32. Hari ke-28: Ke Jogja

322 76 2
                                    


.
.
.
.
.
Resta bersyukur karena demam Rain sudah turun saat sahur, bahkan pemuda mungil itu sudah duduk manis di meja makan untuk menunggu adik-adiknya.

Resta sudah melarang nya ikut sahur, namun Rain dan keras kepala nya itu tentu tidak akan mau. Bahkan Kendra hanya bisa menggelengkan kepalanya saat tau jika Rain memaksa ikut sahur.

"Bang Rain, beneran mau ikut sahur?" Rain mengangguk tanpa menatap Kendra.

"Tapi kamu tetep gak boleh puasa loh Rain." Rain yang sejak tadi sibuk memainkan ponselnya langsung menatap tajam ke arah Resta.

"Aku udah sehat kok, jadi udah wajib puasa." Resta menggeleng.

"Sehat apa nya, demam aja baru turun. Coba aja puasa, nanti biar pas mama, bunda, opung sama uti dateng gue bisa laporan." Rain langsung merengut mendengar ancaman Resta.

"Resta sekarang kerjaannya ngancem mulu, males ah." Resta dan Kendra tertawa mendengar hal itu.

"Makanya jangan bandel, bandel banget jadi orang. Hari ini kamu gak boleh puasa, kalau kamu maksa puasa, batal aja pergi ke jogja nya." Rain semakin cemberut saat mendengar hal itu, terlebih Kendra malah mengangguk setuju.

"Gak bisa dong, aku harus ke jogja hari ini." Resta mengedikan bahunya.

"Makanya nurut, jangan protes mulu."

"Gak usah puasa sehari bang, besok baru puasa ya? Kendra takut abang pingsan disana nanti." Rain terpaksa mengangguk saat mendengar ucapan Kendra.

"Iya iya, udah jangan bawel lagi, aku laper."
.
.
.
.
.
"Rain, gimana keadaannya?" Rain hanya tersenyum tipis saat Lily dan Fatma sampai, dan langsung bertanya tentang keadaannya.

"Alhamdulillah, Rain sudah baikan." Rain terkejut saat Fatma tiba-tiba menyentuh kening nya.

"Masih demam, udah minum obat?" Rain mengangguk.

"Yakin mau ke jogja hari ini Rain?" Rain mengangguk mantap.

"Yakin ma, Rain kangen sama ibuk." Lily tersenyum sendu, dia tau bagaimana dekatnya Rain dengan sang ibu selama ini.

"Ya udah kalau gitu, tapi kalau ngerasain sakit langsung bilang ke bunda ya?" Rain mengangguk kecil.

"Iya bunda." Fatma tersenyum.

"Adik-adik kamu dimana?" Rain menunjuk ke arah pintu kamar Bagas dan Aidan.

"Di kamar Bagas sama Aidan, kayaknya lagi main game ma." Lily akhirnya mengangguk paham, dan memilih duduk di sebelah Rain.

"Kalau Resta?"

"Di ruang kerja, ada berkas yang harus Resta cek hari ini, tapi cuma satu kok, paling habis ini Resta selesai." Lily tersenyum.

"Rain sini deh, tiduran sini, kepalanya taruh di paha mama. Mama mau elus rambut kamu." Rain menuruti permintaan Lily dan segera merebahkan dirinya.

"Rambut kamu halus Rain, sama kayak rambut ibuk kamu." Rain berdehem, kelopak matanya tertutup saat Lily memainkan rambutnya.

"Ibuk juga sering bilang gitu, katanya rambut Rain yang mirip ibuk, kalau rambut Kendra kayak papa." Lily tertawa mendengar gumaman Rain.

"Rain, bunda denger kamu dapat klien nyebelin ya?" Rain mengangguk kecil.

"Iya, dia rewel kayak bayi baru lahir bunda, masa Rain di minta ganti desain sampai lima kali." Fatma tertawa kecil saat Rain menjawabnya namun dengan mata tertutup.

"Kamu ngantuk ya?" Rain mengangguk kecil.

"Kalau ngantuk tidur aja dulu, nanti kalau uti sama opung datang bunda bangunin." Ucapan Fatma tidak mendapat jawaban dari Rain karena pemuda itu sudah masuk ke alam mimpi nya.

"Cepet banget udah tidur? Bener-bener kayak mbak Milia ya?" Lily mengangguk, mengingat jika almarhum sepupunya itu bisa langsung tidur bahkan setelah sepuluh detik kepalanya menyentuh bantal.

"Iya mirip banget, semoga nanti kisah cinta mereka gak mirip. Rain harus dapat perempuan yang setia."
.
.
.
.
.
Seperti rencana sebelumnya, keluarga Malendra akan pergi ke jogja begitu Bian, Rano dan Arini tiba di solo.

Rain menolak satu mobil dengan para orang tua, Rain tidak ingin emosinya naik saat melihat sang ayah.

"Bang Rain, abang gak apa?" Rain hanya mengangguk saat Bagas berbisik padanya.

"Tapi abang demam lagi, mana pucet banget lagi." Rain lagi-lagi menggeleng dan memilih menyandarkan kepalanya pada pundak Kendra.

"Bang Rain?" Kendra menatap khawatir pada sang kakak, namun Rain menepuk tangannya dan memintanya diam.

"Diem ya Ken, kepala abang sakit, jangan tanya-tanya dulu." Mendengar itu Kendra hanya bisa memijat kepala Rain pelan, sedangkan Bagas memijat tangan kakak keduanya itu.

"Nanti habis dari makam, istirahat dulu di rumah ya bang? Kita buka disana, pulang nya agak maleman aja gak apa." Resta mengangguk saat Kendra mengatakan itu, lagi pula keadaan Rain sedang tidak baik saat ini.

Arini tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari Rain begitu mereka semua sampai di makam, suasana makam memang sedikit ramai karena mendekati lebaran.

Bian tau jika Rain sedang sakit, hingga membuat lelaki itu menjaga langkahnya tepat di belakang Rain. Bian boleh plinplan tapi jika menyangkut Rain dan Kendra, Bian bahkan bisa memberikan seluruh dunia.

Grep

Bian merangkul Rain saat melihat putra keduanya itu sedikit limbung, semua yang melihat itu hanya membiarkan, terlebih Rain sama sekali tidak menolak Bian.

"Kenapa le? Pusing?" Rain hanya berdehem kecil.

"Istirahat dulu di rumah ya? Nanti malam baru balik ke solo." Bian menatap ke arah Rano, dan langsung mendapat anggukan.

Bian sama sekali tidak melepaskan rangkulannya dari pundak Rain, karena Bian tau jika Rain bisa meluruh kapan saja.

Rain terpaksa semobil dengan Bian dan para orang tua, karena memang kondisinya yang bisa di bilang cukup drop setelah di periksa oleh Fatma.

"Mampir ke apotik dulu ya pi, Fatma mau beli obat buat Rain." Rano mengangguk saat Fatma mengatakan itu.

"Perlu diinfus gak?" Fatma mengangguk.

"Perlu, karena dengan kondisi seperti ini Rain butuh infus buat cairan tubuhnya."
.
.
.
.
.
"Kendra belum maafin papa?" Kendra yang jalan nya di hadang oleh Bian hanya menatap malas.

"Papa minggir ih, aku mau ke kamar bang Rain!" Bian menghela nafas panjang.

"Maafin papa dulu." Kendra menggeleng.

"Gak ada niat buat maafin papa, gak tau kalau pas lebaran besok. Awas ih, aku mau bangunin bang Rain buat makan!" Bian akhirnya mengalah dan membiarkan Kendra ke kamar Rain.

Bian tau membujuk Kendra itu susah-susah gampang, karena putra ketujuh nya itu memang hanya akan menuruti ucapan ibu dan sang kakak. Bahkan selama ini pun Kendra bersedia memaafkannya karena bujukan Milia, sekarang semua terasa sangat sulit.

Hanya Rain yang bisa membuat Kendra memaafkan nya, namun sepertinya Bian harus bersabar.

"Papa ngapain berdiri disitu kayak patung?" Bian menoleh dan menemukan Gala sedang menatapnya bingung.

"Gak ngapa-ngapain, papa mau lihat abang kamu tadi." Gala mengangguk, lalu bersiap untuk berbalik sebelum ucapan Bian membuatnya berhenti.

"Gala, kamu belum maafin papa?" Gala mengerjap.

"Udah Gala maafin, kata bang Rain gak boleh jadi pendendam, meskipun Gala sebenernya kesel sama papa."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.
Selamat siang
Hari ini aku bakal triple up chapter terakhir Grantha: Ramadhan pertama
Aku juga punya pengumuman nanti...

Selamat membaca dan semoga suka

See ya

–Moon–

Grantha : Ramadhan PertamaWhere stories live. Discover now