21. Hari ke-17: Datang nya Opung dan Uti ke Solo

604 91 7
                                    


.
.
.
.
.
Resta meminta Rain tetap diam di kamarnya hingga emosi nya sedikit mereda, bukan karena apa tapi melihat betapa emosi nya Vetra kemarin bisa di pastikan jika Vetra akan terus melampiaskan emosinya jika melihat Nita dan Bian.

Bian menginap di rumah sakit semalam dan hari ini akan kembali ke rumah, Resta cukup khawatir dengan Rain karena meskipun Bian menyayangi anak-anak nya tapi lelaki itu tetap egois.

Resta sedikit bersyukur karena opung dan uti nya akan datang ke rumah hari ini, dan bisa di pastikan jika Nita tidak akan bisa menyelamatkan posisinya saat ini.

"Resta." Resta menoleh saat mendengar suara pelan Rain.

"Hm? Butuh sesuatu?" Rain menggeleng kan kembali memejamkan matanya.

Ya, semalam memang Resta meminta Noah tidur di kamarnya bersama Axel dan dia yang tidur di kamar pemuda tinggi itu menemani Rain, Resta hanya khawatir jika Vetra akan kembali mengangguk.

"Kepala ku pusing, Vetra ngeselin emang!" Resta tersenyum tipis, saat ini Vetra memilih kembali tidur dan membiarkan Rain yang bangun.

"Mau puasa gak?" Rain menatap Resta tajam.

"Ya sekarang bulan puasa, gimana cerita nya aku gak puasa?!" Resta tertawa, rasanya menyenangkan mendengar Rain kesal.

"Ya kan kamu semalem gak sahur, buka juga cuma minum. Gak usah puasa aja ya?" Rain mendelik kesal, enak saja meminta orang tidak puasa.

"Gak ada! Aku mau puasa, kamu jangan jadi setan ya Res, cukup papa aja yang jadi setan di rumah ini!" Resta menepuk lengan Rain pelan.

"Ngomongin soal papa, nanti siang papa bakal pulang ke sini. Tapi tenang aja, opung sama uti sampai jam sepuluh."
.
.
.
.
.
Bian dan Nita tidak menyangka jika akan bertemu dengan mami dan papi nya di rumah, karena tidak ada yang memberitahu mereka soal kedatangan keduanya.

"Mami, papi." Bian menatap sang ayah dengan takut.

"Duduk Bian! Kamu juga Nita!!" Bian menarik Nita untuk duduk di hadapan kedua orang tua nya.

"Mami sama papi kenapa gak kasih kabar kalau mau datang? Kan Nita bisa nyiapin makanan." Arini, sang ibu mendengus mendengar ucapan Nita.

"Kamu kupa kalau sekarang bulan puasa?!" Nita menunduk saat Arini menatapnya tajam.

"Apa yang terjadi Bian? Papi dengar kamu menampar Kendra karena anak perempuan yang dibawa oleh istri mu itu?! Sebelumnya juga kamu memaksa Gala bertunangan dengan anak perempuan yang dibawa oleh Nita." Bian menunduk, karena harus menyiapkan jawaban. Jika tidak begitu bisa habis dia di hajar oleh sang ayah.

"Papi, mas Bian gak salah! Kendra dan Rain ngelakuin hal di luar batas, mereka memukul dan menghancurkan mental Anya!" Bian menatap Nita tidak percaya, tidak kah wanita itu tau jika urusannya dengan sang papi berbeda dengan anak-anak.

"Kamu diam! Siapa yang mengizinkan kamu berbicara?!" Nita seketika terdiam saat mendengar bentakan Rano.

"Papi, apa yang di katakan Nita benar, aku melihat sendiri Kendra menampar gadis itu." Rano menggeleng.

"Kamu mau sampai kapan bodoh Bian?! Papi gak pernah mengajari kamu menjadi lelaki bodoh dan buta!!"

"Ceraikan Nita! Jika kamu masih mau hidup nyaman dengan harta yang sekarang kamu miliki, ceraikan istri kamu itu!" Baik Bian maupun Nita terkejut mendengar ucapan Rano.

"Papi!"

"Papi tapi–" Rano menggeleng.

"Tidak ada tapi Bian, kamu menjadi bodoh dan buta saat bersama Nita!"

"Wanita ini membuat kamu kehilangan keempat istri kamu, kami kehilangan Milia, Lily, Salma dan Fatma karena pernikahan kalian.  Cucu-cucu kami kehilangan sosok ayahnya dan harus tumbuh dengan berbagai hinaan karena tingkah wanita di sebelah kamu itu."

"Dia menjauhkan kami dari Aidan juga Axel, dia membuat Axel trauma dengan bentakan, membuat saudara-saudara nya yang lain membenci Axel."

"Mami, aku gak bisa menceraikan Nita begitu saja!" Arini menggeleng.

"Kamu bisa Bian! Axel dan Aidan sudah dewasa dan mereka berhak memutuskan bagaimana hidup mereka kedepannya."

"Cukup Axel dan Aidan yang hidupnya di rusak oleh istri mu itu Bian, jangan anak-anak mu yang lain!" Bian menggeleng.

"Tapi maksud Nita baik mi!" Arini menatap tajam pada Nita yang mencoba membuka suara.

"Baik bagaimana maksud kamu? Kamu memukul anak-anak kandung kamu, mencoba menjodohkan Gala dengan perempuan yang membuat hidup Gala seperti di neraka, lalu kamu membawa gadis yang merupakan mantan kekasih Kendra dan penyebab dari koma nya Rain beberapa tahun lalu itu? Bagian mana yang baik untuk anak-anak? Tidak ada!" Bian menatap tidak percaya pada sang mami, lelaki itu menatap Nita yang mematung.

"Nita apa benar yang dikatakan mami? Gadis itu penyebab dari koma nya Rain dulu?" Nita menggeleng.

"Aku gak tau mas, selama aku kenal Anya, dia gadis baik-baik, bahkan Resta juga kenal sama dia." Rano menggeleng.

"Kamu kira kenapa Kendra dan Rain bisa sangat membenci gadis itu? Kendra dan Rain tidak pernah menggunakan kekerasan kecuali lawannya sangat keterlaluan. Jika kamu tidak mau kehilangan pewaris Malendra, ceraikan Nita!" Bian mengepalkanntangannya dan mengangguk.

"Berikan aku waktu untuk memikirkan semuanya pi, aku harus mengurus hal itu dengan Nita." Nita menatap tidak percaya pada Bian, bagaimana bisa Bian mengatakan hal itu.

"Mas!"

"Kita pulang ke surabaya malam ini, ada banyak hal yang perlu kita bahas nanti!"
.
.
.
.
.
"Kendra." Kendra baru saja keluar dari kamar Axel hanya melirik pada Bian yang baru saja memanggilnya.

"Kendra, papa minta maaf nak." Kendra mengabaikan sepenuhnya atensi Bian di hadapannya.

Sret

"Kendra, papa minta maaf nak. Dengarkan papa dulu." Kendra langsung menarik tangannya dari cekalan Bian, dan menatap tajam pada sang ayah.

"Apa lagi? Sana urusin aja cewek murahan itu!" Bian menggeleng.

"Papa tau papa salah Ken, maaf papa gak tanya dulu siapa dia dan alasan kalian memperlakukan dia seperti itu." Kendra mendengus kesal.

"Oh."

"Kendra–"

"Tapi aku gak peduli! Aku mau pulang ke jogja sama bang Rain, opung udah kasih izin jadi aku gak perlu izin papa lagi! Lagian aku sama bang Rain gak mau jadi anak papa lagi!" Bian mematung mendengar ucapan Kendra.

"Kendra, gimana pun kamu sama Rain itu anak papa, gak ada yang bisa memutus hubungan darah." Kendra menggeleng.

"Tapi aku gak mau! Papa sendiri yang bilang kenapa ibuk punya anak yang kasar kayak aku sama abang, selama ini ibuk gak pernah protes waktu kami bikin perhitungan sama orang yang udah buat masalah sama kami, kenapa papa protes?!"

"Apa hak papa? Papa bahkan gak ada waktu cewek jalang itu ngefitnah dan ngejebak bang Rain sampai bang Rain koma! Papa gak ada usaha buat menjarain cewek itu, semua usaha untuk menuntut keadilan itu ibuk yang lakuin, bukan papa!"

"Papa gak punya peran apapun di hidup ku sama abang! Jadi papa gak usah berlagak seperti paling mengerti kami. Asal papa tau aku sama abang itu benci sama papa!!" Bian mematung saat Kendra memekik di depan wajah nya, tidak percaya mendengar hal itu dari putra almarhum mantan istri yang dia cintai.

"Kendra cukup, kamu masih puasa." Kendra yang mendengar teguran pelan Rain segera melangkah mendekati Rain dan menarik tangan sang kakak untuk kembali ke lantai dua.

"Itu adalah harga yang harus kamu bayar karena menyakiti mereka Bian, sekarang jika kamu mau mereka tetap tinggal disini, cepat ceraikan Nita." Bian menunduk dengan tangan terkepal, semua putranya ada disana, bahkan Axel dan Aidan, namun keduanya tidak mengatakan apapun saat sang kakek meminta nya menceraikan sang ibu.

"Papa beneran bodoh, apa papa ketularan bodohnya om Bima?" Bian menatap tidak percaya pada Resta.

"Resta." Resta mengibaskan tangannya.

"Jangan minta tolong aku, aku gak mau bantuin papa."
.
.
.

Grantha : Ramadhan PertamaWhere stories live. Discover now