XL

6 0 0
                                    

Dua tahun yang lalu...

Helqi dengan enggan mengikuti ibunya memasuki sekolah kakak kembarnya. Dengan terburu-buru ibunya menduduki kursi lipat besi yang biasa dipakai untuk orang makan di acara pernikahan di depan sebuah aula. Helqi masih cemberut mengikuti jejak ibunya.

"Bentar lah, Qi. Cuma ngukur badan doang," begitu alasan si ibu sambil menepuk-nepuk punggung Helqi sambil tersenyum.

"Si kakak pake acara sakit segala," dengus Helqi dengan kesal. Bukannya ia tidak mau membantu ibunya, tetapi kakaknya memang anak yang sedikit kurang berpikir panjang. Memang siapa yang suruh main hujan-hujanan sehari sebelum daftar ulang sekolah? Bukannya ibu mereka sudah mewanti-wanti agar menjaga kesehatan?

"Kayak gak tau dia aja. Udahlah biarin aja, kan kalian badannya seukuran."

"Tapi harusnya hari ini aku kan main... game..." Helqi terbata. Kata-katanya terpotong ketika seseorang berjalan mencari kursi kosong dan duduk di sana dengan anteng.

Gadis itu berambut sebahu, matanya bulat, bibirnya merona, tubuhnya mini. Mengenakan seragam putih-biru, gadis itu datang bersama ibunya. Tanpa melihat sekitar, gadis itu membuka tas di atas pangkuannya dan mengeluarkan sebuah buku. Tanpa menungu lama gadis itu tenggelam dalam bukunya, memberikan kesempatan pada Helqi untuk terus memerhatikan gadis itu lamat-lamat.

Sayangnya ia masih anak kecil yang tidak memiliki keberanian untuk berkenalan. Ia juga pasti akan malu sekali jika tiba-tiba mengajak kenalan di depan ibu-ibu. Juga... dia di sini bukan sebagai Helqi, tetapi Haikal. Maka ketika nama Haikal dipanggil, ia dan ibunya segera berjalan memasuki aula yang di dalamnya ada meja berderet panjang. Meja-meja itu bertuliskan DAFTAR ULANG, SERAGAM OLAH RAGA, SERAGAM ABU-ABU, SERAGAM BATIK, AKSESORIS di setiap meja. Selama mencoba-coba semua seragam, kepalanya sesekali menoleh ke arah jalan masuk aula. Tetapi gadis itu belum juga dipanggil. Ia ingin tahu siapa namanya. Siapa tahu ia bisa suatu hari kembali ke sini dan berkenalan. Tetapi sampai mereka selesai gadis itu tak kunjung masuk aula. Dan ketika Helqi keluar dari aula, gadis itu tidak ada di sana, hanya ada ibu gadis itu yang sedang mengipasi wajah dengan sebuah kipas hijau mengilap.

Helqi tidak akan pernah bertemu lagi dengan gadis itu. Ia pun seringkali mengamati foto kelas  kakaknya, kalau-kalau Tuhan berbaik hati mau menjodohkannya dengan gadis misterius itu. Tetapi ia tidak pernah menemukannya. Sampai tiba-tiba ia melihat layar komputer kakaknya di kamar. Mata itu masih sama, bulat. Kulitnya merona kemerahan dihiasi sunggingan senyum yang manis. Rambut itu lebih panjang dari pertama kali Helqi melihatnya. Dan kakaknya mengenalkan gadis itu sebagai sahabatnya. Helqi tidak percaya, sahabat macam apa yang memasang foto sahabatnya untuk wallpaper komputer?

"Tapi ternyata kamu cuma jadiin dia pelarian, doang." Helqi mengakhiri ceritanya sementara Haikal di hadapannya melongo tidak percaya. Memang ada cerita se-absurd ini?

"Tapi enggak... dari awal aku suka sama dia bukan sebagai sahabat." Haikal kembali pada kesadarannya.

"Lho? Masa? Terus kenapa enggak pernah nembak?" Helqi menatap kakaknya dengan geli juga kesal.

"Yaaaa... belum waktunya aja, Qi."

"Bohong! Waktu Andah pengen balik tanpa pikir panjang mau." Helqi mendengus.

"Ya itu kan sebelum tahu si Andah aslinya kaya apa." Haikal masih berusaha membela diri.

"Berarti Fla cadangan doang?" Helqi berdecak membuat Haikal terdiam. "Buat aku dia bukan cadangan, Kak."

Helqi mematikan TV dan melempar remotnya ke atas sofa di sebelahnya. Diamnya Haikal meyakinkan dia bahwa ini saatnya untuk hengkang dari hadapan kakaknya. Helqi melangkah menjauh, menaiki tangga dan masuk kamar, meninggalkan Haikal yang sedang merenung.

Way Back to YouWhere stories live. Discover now