30. Hari ke-26: Alergi

517 71 1
                                    


.
.
.
.
.
Vetra muncul saat sahur, sepertinya Rain terlalu kesal hingga membiarkan Vetra muncul sementara.

Resta dan Kendra adalah orang pertama yang sadar jika Vetra lah yang bersama mereka sejak sahur tadi.

Hari ini Vetra dan Resta sama-sama akan berbuka puasa di luar, mereka akan makan malam bersama klien di luar.

Vetra sebenarnya malas mengikuti hal-hal seperti makan di luar bersama klien atau apa lah itu, menurut Vetra pekerjaan hanya di lakukan di perusahaan, keluar dari sana jangan lagi membicarakannya.

"Vetra, kalau keberatan buat ikut makan malam di luar, kamu bisa tinggal di rumah." Vetra menggeleng.

"Aku ikut, aku gak mau pandangan klien kalian ke Rain jadi jelek." Resta tersenyum tipis, Vetra itu terlihat seperti saudara kembar Rain jika seperti ini, padahal mereka adalah orang yang sama, hanya kepribadian mereka saja yang berbeda.

"Gak usah pura-pura jadi Rain, capek nanti. Kamu cukup jadi Vetra aja, dengan begitu mereka gak akan bisa anggap remeh kamu atau Rain." Vetra tersenyum miring.

"Oh, jangan khawatir kalau soal itu." Resta ikut tersenyum saat mendengar jawaban Vetra.

"Oh tapi karena kita buka puasa di luar, anak-anak kucing itu gimana?" Alis Resta menukik, anak kucing yang mana? Memang nya mereka pelihara kucing?

"Anak-anak kucing?" Vetra mengangguk.

"Kita gak pelihara anak kucing Vetra." Vetra menghela nafas panjang.

"Anak-anak itu! Jangan bilang kamu lupa kalau punya adik bejibun?!" Resta mendengus kesal saat tau jika yang di sebut anak kucing oleh Vetra adalah adik-adik mereka.

"Gue udah pesen ke Kendra sama Bagas buat masak nanti, lagian mereka punya uang, mereka bisa beli makanan yang mereka mau, gak usah khawatir."
.
.
.
.
.
Vetra tidak banyak bicara, sama seperti Rain saat menghadapi klien dari perusahaan Malendra. Padahal Resta tau jika Vetra ini tidak akan pernah bisa berhenti menjulid apa saja yang dia lihat.

Vetra diam bukan tanpa alasan, tapi dia sedang menganalisa sifat klien baru mereka. Apa yang dikatakan Resta padanya saat berangkat tadi cukup membuat Vetra ingin memisahkan kepala klien mereka itu.

"Selamat malam pak Resta, pak Rainer." Resta tersenyum tipis, namun Vetra hanya melirik tanpa minat.

"Selamat malam pak Edi, silakan duduk." Resta mempersilakan klien nya untuk duduk.

"Terlambat sepuluh menit." Ucapan dingin Vetra membuat wajah pak Edi berubah pias.

"Ah maafkan saya pak Rainer, jalanan macet hingga membuat saya terlambat sedikit." Resta hanya menatap, memperhatikan bagaimana Vetra memberi peringatan pada klien mereka itu, karena hal ini sudah sering terjadi.

"Apa tidak ada alasan lain selain terlambat?" Pak Edi mengepalkan tangannya saat Vetra menatap tajam kearah nya.

"Saya hanya terlambat sepuluh menit pak Rainer, itu bukan waktu yang lama." Vetra semakin menatap tajam pada pak Edi saat lelaki itu mengatakan jika waktu sepuluh menit yang terbuang itu hanya sebentar.

"Sepuluh menit yang ke berapa pak? Apa pak Edi lupa jika anda sudah sangat sering terlambat jika anda membuat janji dengan kami?" Resta tersenyum miring saat Vetra mengatakan hal itu.

"A-ah maafkan saya pak, saya janji tidak akan terlambat lagi." Vetra mendengus.

Sebenarnya pak Edi marah saat Vetra mengingatkannya, rasanya seperti sedang direndahkan oleh anak kecil.

"Ya pastikan saja hal itu, saya tidak suka mendengar janji kosong." Pak Edi tersenyum paksa, karena bagaimana pun perusahaan tempatnya bekerja membutuhkan kerja sama mereka.

"Sebagai permintaan maaf saya, biar saya yang pesankan makanan untuk kalian pak Resta, pak Rainer." Vetra hanya diam tanpa menjawab, sedangkan Resta akhirnya memutuskan tersenyum tipis.

Vetra tidak menurunkan kewaspadaannya, dia tidak menyukai pak Edi, karena sikap lelaki itu.

"Rain bakal marah kalau kamu kayak gitu." Vetra hanya mengedikan bahunya saat Resta berbisik kearah nya.

"Gak bakalan, aku bahkan bisa jamin kalau dia gak akan marah sama aku."
.
.
.
.
.
"Bagaimana pak Resta, saya harap kerja sama ini bisa berjalan lama. Perusahaan saya sangat bergantung pada kerja sama ini." Resta melirik Vetra yang hanya diam dengan tatapan datar, makanan di hadapan pemuda itu bahkan masih sangat banyak.

"Kenapa tidak anda tanyakan pada Rainer pak Edi? Bukankah kerja sama ini adalah tanggung jawab bapak dengan Rain?" Pak Edi menatap menatap Vetra yang hanya diam sejak makanan datang tadi.

"Pak Rainer–"

Sret

"Kita pulang Res!" Resta mengernyit saat Vetra tiba-tiba bangkit dari duduknya dan mengajak Resta pergi.

"Rain?" Resta segera menurut tanpa banyak bertanya lagi, karena dia tau pasti ada sesuatu dengan Rain.

"Maaf pak Edi, perihal kerjasama kita, saya minta perusahaan pak Edi mengirimkan satu perwakilan lain yang lebih disiplin minggu depan, setelah itu baru saya bisa menentukan bagaimana kedepannya kerjasama kita, kami permisi." Vetra langsung menarik tangan Resta untuk segera keluar dari restoran dan kembali ke mobil mereka.

"Kenapa?" Resta menatap khawatir pada Vetra yang memejamkan matanya di samping kemudi.

"Resta, Rain maksa ambil alih, mending sekarang kamu bawa mobil ke rumah sakit." Mata Resta terbelalak saat mendengar kata rumah sakit dari Vetra.

"Maksud kamu apa Vet? Vetra!!"

Sret

"Bang Resta." Resta langsung membantu Rain untuk duduk dengan benar.

"Kenapa? Kenapa Vetra minta gue ke rumah sakit?" Resta sedikit bingung saat melihat nafas Rain yang memburu.

"Kacang... Pak Edi sengaja pesan makanan yang pakai sedikit campuran selai kacang." Mata Resta terbelalak mendengar ucapan Rain.

"Kenapa gak bilang dari tadi?! Kita ke rumah sakit sekarang!" Resta dengan cepat menjalankan mobilnya ke rumah sakit, tentu saja setelah memastikan Rain aman.

Beruntung Vetra hanya sempat memakan sedikit, dan langsung mengajak Resta pulang. Karena tindakan itu pula Resta tidak terlambat membawa Rain ke rumah sakit untuk mendapat penanganan.

Reaksi alergi yang dialami Rain belum terlalu berat, namun tetap saja Rain harus menghabiskan dua jam di rumah sakit.

"Gak perlu nunggu minggu depan, besok gue bakal kirim keputusan pemutusan kerja sama." Resta mengepalkan tangannya, sedangkan Rain hanya diam menatap sang kakak.

"Dia cari lawan yang salah, dia gak tau siapa yang dia lawan." Rain memilih memejamkan matanya dari pada melihat tingkah Resta.

"Udah lah Res, besok di pikir besok." Resta mendengus saat Rain mengatakan hal itu.

"Tapi dia bikin kamu celaka." Rain mengangguk kecil.

"Iya tau, tapi mending kamu pikirin respon yang di rumah. Jangan kasih tau mereka, biar cukup kita bertiga aja yang tau soal ini." Resta menghela nafas panjang dan mengangguk.

"Gue turuti asal kamu istirahat, gak usah kerja dulu atau mikirin kerjaan itu, paham?" Rain terpaksa mengangguk, karena dia butuh saudaranya itu untuk membantunya.

"Iya-iya, habis ini ayo pulang, aku mau tidur di rumah."
.
.
.
.
.
Tbc
.
.
.
.
.

Grantha : Ramadhan PertamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang