LXIII

7 0 0
                                    

Reyhan memasuki kantin tempat bimbel dengan langkah takut-takut. Ia tidak yakin apa yang harus dilakukannya jika bertemu dengan Fla di sana. Biasanya mereka makan siang bersama dan entah kenapa sepertinya memang sudah seharusnya mereka begitu. Ketika Reyhan melihat kantin yang masih sepi ia pun merasa lesu. Ia memesan mie goreng dengan telur mata sapi dan duduk di meja tempat dia biasa duduk bersama Fla dengan air mineral botol di hadapannya.

Reyhan duduk di sana sambil menatap botol minumnya yang penuh embun, yang ia pikirkan hanyalah Fla. Dan walau pun matanya menatap botol minum berembun itu seakan-akan ia memiliki tatapan laser seperti Clark Kent, telinganya sangat tajam mendengar semua suara di sekitarnya. Ia berharap bisa mendengar suara Fla dari kejauhan. Mengetahui kalau gadis itu sehat dan hidup di bumi yang sama dengannya adalah hal yang terpenting saat ini.

"Aku pulang, ya." Fla membuka pintu mobil dan turun. Reyhan ikut turun dan mengejarnya. Ia tidak bisa membiarkan Fla pulang sendiri.

"Aku anter." Reyhan menangkap tangan Fla.

"Re, aku udah bisa naik bus dan angkot sendiri." Fla berhenti berjalan dan menatap Reyhan sambil tersenyum simpul.

"Aku tahu, tapi aku pingin nganterin kamu pulang." Reyhan bersikeras.

"Rumahku jauh."

"Iya."

"Ya udah."

"Aku enggak keberatan." Reyhan menatap Fla dengan mantap. "Tolong... aku anter."

Fla melirik kiri dan kanan dulu sebelum akhirnya mengangguk dan mereka kembali ke mobil Reyhan. Reyhan mau membukakan pintu untuk Fla tapi Fla sudah membukanya duluan. Pemudah itu dengan segera ke sisi pengemudi dan masuk ke dalamnya. Selain ia ingin mengantar Fla, ia masih punya banyak pertanyaan untuk gadis itu. Tapi entah kenapa bibirnya kelu, otaknya kosong. Selama perjalanan hanya lagu dari radio menemani mereka. Dan sampai akhir pun Reyhan masih diam seribu bahasa.

"Makasih Re." Fla menoleh dan tersenyum ketika mobil Reyhan sudah terparkir di depan rumah Fla. Ia sudah bersiap memegang gagang pintu untuk keluar tapi Reyhan tidak kunjung membuka kuncinya. Fla menoleh lagi menatap Reyhan. "Re?"

"Aku harus gimana?" Reyhan akhirnya membuka mulut.

"Apanya?"

"Gimana ngadepin kamu kalau kita lagi les bareng?" Reyhan menoleh, membalas tatapan Fla.

"Kayak biasa aja." Fla menggigit bibirnya. "Kalau ketemu sapa."

"Kamu bilang kita gak bisa temenan dulu..."

"Temenan kaya sebelumnya, Re. Kita masih temenan... dengan jarak aman."

Reyhan mengembuskan napas. Ia harus menyiapkan hati kalau tiba-tiba bertemu Fla. Lalu wajahnya tegak lagi dan ia tersenyum sambil menelengkan kepalanya, menganggap seakan-akan Fla ada di hadapannya. Ia harus bisa kuat. Fla juga selama ini sudah kuat menghadapinya.

"Eh, Reyhan!"

Reyhan menoleh dengan cepat dengan wajah yang langsung dibuat datar. Seorang anak perempuan teman sekelasnya di kelas arsitek melambai padanya. Ia lupa, siapa namanya? Wini? Dini? Dengan senyuman ia membalas sapaan itu.

"Reyhan hari ini portfolionya ngerjain bagian apa?" Wini/Dini bertanya sambil menghampirinya di meja kantin.

"Oh, kayaknya sih yang bangunan pake cat air." Reyhan mengingat-ngingat dengan saksama.

"Oh, sama. Aku juga," gadis itu tersenyum manis. "Nanti mau bareng? Ada anak seni rupa yang katanya jago cat air, anak-anak lain mau pada minta ajarin dia."

"Oh.." Reyhan mengangguk-angguk. "Boleh."

"Oke. Nanti bareng ya. Kamu makan apa?" tiba-tiba gadis itu duduk di hadapan Reyhan. "Aku lagi pesen seblak. Aku duduk bareng, ya?"

Reyhan mengangguk tepat pada saat sepiring mie telur pesanannya datang. Lalu gadis di depannya, yang akhirnya ia tahu namanya Windya, mulai mengoceh tentang apa saja. Reyhan hanya asyik makan dan kata-kata Windya masuk telinga kiri keluar telinga kanan. Dan ternyata gadis itu terus menempelinya sampai mereka masuk kelas, bahkan menunggu Reyhan di depan mejanya untuk pergi ke sudut di mana anak-anak yang sedang mengerjakan cat air.

Reyhan akhirnya berjalan menuju sudut, yang adalah kelas reguler di lantai dua, cat air masih diiringi Windya yang bicara terus. Ketika Reyhan memasuki kelas itu tiba-tiba tubuhnya membeku, Fla ada di sana duduk bersama teman-temannya yang lain. Tertawa-tawa dan bercanda.

"Hai, guys! Gabung yaa!" Windya menyapa mereka dengan manis dan tentu saja disambut oleh teman-teman Fla yang lain.

Fla mendongak dan menatap Reyhan yang masih membeku di pintu masuk.

"Oh hai Re, cat air juga?" Fla tersenyum manis padanya yang malah membuat Reyhan sakit hati. Senyum itu seakan tanpa beban.

"Reyhan, sini duduk sini." Windya menarik tangan Reyhan agar duduk bersamanya di lantai. "Kita mau minta ajarin cat air, katanya kalian jago?"

"Oh," seseorang di sana menoleh ke belakang dan memanggil, "Fla, sini ada pasien!"

Fla mendongak dan Reyhan semakin grogi. Apalagi ketika Fla bangkit dan menghampirinya dan Windya, lalu duduk di tepat hadapannya.

"Boleh. Re, kamu juga mau kuajarin?" Fla tersenyum.

"Iya." Reyhan menjawab dengan suara yang ragu.

Lalu Fla memulai demo dan teorinya tentang cat air. Wajah cantik yang kecil itu dengan serius mencontohkan Reyhan dan Windya cara kerja cat air dan teknik-teknik untuk mendapatkan tekstur yang berbeda. Lalu masih menghadapi Reyhan dan Windya, tiba-tiba ponsel Fla berbunyi. Fla meliriknya dan segera memencet tombol reject dan kembali membantuk Windya dengan cat airnya dengan wajah tenang. Dan sekali lagi ponsel itu berbunyi, dan lagi-lagi Fla melirik layar ponselnya lalu langsung memencet tombol reject.

Kamu kenapa, Fla?

Way Back to YouWhere stories live. Discover now