Setelah Dia Pergi

2.7K 317 87
                                    

Hellooo~

Mohon baca pesan singkat dibawah ini yaa sayang-sayangku.

Pesanku cuma satu, jangan bawa-bawa dan sangkut pautkan cerita ini dengan real life para visual yaa. Ayo sama-sama kita jadi pembaca yang pintar dan bijak <3

Oh, iya! Jangan lupa untuk vote dan comment yang banyak di cerita ini. Okeey?? Kalau ada typo yang bertebaran, mohon dimaafkan.

Happy reading!

°
°
°
°

Sejak kepergian Heru beberapa hari yang lalu, Maisa dan Veve masih sama-sama menata kembali ruang-ruang kosong yang telah Heru tinggalkan di hati mereka.

Masih mencoba mencerna semua yang terjadi. Maisa sudah tidak menangis histeris seperti kemarin, mungkin hanya sesekali menangis diam-diam ketika shalat atau ketika sedang sendirian merenung didalam kamar.

Maisa juga mengajukan cuti beberapa waktu. Meminta jeda waktu sejenak sampai dirinya bisa kembali beraktivitas.

Untungnya, kantor tempatnya bekerja memberikan izin. Bahkan, diantara mereka juga kemarin sempat datang ke rumah. Seperti Narendra, Kalula, Gelia, Marco, Sean dan juga salah satu Manajer kantor.

Memberikan Maisa semangat dan dukungan agar segera bangkit. Narendra, yang pada akhirnya kembali bertemu dengan Veve pun juga turut memberikan semangat pada perempuan paruh baya itu. Yang Veve balas dengan ucapan terima kasih.

"Mamah, kok, enggak sarapan?" Tanya Maisa ketika melihat Veve yang hanya mengaduk-aduk bubur di mangkuk hadapannya.

"Mamah enggak lapar, Mai."

Maisa menghela nafasnya lelah, "Tapi Mamah belum makan dari semalam. Makan, ya? Maisa suapi."

Dengan sangat terpaksa, Veve menerima suapan demi suapan yang Maisa sendokkan ke dalam mulutnya.

Melihat Veve yang bak mayat hidup, sukses membuat Maisa semakin hancur. Maisa tak bisa melihat Veve seperti ini. Maisa juga tidak mau kalau Veve sampai sakit. Karena saat ini, hanya Veve yang ia punya.

"Mah, jangan sedih terus, ya. Kata Mamah kemarin, kita harus ikhlas, kan?" Ucap Maisa pelan.

Veve diam tak bergeming, berusaha mencerna ucapan yang keluar dari mulut Maisa.

"Mai..." Sahut Veve lirih.

"Iya, Mah. Maisa disini."

"Maisa jangan pergi tinggalin Mamah, ya? Cuma Maisa satu-satunya harta yang Mamah punya saat ini."

Maisa mengangguk kecil, lalu mengecup pelan punggung tangan Veve. Mati-matian Maisa menahan air matanya yang akan keluar.

"Iya, Mah. Maisa enggak akan pergi. Maisa akan selalu disamping Mamah." Sahut Maisa berusaha untuk tegar.

Nyatanya, dirinya sama dengan Veve. Rapuh. Kehilangan Heru adalah luka yang paling menyakitkan.

Setelah Veve selesai sarapan, Maisa memilih untuk menghirup udara segar di teras rumah, masih ada beberapa karangan bunga yang terpajang di teras rumah. Kadang, Maisa muak melihatnya.

"Mbak Maisa..." Panggil Pak Tias menghampiri.

Maisa tersenyum tipis menyapa laki-laki paruh baya itu, "Ada apa, Pak?" Tanya Maisa.

Pak Tias memberikan selembar kertas berbalut amplop putih. Seperti sebuah surat. Maisa tidak yakin.

Maisa mengambilnya dengan ragu-ragu, "Ini apa, Pak?"

Major Let Me Love You Where stories live. Discover now