Narendra dan Kejujuran

1.1K 145 14
                                    

Hellooo~

Mohon baca pesan singkat dibawah ini yaa sayang-sayangku.

Pesanku cuma satu, jangan bawa-bawa dan sangkut pautkan cerita ini dengan real life para visual yaa. Ayo sama-sama kita jadi pembaca yang pintar dan bijak <3

Oh, iya! Jangan lupa untuk vote dan comment yang banyak di cerita ini. Okeey?? Kalau ada typo yang bertebaran, mohon dimaafkan.

Happy reading!

°
°
°
°

"Maisa?"

Suara seseorang menginstrupsi langkah kaki Maisa. Maisa yang baru saja akan beranjak keluar dari pantry pun mengurungkan niatnya.

Maisa menoleh ke belakang, dilihatnya Narendra yang berjalan mendekat.

"Jangan pergi. Sebentar, ada yang mau saya bicarakan." Ucap Narendra cepat ketika menyadari gerak-gerik Maisa yang akan pergi.

"Jam istirahat mau habis, Pak. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan." Sahut Maisa datar.

"Hanya sebentar, Maisa. Saya rasa, kita harus meluruskan semuanya, Mai."

Dahi Maisa mengkerut bingung, "Apa yang harus diluruskan? Memangnya, ada masalah yang pernah terjadi?"

Narendra berdecih pelan, "Kamu jangan pura-pura enggak tau, Maisa."

"Lho, saya memang enggak tau ada masalah apa diantara kita, kok." Tekan Maisa.

"Mai, tolong jangan seperti ini. Tolong jangan bersikap kekanak-kanakan." Ucap Narendra dengan tajam.

"Lima belas menit, saya enggak punya banyak waktu." Sahut Maisa cepat.

Narendra tersenyum tipis ketika melihat Maisa mengalah dan memberikannya kesempatan untuk berbicara, "Mai, saya tau. Kamu benci dengan saya. Saya sadar, saya sudah menorehkan luka untuk kamu, saya sudah buat patah hati kamu. Tapi, kamu harus tau alasannya, Mai. Saya juga sakit ketika kamu menatap saya penuh kebencian."

Ada jeda yang sengaja Narendra ambil sebelum kembali melanjutkan perkataannya, "Saya tau, sikap saya enggak akan pernah bisa dibenarkan. Saya juga sakit, Maisa. Saya juga sakit ketika saya memilih untuk pergi dari kamu."

"Kalau kamu sakit, kenapa waktu itu tetap memutuskan untuk pergi?" Pada akhirnya Maisa membuka suara. Menekan ego yang menguasai dirinya.

"Karena saya mau kita sama-sama bahagia, Maisa. Kalau kamu sadar, kita sama-sama saling menyakiti kala itu. Saya capek dengan semua yang terjadi. Kekangan dari orang tua kamu dan sikap kamu yang enggak bisa ambil keputusan. Saya capek berjuang sendirian, Mai."

"Kamu jahat banget tau enggak!? Kamu bilang kamu berjuang sendirian? Kamu pikir, aku cuma diam doang kemarin? Kamu pikir aku enggak berusaha untuk rayu orang tuaku supaya bisa terima kamu?" Sentak Maisa.

Maisa tersulut ketika mendengar penuturan Narendra. Berjuang seorang sendiri? Perjuangan mana yang Narendra lakukan untuk meluluhkan hati Heru dan Veve?

"Apa sih usaha kamu buat meluluhkan hati Papi? Enggak ada, Narendra. Enggak ada sama sekali! Kamu cuma bisa nuntut aku, nuntut aku buat terus tekan Papi dan Mamah. Kamu buat aku kelihatan kayak anak durhaka." Lanjut Maisa.

"Memang itu kenyataannya, Maisa. Kamu enggak bisa ambil keputusan. Harusnya juga kamu sadar, kalau semua yang terjadi, bukan karena saya seorang. Tapi karena kamu, dan tentunya karena campur tangan kedua orang tua kamu—"

Major Let Me Love You Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang