24: Hari ke-20: Kesiangan

451 82 0
                                    


.
.
.
.
.
Rumah keluarga Malendra rusuh subuh-subuh, karena mereka kesiangan bangun sahur. Biasanya Resta atau Rain yang akan membangunkan mereka, namun hari ini tidak.

Resta bahkan masih tidur saat Axel terbangun karena mendengar suara alarm, dan waktu sudah menunjukan pukul empat pagi kurang sepuluh menit.

Axel dengan cepat membangunkan Resta karena menyadari mereka kesiangan, namun Resta hanya bisa menghela nafas sambil mengusap wajahnya.

Suasana serupa juga terjadi di kamar yang lain, mereka semua kesiangan dan panik karena hanya bisa minum air putih saja.

Bahkan saat mereka melakukan sholat subuh berjamaah, keenam pemuda itu hanya bisa menghela nafas pelan, meskipun sebenarnya mereka penasaran kenapa dua kakak tertua mereka tidak bangun sahur.

"Tapi tumben bang Resta sama bang Rain gak bangun?" Axel dan Noah yang merupakan teman sekamar Resta dan Rain hanya bisa menggeleng.

"Bang Resta kayaknya capek banget, tadi waktu aku bangunin bang Resta cuma ngusap wajah nya terus balik tidur lagi." Jawaban Axel membuat yang lain langsung beralih pada Noah, mereka juga mau mendengar jawaban pemuda tinggi itu.

"Bang Hujan bahkan gak balik ke kamar, kayaknya bang Hujan stay di ruang kerja." Helaan nafas serempak terdengar setelah Noah mengatakan hal itu.

"Bang Rain sama bang Resta mungkin sama-sama capek, jadi mereka juga ikut kesiangan." Ucapan Gala mungkin satu-satunya kalimat yang berpikir positive.

"Udah udah, ayo sholat!!"

"Oh iya buat yang mau ngaji nanti silakan, kalau gue sih kayaknya sebentar aja ngaji nya, mau lanjut tidur."
.
.
.
.
.
"Res?" Rain masuk ke kamar Resta dan Axel setelah Axel memanggilnya di ruang kerja dan mengatakan jika Resta demam.

Rain bisa melihat jika sang kakak itu masih setia bergelung dengan selimutnya, sudah bisa dipastikan jika demam adalah alasan Resta tidak bangun sahur.

"Resta, bangun dulu bang." Resta membuka matanya sedikit saat Rain memanggilnya bang.

"Kenapa kamu manggil gue bang waktu gue sakit sih?" Rain tertawa kecil.

"Bangun dulu, nih aku buatin bubur ayo makan dulu terus minum obat." Resta mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya berusaha bangun.

"Gila kepala gue pusing banget." Rain menghela nafas panjang.

"Habis makan sama minum obat nanti aku pijitin kepalanya, biar kamu bisa istirahat." Resta hanya berguman pelan, kepalanya terlalu pusing, bahkan untuk sekedar membuka mata saja Resta harus berjuang.

"Sini aku suapin aja, kamu merem aja gak papa, nanti aku panggilin Bagas buat meriksa kamu, atau aku panggilin dokter lain?" Resta memberikan jawaban melalui tangannya, karena sangat tidak mungkin untuk Resta menggeleng.

"Gak usah, nanti habis minum obat juga enakan." Rain memilih menurut, dia tidak ingin membuat Resta jengkel saat ini.

Rain menyuapi Resta dengan perlahan, beruntung Resta tidak sulit untuk makan saat sakit, hingga Rain juga tidak perlu membujuknya.

"Ini obat nya, aku tadi udah tanya Bagas kalau soal obat nya." Resta mengambil obat dari tangan Rain dan segera meminumnya.

"Makasih." Rain yang mendengar gumaman Resta hanya tersenyum simpul.

"Sama-sama, udah kamu istirahat aja, aku mau ngurusin yang di luar." Resta lagi-lagi hanya bergumam saat Rain membantunya kembali berbaring.

"Rain, kalau kamu sibuk juga gak usah masak, beli aja."
.
.
.
.
.
"Kalian mau buka sama apa hari ini?" Pertanyaan Rain seperti angin segar bagi enam pemuda yang sedang seperti ikan di ruang keluarga.

"Aku mau soto bang!"

"Aku mau ayam goreng."

"Bakso."

"Nasi goreng."

"Pecel lele."

"Gue mau sate bang!"

Rain menghela nafas panjang saat mendengar jawaban yang berbeda dari keenam adiknya, memang keputusan benar meminta mereka semua untuk beli saja.

"Resta sakit, jadi kalian beli aja buat buka nanti ya? Sekalian beliin aku sama Resta bakso, saos sama sambel nya pisah aja." Rain mengatakan itu sambil memberikan uang lima ratus ribu pada Bagas.

"Bagas tolong di atur ya, kalau bisa sekalian kalian beli buat sahur besok, jangan lupa pasang alarm biar gak kesiangan lagi." Bagas menerima uang dari Rain dan mengangguk.

"Iya bang, siap." Rain tersenyum dan mengangguk.

"Axel, buat nanti malam kamu tidur di kamar ku dulu gak papa?" Axel mengangguk, terutama saat Kendra dan Noah sudah merangkul pundaknya.

"Tenang bang, nanti Axel gue ajak begadang." Rain langsung mendelik kesal.

"Gak usah aneh-aneh Noah!" Noah hanya tertawa mendengar itu.

"Bercanda bang." Rain rasanya ingin menggetok kepala Noah agar sedikit serius.

"Ya udah kalau gitu aku mau ke ruang kerja dulu, kalau kalian butuh apa-apa panggil aja."

Setelah Rain pergi, Bagas menatap kearah Noah dan adik-adiknya yang lain.

"Bang Resta lagi sakit, kayaknya bang Rain juga bakal tumbang kalau terus kerja kayak gini." Ucapan Bagas membuat Kendra mengepalkan tangannya, dan merasa bersalah.

"Nanti kita bantuin bang Rain buat beresin rumah, selama ini bang Resta sama bang Rain yang lebih banyak jagain kita dan ngurus kita, nanti gantian." Kali ini Bagas mendapat anggukan setuju dari adik-adiknya.

"Udah, ayo siap-siap kita cari takjil sekaligus makanan. Udah jam empat nih."
.
.
.
.
.
Biasanya jika sedang selesai tarawih, anak-anak keluarga Malendra itu akan berisik di meja makan, tapi hari ini berbeda karena mereka semua makan dalam diam. Semua itu karena Resta masih belum enakan dan kamar Resta juga Axel dekat dengan dapur.

Mereka takut mengganggu istirahat sang kakak tertua, belum lagi ternyata Rain sedang bekerja di kamar Resta.

"Sadar gak sih kalian, kalau makin kesini bang Resta sama bang Rain keliatan kayak anak kembar." Ucapan Noah membuat lima pasang mata langsung menatap kearah nya.

"Lah aku kira aku doang yang mikir gitu!" Kendra memekik senang, namun tetap menjaga nada suaranya.

"Bang Rain sama bang Resta kayak gembok sama kunci, gak bisa di pisah."

"Tapi nih ya, aku lihat bang Rain justru kayak anak kecil kalau sama bang Resta."

"Bener... Bener... Bang Rain jadi sedikit manja kalau sama bang Resta, padahal selama ini bahkan bang Rain gak pernah manja sama ibuk."

"Ya kan meskipun usia nya sama bang Rain tetep adik nya bang Resta."

"Iya sih, tapi lihat mereka itu bahkan lebih cocok di sebut kembar Malendra dibanding Bagas sama Noah."

"Heh maksud anda apa ngomong begitu?!!"

"Bersyanda loh Nono, heran deh kaku amat kayak keripik kulit."

"Keripik kulit enak weh."

"Iya lagi, nanti lebaran harus ada itu keripik."

Obrolan-obrolan random akhirnya berlangsung diantara keenam pemuda itu, bahkan mereka melupakan jika ada dua orang yang hanya bisa menggelengkan kepala saat mendengar tawa kencang mereka.

"Adik kamu tuh, berisik." Resta melirik Rain yang sedang fokus pada laptopnya.

"Adik ku ya adik kamu juga bang!"
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Grantha : Ramadhan PertamaWhere stories live. Discover now