan petilasan yang berada di dekat tenda mereka.

Tentang batu- batu berlumut yang disusun sedemikian rupa dengan satu batu besar sebagai patok. Juga dengan tugu berukir aksara jawa yang ditutup kain putih dan batik.

Juga rumor tentang keangkeran Alas Medi.

Dan bagaimana cerita tentang desa yang tertimbun longsor, namun tak ada satu mayat warga pun.

"Duh, goblok. Aku mikir apa sih?" Damia merutuki dirinya sendiri. Kini semua pikiran tentang cerita dan rumor aneh tentang tempat ini mulai berputar dalam kepalanya. Ia justru semakin tak bisa tidur.

Damia merapatkan badannya sambil membenamkan wajah di punggung Santi. Ia merasa sedikit lega karena keberadaan Santi di sini.

Damia benar- benar merasa tak nyaman berada di areal petilasan ini. Padahal, ia sudah sering menginap di tempat- tempat angker dengan tim Malam Jumat nya.

Namun belum pernah ia merasa seperti ini. Ada yang  berbeda dengan Alas Medi, dengan petilasan ini.

"..."

Lalu Damia kembali merasakannya.

Seolah ada yang mengawasinya, dengan nafas terengah yang berat. Dan apapun itu, dia berada di dekat tenda.

Sangat dekat.

Namun apa? Di malam hari dan hujan seperti ini?

Apakah Irwan, Zilmi dan Fadil di tenda sebelah juga merasakannya?

"Santi?" Damia berbisik lirih. Ia benar- benar merasa tak nyaman harus terjaga sendirian. "Santi?"

Santi hanya bergumam tak jelas, merasa terganggu sambil menarik selimut makin tinggi.

Damia pun memaksakan diri untuk memejamkan matanya rapat. Berusaha mengusir pikiran- pikiran yang membuatnya tak tenang.

Besok, secepat mungkin ia akan menyelesaikan pengambilan video konten bersama tim Malam Jumat nya.

Lalu akan memaksa mereka untuk pergi dari sini.

Ia tak mau berlama- lama menginal di petilasan Alas Medi ini.

PETILASAN ALAS MEDI (COMPLETE)Where stories live. Discover now