18. Hari ke-14: Mau apa lagi?

365 72 5
                                    


.
.
.
.
.
Aidan terpaksa bangun pukul dua pagi karena sakit perut, si bungsu itu tersenyum saat melihat Bagas tertidur nyenyak.

Semalam mereka baru saja membahas tentang rencana opung mereka yang akan datang dalam waktu dekat, meskipun baik Resta, Rain maupun dirinya tidak membahas soal calon pewaris.

Aidan bersyukur karena setelah ini sang mama tidak akan bisa memaksanya untuk masuk ke perusahaan, terutama saat dia belum lulus kuliah.

Aidan tidak kembali tidur setelah dari kamar mandi, pemuda itu memutuskan untuk keluar kamar, mungkin dia akan berdiam di dapur, menunggu salah satu orang rumah bangun dan memasak untuk sahur.

"Ck, kenapa mama mau kesini lagi sih?!" Aidan berdecak sebal saat melihat pesan dari sang mama di ponselnya.

"Jangan sampai mama cari masalah lagi, kenapa mama gak puas sama apa yang udah mama dapat selama ini?" Aidan menelungkupkan wajahnya di atas meja makan, padahal baru dua hari dia tenang tanpa mengkhawatirkan sesuatu.

Tap

"Aidan?" Aidan seketika langsung mendongak saat merasakan tepukan di bahunya.

"Bang Resta." Resta tersenyum saat melihat wajah terkejut Aidan.

"Kamu ngapain udah diem disini sendirian?" Aidan menggeleng pelan.

"Aku tadi bangun karena kebelet, terus keluar waktu tau udah jam dua, nanggung kalau tidur lagi bang." Resta mengangguk paham.

"Ya udah duduk anteng disini, hari ini gue sama Rain yang mau masak." Aidan kembali mengangguk, terlebih dia mendengar suara langkah kaki mendekat ke arah ruang makan, dan Aidan yakin jika itu adalah Rain.

Lily dan Fatma sudah pamit pulang semalam, karena Fatma tidak bisa meninggalkan kliniknya terlalu lama, begitu juga Lily yang harus mengurus restoran dan butiknya.

"Loh Aidan kok udah bangun?" Aidan tersenyum manis saat mendengar suara lembut Rain.

"Kebangun tadi bang." Rain mengangguk paham, sama seperti Resta, pemuda itu tidak lagi bertanya.

"Mau masak apa? Rain yang di tanya seperti itu oleh Resta langsung menatap ke arah Aidan.

"Kamu mau sahur sama apa Dan?" Aidan mengerjap sejenak sebelum menjawab.

"Tumis kangkung sama ikan goreng." Jawaban Aidan menjadi penentu menu sahur mereka.

"Ada ikan kan?" Resta mengangguk karena saat ini dia sudah membuka kulkas untuk memeriksa bahan.

"Oh iya bang Rain, bang Resta, aku dapet chat dari mama, katanya mama sama papa mau kesini lagi." Resta langsung berdecih saat mendengar hal itu.

"Ya Allah, mau ngapain lagi sih?! Gak atau apa opung mau kesini tiga hari lagi." Rain menggelengkan kepalanya pelan saat melihat Resta kesal.

"Udah biarin aja, selama papa sama tante Nita gak cari masalah sama kita, gak usah di pikirin apa tujuan mereka kesini Res, nanti kalau macem-macem tinggal lapor ke opung."
.
.
.
.
.
Kedatangan Bian dan Nita sama sekali tidak mendapat sambutan dari anak-anak nya, tidak ada lagi senyum dan sapaan yang mereka dapat.

Layaknya tamu yang tidak di harapkan di rumah sendiri, Nita kesal tentu saja. Dia merasa tidak di hargai oleh anak-anak, terlebih Bian sama sekali tidak membantunya menegur putra-putra mereka.

Resta bahkan memutuskan menemani Rain untuk pergi ke perusahaan milik Milia, dua pemuda tertua itu sangat malas bertemu sang papa.

Bian tidak bisa memarahi putra-putra nya, karena dia tau jika hal ini karena perilaku Nita sendiri. Mereka yang sebelumnya mencoba menghormati Nita, langsung berbalik membenci istrinya itu.

"Bagas, dimana abang kalian?" Bagas yang kebetulan duduk di ruang keluarga langsung menoleh pada Bian yang baru saja turun dari lantai dua.

"Bang Resta ikut bang Rain ke kantornya ibuk, mau ngurus sesuatu katanya." Bian mengangguk.

Lelaki paruh baya itu paham, jika dia tidak bisa ikut campur akan harta anak-anak mereka. Apapun yang anak-anak mereka lakukan, Bian hanya bisa mendukung.

"Bagas kapan wisuda?" Bagas yang mendengar pertanyaan itu langsung menatap sinis pada Nita.

"Dua tahun lagi." Ekspresi Nita langsung berubah saat mendengar jawaban Bagas.

"Kenapa dua tahun lagi? Katanya kamu pintar, kenapa kamu gak bisa wisuda di tahun yang sama kayak Noah?" Bian menatap tajam pada Nita, terutama saat melihat wajah datar sang putra.

"Loh katanya tante dulu pernah kuliah kedokteran, berarti harusnya tau dong kalau mahasiswa kedokteran itu wisuda nya dua kali." Wajah Nita memerah saat mendengar jawaban Bagas.

"Ya itu kalau kuliah kedokteran, wisudanya pasti dua kali, mama ini nanya kamu." Bagas mengangguk.

"Tante Nita kalau bodoh jangan di bawa kesini, semua orang di rumah ini bahkan papa tau kalau aku ini kuliah di kedokteran. Lagian mau aku wisuda taun depan, dua tahun lagi, atau tiga tahun lagi, gak ada urusannya sama tante. Bunda sama papa aja gak protes, kok tante yang bukan siapa-siapa protes." Nita mengepalkan tangannya saat Bagas mengatakan hal itu, namun Bian tetap diam, padahal Bagas jelas-jelas menghinanya.

"Mas, kamu mau diem aja lihat anak kamu kurang ajar?!" Bagas berdecak dan bangkit dari duduknya.

"Papa, tolong buat mulut istri papa itu diem selama dirumah ini, kalau dia gak mau kehilangan semua fasilitas yang dia nikmati sekarang. Jangan sampai aku robek mulutnya!"
.
.
.
.
.
Rain dan Resta tau jika suasana sedang tidak nyaman, semua itu karena kehadiran papa dan ibu tiri mereka.

Rain dan Resta diam saat tidak mendapat laporan apapun dari adik-adiknya saat mereka berdua pulang, kecuali tentang Bagas yang minta maaf pada mereka karena sudah bersikap kurang ajar pada papa dan ibu tiri mereka.

Suasana buka yang biasanya ramai juga terasa dingin, Resta tau adik-adik nya terpaksa memakan masakan Nita karena mereka tidak diajarkan untuk membuang-buang makanan.

Namun dari semua adik-adiknya hanya Rain yang tidak menyentuh masakan buatan Nita, dan memilih menggoreng telur dan nuget untuk lauk buka nya.

Tidak ada yang menegur Rain karena mereka tau alasan Rain melakukan itu, bukan karena masakan Nita tidak enak, tapi karena Rain memilih menyelamatkan dirinya.

"Rain, kenapa kamu malah goreng telur sama nuget? Padahal mama sudah masak." Rain hanya menatap datar pada sepasang suami istri yang sekarang tengah menatapnya itu.

"Papa gak kasih tau tante Nita?" Rain menatap Bian yang hanya diam saat ini.

"Sudah lah Nita, biarkan Rain makan. Ayo makan!" Nita menyentak tangan Bian saat suaminya itu menarik tangannya pelan agar kembali duduk.

"Tapi Rain kurang aja mas, dia gak mau menghargai aku yang udah masak susah payah!" Resta menggelengkan kepalanya heran, bagaimana bisa dia memiliki ibu tiri yang super bodoh seperti ini.

"Nita! Duduk dan segera makan!" Nita menggeleng dan menatap tajam pada Bian.

"Kamu ini kenapa sih mas?! Masa kamu takut sama anak-anak kamu! Kamu ini papa mereka!!"

Brak

Suasana langsung hening saat Resta menggebrak meja, tatapan sang tertua itu sangat tajam dan menakutkan.

"Tante, kalau tante mau ribut sama papa, sana diluar! Tante ganggu kami makan, dan lagi terserah Rain mau makan sama apa, itu bukan urusan tante!" Nita mengepalkan tangannya, dua kali dia di perlakukan seperti ini.

"Tante Nita, kalau tante masih mau disini lebih baik diam. Harusnya tante kalau paham sama kita tante tau saya gak makan segala olahan kacang, tapi lihat apa yang tante masak sekarang? Kalau tante mau bunuh saya sih ya gak apa, saya akan tetap makan, tapi setelah itu tante akan hidup di tengah siksaan opung sama uti."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Grantha : Ramadhan PertamaWhere stories live. Discover now