53. Kutukan Dari Liang Kubur

5.8K 108 3
                                        

PEREMPUAN TUA BERWAJAH SETAN itu memacu kuda penarik gerobak sekencang-kencangnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

PEREMPUAN TUA BERWAJAH SETAN itu memacu kuda penarik gerobak sekencang-kencangnya. Walau gerobak telah meluncur cepat namun tangan kanannya terus saja mencambuki punggung kuda coklat. Dari mulutnya tiada henti terdengar kata-kata makian.

"Murid tak berguna! Memberi malu guru! Sialan! Kau akan terima hukuman! Kau akan terima hukuman! Jangan salahkan aku si jelek Wiku Ambar ini berlaku kejam! Diberi madu minta racun! Kau akan rasakan hukumanku murid tolol! Kau mencoreng mukaku di dunia persilatan dengan lumpur comberan!"

Lalu perempuan tua itu mencambuk lagi punggung kuda coklat hingga binatang itu berlari seperti kesetanan. Sambil memacu kuda gerobak sepasang mata perempuan tua itu memandang kian kemari. Yang dicarinya ialah sebuah pohon besar. Tempat dimana dia akan melaksanakan niatnya.

"Pohon besar! Pohon celaka! Mengapa tidak juga kutemui!" Kembali perempuan bernama Wiku Ambar itu memaki. Cambuk di tangan kanannya berkelebat lagi. Kuda Coklat meringkik keras.

Di atas gerobak yang terbuka itu tampak menggeletak sesosok tubuh berpakaian biru gelap. Dia ternyata adalah seorang gadis berwajah cantik berkulit kuning langsat. Melihat keadaannya yang tidak mampu bergerak maupun bersuara jelas sang dara berada dalam keadaan tertotok. Dan yang menotok adalah perempuan tua itu, yang bukan lain adalah gurunya sendiri. Gerobak memasuki jalan yang menikung. Wiku Ambar terus menggebrak kuda coklat hingga gerobak ini hampir terbalik ketika membelok. Di balik tikungan jalan membentang lurus dan di kiri kanan jalan tampak tumbuh pohon-pohon besar. Wiku Ambar menyeringai. Dia mencari pohon yang paling besar dan paling tinggi lalu tarik tali kekang kuda kuat-kuat, memaksa binatang itu hentikan larinya dengan mendadak. Roda-roda kereta mengeluarkan bunyi mendenyit keras, meninggalkan jejak panjang dan dalam di tanah jalanan. Debu dan pasir beterbangan ke udara. Kuda coklat meringkik keras lalu tertegak diam dengan kepala merunduk ke bawah.

Perempuan tua kembali menyeringai. Dia melirik ke arah sosok tubuh muridnya lalu mendongak seraya berkata, "Pohon hukuman sudah kutemukan. Hukuman harus dilaksanakan. Biar hapus coreng memalukan di muka tua ini!"

Lalu Wiku Ambar mengambil segulung tali dari atas lantai gerobak. Salah satu ujung tali ini dicantoli kaitan besi. Perempuan ini pegang bagian tali satu tombak di bawah kaitan lalu memutar-mutarnya beberapa kali hingga tali dan kaitan itu mengeluarkan suara menderu keras.

"Huah!" Wiku Ambar berteriak dan lemparkan tali ke atas. Kaitan besi melesat tinggi dan akhirnya mengait di cabang pohon paling atas. "Lebih baik kutinjau dulu ke atas sana!" berkata Wiku Ambar dalam hati. 

Lalu dengan gerakan enteng dan cara yang aneh, perempuan tua ini memanjat tali menuju ke atas pohon. Sampai di atas dia meneliti keadaan pohon itu, memperhatikan ke bawah dan memandang berkeliling. "Aku tak salah pilih. Ini memang tempat yang cocok untuk menghukum anak itu!" Lalu dengan cepat Wiku Ambar meluncur turun. Sampai di atas gerobak perempuan tua ini segera panggul tubuh muridnya dibahu kiri. Dia pergunakan ujung tali untuk mengikat tubuh sang dara ke tubuhnya. Lalu seperti tadi meski kini dia memanggul beban yang berat Wiku Ambar enak saja memanjat tali, naik ke atas pohon.

Sosok tubuh muridnya dibaringkan menelungkup diatas cabang besar. Ini bukan satu pekerjaan mudah membaringkan tubuh yang kaku diatas cabang pohon yang begitu tinggi. Tapi gerakan Wiku Ambar cekatan sekali. Dalam waktu singkat dia sudah membaringkan tubuh dara berpakaian biru itu menelungkup di atas cabang. Lalu dari saku besar pakaiannya Wiku Ambar keluarkan segulung tali halus yang lebih pantas disebut benang berwarna putih berkllau-kilau seolah dibuat dari sutera. Dengan benang itu diikatkannya tubuh muridnya pada cabang pohon hingga sekalipun ada badal melanda, tubuh itu tak akan jatuh ke bawah.

Setelah mengikat tubuh murldnya dengan benang aneh itu Wiku Ambar keluarkan lagi sebuah benda dari dalam saku besar. Benda ini diletakkannya pada cabang pohon yang berada tepat dibawah cabang dimana sang murid terbujur menelungkup. Ternyata benda itu adalah seekor burung merpati hutan berwarna kelabu. Binatang ini bertengger di atas cabang pohon tanpa bergerak ataupun keluarkan suara. Wiku Ambar tertawa lebar sambil usap-usap kedua tangannya.

"Hukuman sudah dilaksanakan. Sebelum pergi aku ingin dengar apa yang akan kau ucapkan. Mungkin juga kau kini berubah pikiran!"

Setelah berucap begitu Wiku Ambar lepaskan totokan di leher murldnya untuk membuka jalan suara. Tapi sang murid hanya diam dan memandang saja pada gurunya, tak mau membuka mulut mengatakan apa-apa.

"Cempaka! Apakah kau masih tetap pada jalan pikiranmu semula? Atau sekarang mau merubahnya?"

Yang ditanya tetap diam saja.

"Benar-benar murid tak tahu diri. Apa yang aku lakukan adalah untuk kebaikan masa depanmu sendiri! Mengapa kau menolaknya? Mengapa kau lebih tega mencoreng muka memberi malu diriku. Mengapa kau lebih suka menerima hukuman seperti ini?!"

Gadis bernama Cempaka itu masih diam. Hanya sepasang matanya saja yang memandang tak berkesip pada wajah tua menyeramkan itu.

"Cempaka! Kau tidak tuli dan jalan suaramu sudah kubuka! Ayo buka mulutmu!" Jawab pertanyaanku!" Wiku Ambar jadi tak sabaran lalu membentak.

Bibir sang murid tampak bergerak. Akhirnya terdengar juga suaranya berkata. "Jadi karena aku mempunyal pendapat dan jalan pikiran yang berbeda maka guru tega menghukumku seperti ini..."

"Murid bodoh! Ini bukan cuma perbedaan pendapat dan jalan pikiran! Tapi kau telah mencoreng malu besar ke mukaku! Kau telah mengguyur diriku dengan air comberan! Semua orang di dunia persilatan mentertawaiku! Dan terutama sekali aku benar-benar tak punya muka dan harga diri lagi terhadap sahabatku Ronggo Gampito serta muridnya yang bernama Jatayu itu!"

"Guru hampir dua puluh tahun aku menerima kebaikan darimu. Sebagai murid aku telah mengabdikan diri sebaik yang bisa kulakukan. Namun bagi masa depanku, aku tak ingin seorangpun yang menentukan. Termasuk guru. Kalaupun kedua orang tuaku masih hidup, aku akan melakukan hal yang sama seandainya mereka memaksakan kehendak...."

"Murid tidak membatas guna! Jadi kau tetap pada pendirianmu hah? Tidak mau merubah? Bahkan tidak mau memandang sebesar mata terhadapku?!

"Guru, selama hayat dikandung badan aku tetap menghormati guru. Hanya saja untuk urusan yang satu itu aku tidak dapat memenuhinya!"

Wiku Ambar gerakkan tangan kirinya.

Braak!

Cabang pohon di sebelah kiri patah dan jatuh ke bawah kena hantaman tangan perempuan tua itu yang tak dapat lagi mengendalikan amarahnya.

"Kau dengar baik-baik Cempaka! Mulal detik ini hukuman jatuh atas dirimu. Jika kau tidak mau merubahnya maka kau akan menemul ajal secara perlahan-lahan di atas pohon ini! Namun aku masih memberikan satu kesempatan terakhir. Jika kelak pikiranmu berubah maka pergunakan mulutmu untuk meniup burung merpati yang bertengger di bawahmu. Begitu burung Itu merasakan tiupanmu, dia akan terbang ke tempat kediamanku. Jika aku melihat burung Ini muncul, itu pertanda bahwa kau bersedia memenuhi permintaanmu. Maka aku akan datang kemari untuk membebaskanmu!"

Habis berkata begitu Wiku Ambar totok kembali jalan darah di leher muridnya tapi dia juga menekan salah satu bagian tengkuk gadis itu. Sebelum pergi dia berkata lagi, "Aku masih mengharapkan kau akan berubah pikiran. Mulutmu memang tak bisa bicara atau bersuara. Tapi kau bisa meniup. Nah, tiuplah merpati itu...!"

Setelah menatap wajah muridnya sesaat, Wiku Ambar meluncur turun dengan tali. Lalu tali itu digulungnya, dicampakkan ke atas gerobak.

"Huah!" Wiku Ambar berseru. Cambuk di tangan kanannya berkelebat tiga kali. Kuda penarik gerobak menghambur ke depan.***

KESUNYIAN MALAM DIROBEK OLEH berbagai suara yang menakutkan. Mulai dari suara burung hantu sampai pada suara mendesis di antara semak belukar. Lalu suara menggereng dan sesekali ada lolongan anjing hutan di kejauhan.

Cempaka mendengar semua suara-suara itu sepanjang malam. Sebagai seorang yang telah mendapat gemblengan ilmu silat luar dalam semua itu tidak mendatangkan rasa takut dalam dirinya. Hanya dinginnya udara malam, apalagi menjelang pagi membuat gerahamnya bergemeletukan. Untuk memperkuat daya tahan terhadap udara dingin, gadis itu atur jalan nafas, kerahkan tenaga dalam yang disertai pengaturan jalan darah.

Sang dara tahu kalau dia tidak akan merubah ptkirannya. Bahwa dia tidak akan memenuhi permintaan gurunya. Karena itu dia sadar pula bahwa dia akan menemul kematian dalam keadaan terikat di atas cabang pohon itu. 

Serial Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 - Bastian TitoWhere stories live. Discover now