Wiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
MATAHARI belum lama tenggelam. Namun pulau kecil di pantai barat pesisir Andalas itu telah terbungkus kegelapan. Kesunyian yang mencengkam dibayang-bayangi oleh deru angin laut dan debur ombak yang memecah di pasir pulau. Sesekali kunang-kunang beterbangan di udara, sesaat menjadi titik-titik terang yang tak ada artinya lalu menghilang lenyap dan kembali kegelapan kelam menghantui.
Sesosok tubuh berjalan terbungkuk-bungkuk dalam kegelapan. Gerakan kedua kakinya enteng dan hampir tidak terdengar. Namun binatang-binatang melata yang bertelinga tajam dan ada disekitar situ masih dapat mendengar gerakan langkah kaki orang ini lalu cepat-cepat melarikan diri menjauh.
Di samping serumpun pohon bakau orang ini hentikan langkahnya. Telinganya dipasang tajamtajam. Kedua matanya memandang tak berkesip ke muka. Di depannya dalam kegelapan dia melihat, ada mata air kecil jernih, yang membentuk sebuah parit dangkal. Dia mengikuti parit itu ke arah seberang sana hingga pandangan matanya tertumbuk pada akar sebuah pohon yang sangat besar.
Lama orang ini menatap pohon besar yang tegak menyeramkan sejarak dua puluh langkah dari tempatnya berdiri. Matanya memandang ke arah batang pohon yang besarnya lebih dari tiga pemelukan tangan manusia itu. Lalu dia menyeringai dan gelengkan kepala. Dari mulutnya terdengar ucapan perlahan.
"Di saat orang hendak melakukan kebaikan, menjenguk sahabat yang berpulang, masih saja ada makhluk-makhluk lain hendak berbuat kejahatan."
Orang ini kembali memandang ke arah pohon, lalu dia berseru. "Manusia dibalik pohon! Apa maksudmu sengaja sembunyi disitul Hendak menghadang dan membokong?!"
Tak ada sahutan.
Angin laut bertiup kencang. Semak-semak dan daun-daun pepohonan terdengar bergemerisik. Seekor kadal hutan melintas cepat di depan kaki orang yang tegak dekat mata air.
"Ah, dia tak mau menjawab..." kata orang yang barusan bicara. "Kalau begitu terpaksa aku harus meneruskan langkah." Dengan tangan kanannya dia mematahkan sebuah ranting kecil di samping. Lalu bertongkatkan ranting ini, orang itu meneruskan langkahnya. Melompati parit kecil di depannya. Sesaat kemudian dia telah sampai di hadapan pohon besar. Sosok tubuhnya masih saja tetap terbungkuk-bungkuk seperti tadi. Namun sepasang mata dan telinganya dipasang benar-benar.
Satu langkah dia akan melewati pohon besar, tiba-tiba laksana setan keluar dari sarangnya satu bayangan putih melompat keluar dari balik pohorl. Sebuah benda berbentuk tombak yang memiliki dua mata menderu ke arah kepalanya!
"Membokong adalah pekerjaan pengecut!" seru orang yang diserang. tangan kanannya yang memegang ranting digerakkan dengan sebat ke atas.
Orang ini tahu sekali bahwa ranting yang dipegangnya tidak akan menang melawan tombak besi yang menghantam ke arahnya. Karena itu dia sengaja tidak mau menangkis tetapi berusaha memukul lengan yang memegang tombak bermata dua itu.
Si penyerang gelap rupanya tahu apa yang hendak diperbuat lawan. Sambil menggeser kakinya dan miringkan tubuh ke kanan, tombaknya yang tadi mengemplang kini ditusukkan ke dada. Tak ada jalan lain. Mau tak mau yang diserang sekarang terpaksa pergunakan rantingnya untuk menangkis. Ranting kecil itu menyelusup ke depan, masuk di antara dua mata tombak.
Orang memegang tombak terkejut ketika merasakan bagaimana tombak besinya laksana ditahan satu kekuatan dahsyat membuatnya tidak mampu untuk mendorong walau sudah kerahkan seluruh tenaganya. Dengan nekad kalau tadi dia hanya andalkan tenaga luar, orang ini kerah-kan tenaga dalam lalu sambil mendorong dia keluarkan bentakan keras.
Kraaakkkk!
Ranting kayu berderak patah. Tapi tongkat bermata dua terpelanting ke kiri, nyaris terlepas. Si pemilik tombak mundur tiga langkah, matanya memandang ke depan, coba menembus kegelapan untuk dapat melihat wajah orang yang gagal diserangnya itu. Tapi sia-sia saja. kegelapan malam begitu pekat sehingga walau berada cukup dekat dia tidak bisa melihat wajah orang itu, apalagi mengenali-nya.
Maka diapun bertanya membentak. "Siapa di situ?!"
Jawaban yang didapatnya justru bentakan pula. "Kau yang menghadang dan menyerang! Aku yang lebih layak menanyakan siapa dirimu!"
Orang dibalik pohon keluarkan suara mendengus.
"Aku Kiyai Surah Ungu dari Banten! Katakan siapa dirimu?!"
"Kiyai Surah Ungu dari Banten...?" mengulang orang yang masih memegang patahan ranting. "Ah... ah... ah! Bukankah kau orangnya yang bergelar Pangeran Tanpa Mahkota, yang menjauhkan diri dari Kesultanan karena tidak suka dengan kehidupan Keraton yang menurutmu menjijikkan?"
Dalam gelap berubahlah paras orang dibalik pohon. Rasa terkejut membuat dia mengeluarkan seruan tertahan.
"Kau telah mengetahui siapa diriku, lalu kau sendiri siapa adanya?!" tanya Kiyai Surah Ungu.
"Aku belum mau memberi tahu sebelum aku men-dengar apa keperluanmu jauh-jauh datang ke pulau terpencil ini!"
"Kau keliwat mendesak. Tapi tak jadi apa karena kau ada di atas angin. Aku kemari untuk melayat seorang kawan yang kabarnya meninggal beberapa waktu lalu dan dimakamkan di pulau ini! Nah aku sudah mengatakan yang sebetulnya padamu, sekarang giliranmu memberi tahu siapa dirimu dan apa pula keperluanmu gentayangan di tempat ini!"
Orang yang ditanya tertawa pendek. "Belum.... Belum Kiyai. Aku belum akan menjawab pertanyaanmu. Masih ads pertanyaan-pertanyaan lain yang perlu kuajukan.... '
"Kau membuat aku jadi jengkel dan marah! Apa kau kira diriku ini seorang pesakitan yang tengah diperiksa dan perlu ditanyai segala-galanya?!"
"Jangan cepat jengkel, apalagi marah Kiyai Surah Ungu. Di malam yang gelap begini dimana kita tidak dapat melihat wajah satu sama lain, tipu menipu bisa saja terjadi!"
"Apa maksudmu dengan kata-kata itu?!" tanya Kiyai Surah Ungu.
""Lupakan saja ucapanku tadi. Aku ingin tahu siapa sahabat yang kau katakan meninggal dan dimakamkan di pulau ini..."
"Kau pasti kenal. Dia seorang tokoh silat nomor satu di kawasan Andalas ini, Pernah membuat nama besar dan menggegerkan seantero tanah Jawa beberapa puluh tahun lalu. Dia pernah menyandang gelar Pendekar Gila Patah Hati. Adapula yang memberinya julukan Iblis Gila Pencabut Jiwa. Namun di kalangan golongan putih dia lebih dikenal dengan panggilan Si Tua Gila. Nah sekarang apakah kau sudah puas atau masih hendak merahasiakan dirimu sendiri?!"
"Ah, rupanya kita mempunyai tujuan yang sama!"
Kiyai Surah Ungu merasa heran. Tujuan yang sama belum tentu berarti hati yang sama! ""Katakan apa maksudmu...?"
"Aku merasa kau ikuti sejak aku menjejakkan kaki di pulau ini. Kecurigaan membuatku sengaja menghadangmu di balik pohon ini. "
"Begitu...?" Orang itu batuk-batuk beberapa kali.
"Kita ternyata adalah dua sahabat lama yang puluhan tahun tak pernah bertemul"
Kiyai Surah Ungu maju dua langkah.
"Aku memang rasa-rasa pernah mendengar suaramu. Rasa-rasa mengenali. Tapi...Ah! Otakku sudah agak pikun. Sulit bagiku menerka kalau kau tidak segera memberi tahu slapa dirimul"
"Aku Ramadi Watampone dari Bugis!"
"Astaga! Betul kiranya aku berhadapan dengan kawan sendiri! Bukankah kau yang di timur dikenal dengan nama besar Pendekar Badik Emas?!"
Orang yang mengaku bernama Ramadi Watampone tertawa perlahan. "Ulah manusia memang banyak, aku kebagian menerima ulah dalam bentuk gelar seperti itu!"
Kiyai Surah Ungu sisipkan tombak pendeknya di pinggang. Dia menyalami Ramadi Watampone. Kedua orang ini kemudian malah saling berangkulan.
"Puluhan tahun tidak bertemu. Sekali bertemu di tempat gelap di pulau terpencil begini! Siapa yang tidak saling curiga!" kata Kiyai dari Banten itu. "Nah, kukira kehadiranmu disini tentulah juga untuk melayat sahabat yang mendahului kita."
"Kau betul Kiyai Surah. Hanya sayang, kita sama-sama tidak sempat melihat wajah Tua Gila penghabisan kali sebelum dikubur..."
"Ada baiknya kita segera sama-sama menuju ke makam sahabat kita itu. Biar aku berjalan duluan..."
"Kalau begitu aku mengikuti dari belakang," kata Ramadi Watampone.
Dalam gelap kedua orang yang sama-sama berusia hampir tujuh puluh tahun itu berjalan beriringan menuju bagian pulau sebelah timur. Tak berapa lama kemudian mereka keluar dari kerapatan pepohonan dan sampai pada sebuah lapangan kecil yang dikelitingi oleh batu-batu karang runcing diseling oleh batu-batu cadas membentuk dinding setengah lingkaran.
Karena tempat ini agak terbuka maka kepekatan malam masih bisa ditembus pandangan mata. Di ujung depan, di sebelah tengah lapangan tampak dua gundukan tanah kuburan yang masih merah.
Dari dua makam itu hanya satu yang memiliki batu nisan.
Kiyai Surah Ungu dan Ramadi Watampone melangkah ke arah makam namun di tengah lapangan langkah kedua orang ini mendadak tertahan. Ada dua sosok tubuh menggeletak tak berapa jauh dari makam. Ketika diperiksa keduanya ternyata tidak bernyawa lagi. Wajah mereka ter-tutup darah yang mulai mengering. Pada kening masing-masing kelihatan sebuah lobang sebesar kuku ibu jari. Dari lobang inilah darah sebelumnya mengucur.
"Kiyai Surah... Kau mengenali siapa adanya mayat-mayat ini?!"
Yang ditanya menggeleng. Malah balik bertanya "Kau...?"
"Tak pernah kulihat wajah keduanya sebelumnya. Tapi dari dandanan mereka pasti yang seorang dari dunia per-silatan dan satu lagi yang masih menggenggam keris seperti orang bangsawan. Mungkin juga pejabat dari sebuah kerajaan..."
Kiyai Surah mengambil keris dari genggaman mayat. Meneliti badan dan hulu senjata itu lalu berkata, "Gagang keris menunjukkan senjata ini berasal dari Istana Gading di selatan..."
"Kita menghadapi satu peristiwa pembunuhan, Kiyai!" kata Ramadi Watampone alias Pendekar Badik Emas.
"Itulah yang ada dibenakku..." jawab Kiayi Surah Ungu seraya memandang berkeliling. Hanya pepohonan dan batu-batu cadas serta batu-batu karang yang tampak menghitam dalam kegelapan.
"Sulit, dipercaya, pada saat kita hendak menyambangi makam seorang sahabat, tahu-tahu dihadapkan pada peristiwa seperti ini. Siapa yang dibunuh dan siapa yang membunuh?'
Ramadi Watampone memegang tubuh salah satu mayat lalu berkata, "Meski darah di mukanya mulai mengering tapi tubuhnya masih agak hangat. Pertanda orang ini belum lama menemui kematian..."
"Jangan-jangan pembunuhnya masih berada di sekitar sini... " ujar Kiyai Surah lalu memandang berkeliling sekali lagi. Kemudian dia berpaling pada Ramadi dan berkata, "Sahabatku, ingat waktu kukatakan padamu ada sese-orang yang mengikutiku sejak aku menjejakkan kaki di pulau ini? Aku tadinya menduga kau yang menguntit. Sekarang aku punya dugaan lain. Mungkin sekali pem-bunuh itulah yang mengikutiku...!"
***
Untuk beberapa lamanya kedua orang tua itu sama-sama jongkok dan saling pandang dengan perasaan tidak enak. "Aku punya firasat ada orang lain tengah memperhatikan gerak gerik kita saat ini..." berbisik Kiayi Surah Ungu.
Ramadi Watampone jadi merasa tidak enak mendengar kata-kata itu. Tengkuknya seperti dihembus angin dingin. Setelah berdiam sesaat dia lalu berkata, "Apapun yang terjadi di tempat ini harus kita lupakan dulu. Maksud utama kita kemari adalah untuk berziarah melihat makam sahabat kita Tua Gila. Mari kita ke makam sana ..."
"Tunggu dulu sahabat," berkata Kiyai Surah seraya me-megang lengan Ramadi. "Kalau kita berada di makam, punggung kita harus membelakangi dinding batu-batu cadas dan batu-batu karang. Dengan begitu kita tak mungkin dibokong orang. Siapapun yang hendak mem-bunuh kita pasti akan muncul di arah depan..."
"Kau betul. Kita harus berhati-hati..." kata Ramadi pula. "Sebaiknya melangkah mundur."
Kedua orang itu kemudian mendekati dua buah makam dan melangkah mundur dalarn gelap. Begitu sampai keduanya mengambil kedudukan di belakang batu nisan. Mereka memperhatikan keadaan sekeliling beberapa saat.
"Aneh..." kata Ramadi Watampone. "Mengapa ada dua makam di tempat ini?"
"Keanehan itu sudah kupertanyakan dalam hati sejak pertama kali aku melihat dua makam ini tadi," menyahuti Kiyai Surah Ungu. "Yang satu ada nisannya. Terbuat dari batu hitam. Di sini digurat nama Tua Gila. Tapi makam satu di sebelahnya ini sama sekali tidak memiliki batu nisan..."
"Apakah sahabat kita Tua Gila mempunyai istri?" tanya Ramadi Watampone.
Kiayl Surah menggeleng. "Setahuku kakek-kakek itu tak pernah punya istri... Kalaupun ini makam istrinya, lalu mengapa tidak ada batu nisannya?"
"Hemmm, sulit diduga makam siapa yang satu ini," berkata Pendekar Badik Emas.
"Ada satu keanehan lagi..." ujar Kiyai Surah.
"Apa?"
"Kedua kuburan ini sama-sama masih merah tanahnya. Berarti siapapun yang dimakamkan di dua kubur ini waktunya tidak berbeda banyak ..."
"Kau benar," kata Ramadi dan hatinya merasa tidak enak. lalu setengah berbisik dia bertanya: "Apakah kau mencium bau sesuatu...?"
Kiayi Surah Ungu menatap Ramadi sesaat lalu meng-hirup udara malam dalam-dalam, coba membaui sesuatu yang dimaksudkan Ramadi Watampone.
"Memang ada bau sesuatu. Tapi sulit kuterka bau apa..." kata sang Kiayi kemudian. "Bau apa yang tercium oleh hidungmu, Pendekar Badik Emas?"
"Seperti bau asap..." jawab Ramadi pula. "Baunya ada tapi bentuknya tidak kelihatan."
"Sudahlah. Mari kita membaca doa dan apa saja untuk almarhum sahabat kita Tua Gila. Mudahmudahan dia di-berikan tempat yang paling baik oleh Yang Maha Kuasa."
Ramadi mengangguk. Kedua orang tua itu lalu mem-baca berbagai surat suci dan memanjatkan doa panjang bag! Tua Gila. Menjelang dini hari baru mereka selesai. Ramadi Watampone memandang pada sang Kiyai lalu ber-tanya apa yang akan mereka lakukan sekarang.
"Sesudah menengok makam Tua Gila sebenarnya kita bisa saja segera meninggalkan pulau ini. Tetapi tidak pantas rasanya kalau kita tidak mengurusi jenazah kedua orang ini..." berkata Kiyai Surah.
"Kalau begitu kita terpaksa menunggu sampai pagi."
"Kita tidak punya peralatan cukup untuk menggali kubur dan menanam jenazah mereka. Aku punya cara yang lebih gampang. Kita memanggul masing-masing seorang dari keduanya. Membawanya ke atas perahu. Lalu membuang-nya di tengah lautan. Itu lebih balk dari pada meninggalkan mereka membusuk atau dirusak binatang di tempat ini."
Baru saja Kiyai Surah berkata begitu tiba-tiba dikejauh-an terdengar suara raungan anjing, panjang meng-gidikkan.
Kiyai Surah merapatkan kerah jubahnya. "Aneh... Di pulau seperti ini ada anjing..:" katanya.
"Makin lama berada di pulau ini semakin tidak enak perasaanku," berucap Ramadi Watampone berterus-terang. "Kita berangkat sekarang?"
Kiyai Surah mengangguk.
Kedua orang itu lalu membungkuk, untuk memanggul masing-masing satu jenazah. Namun belum sempat mereka menyentuh tubuh-tubuh tak bernyawa itu tiba-tiba keduanya merasa ada seseorang bergerak di belakang mereka.
Kiyai Surah dan Ramadi Watampone segera membalik. Keduanya sama melengak kaget. Hanya delapan langkah di hadapan mereka tegak sesosok tubuh tinggi besar. Selain pakaian warna kuning yang dikenakannya, orang ini juga bermantel hitam dalam sebatas lutut. Wajahnya ter-lindung oleh kepekatan malam hingga tak bisa dikenali. Di kepalanya bertengger sebuah topi tinggi
"Hati-hati... Mungkin sekali kita tengah berhadapan dengan pembunuh kedua orang itu, Ramadi ..." bisik Kiyai Surah.
"Aku malah memastikan orang di depan kita ini pem-bunuh kedua orang ini," sahut Ramadi Watampone. Lalu tangannya digeser ke letak dimana senjatanya terselip yaitu sebilah badik berbadan dan bergagang emas.
Kiyai Surah Ungu melakukan hal yang sama. Berjaga-jaga dengan mendekatkan tangan kanannya pada tombak bermata dua yang tersisip di pinggangnya.
"Kalian mau bawa ke mana dua mayat itu?!" Tiba-tiba sosok yang tegak di depan sana bertanya.
Suaranya garang dan keras.
"Kami bermaksud mengurus jenazah-jenazah ini. Mem-buangnya di tengah laut," menjawab Kiyai Surah.
"Kalian tidak akan sempat melakukan itu!" Orang tinggi besar berkata.
"Kenapa tidak?!" tanya Ramadi Watampone.
"Karena kutuk telah jatuh terhadap siapa saja yang menjejakkan kaki di pulau ini. terhadap siapa saja yang Menziarahi makam Tua Gila! Dalam beberapa saat kalian berdua akan menemui kematian seperti kedua orang itu!"
Terkejutlah Kiyal Surah dan Pendekar Badik Emas.
"Jadi kau yang membunuh kedua orang itu?!" tanya Kiyai Surah puia. Tangannya telah memegang batang tombak erat-erat.
"Kamu sudah tahu kenapa bertanya?!"
"Katakan siapa kau adanya!" tanya Ramadi.
"Kalian tak layak bertanya! Manusia-manusia sahabat Tua Gila sudah kusumpah untuk mati di tempat inil Di depan makam Tua Gila sendiri!"
"Kita tidak bersilang sengketa, mengapa menginginkan jiwa kami?!" tanya Kiyai Surah.
Si tinggi tertawa pendek. "Kematian memang tidak selalu disebabkan oleh silang sengketa. Tetapi Tua Gila telah menanam bahala dan silang sengketa beberapa tahun yang silam. Dan aku telah bersumpah siapa saja sahabat Tua Gila yang muncul di sini akan kuhabisi nyawa-nya. Termasuk kalian berdua!"
Sehabis berkata begitu orang tinggi besar itu melompat ke depan. Kedua tangannya membuat gerakan aneh dan menimbulkan angin deras. Kedua kakinya yang melompat menimbulkan getaran sewaktu menjejak di tanah.
Kiyai Surah dan Ramadi yang sejak tadi memang sudah berjaga-jaga cepat menghindar ke samping. Dari kiri kanan mereka lalu balas menyerang.
Tapi angin yang menyambar dari kedua tangan orang tinggi besar itu membuat dua orang tua ini terhuyung-huyung.
Pendekar Badik Emas dan Kiyai Surah Ungu serta merta kerahkan seluruh tenaga dalam yang mereka miliki lalu menghantam secara bersamaan.
Orang yang diserang jadi terkejut juga. Dari mulutnya keluar suara seperti menggereng. Kernbali kedua tangan-nya bergerak untuk menangkis serangan kedua lawannya.
Bukkk!
Bukkk!
Terdengar dua kali suara bergedebuk begitu tangan masing-masing beradu keras. Kiyai Surah Ungu terpental empat langkah. Lengannya seperti dihantam potongan besi. Paras sang Kiyai berubah pucat. Pendekar Badik Emas mengalami hal yang sama. Tubuhnya mencelat tiga langkah dan dari mulutnya terdengar seruan kesakitan.
Si tinggi besar tertawa bergelak.
"Aku senang melihat manusia-manusia seperti kalian. Walau ilmu kepandaian cuma sejengkal tapi berani me-nantang!"
Bukan main panasnya hati Kiayi Surah Ungu dan Pendekar Badik Emas. Mereka telah mendalami ilmu silat, tenaga dalam bahkan kesaktian selama bertahun-tahun.
Dalam dunia persilatan mereka dihormati dan menjadi dua tokoh yang disegani. Kini seorang tak dikenal enak saja mengejek kepandaian mereka!
"Manusia sombong! Lekas beri tahu siapa kau sebenar-nya?!" membentak Ramadi Watampone alias Pendekar Badik Emas.
Yang dibentak malah tertawa.
"Bukankah kau manusianya yang bergelar Pendekar Badik Emas dan kawanmu itu Si Pangeran Tanpa Mahkota?"
Kiyai Surah Ungu dan Ramadi Watampone sama-sama terkesiap mendengar kata-kata itu. Dan si tinggi besar me-lanjutkan kata-katanya.
"Memandang nama besar kalian, aku memberi ke-longgaran memperpanjang sedikit seat kematian kalian. Kalian berdua kupersilahkan mengeluarkan senjata masing-masing. Perlihatkan Tombak Dwi Sula-mu Kiyai Surah Ungu. Dan kau Pendekar Badik Emas, bukankah kau datang dari jauh? Sangat sayang kalau aku sampai tidak melihat senjata mustikamu. Tunjukkan padaku kehebatan badik emasmu!"
Dua orang tua kembali terkesiap karena orang yang tidak mereka kenal itu ternyata tahu banyak tentang diri mereka, termasuk senjata-senjata yang mereka miliki. Namun merasa diejek dan dianggap remeh bahkan ditantang maka baik Kiyai Surah maupun Pendekar Badik Emas ini tidak merasa sungkan lagi.
Keduanya keluarkan senjata masing-masing. Sesaat kemudian sebilah badik emas sudah tergenggam di tangan Ramadi Watampone yang bergelar Pendekar Badik Emas sedang sebatang tombak bermata dua tampak menyilang di depan dada Kiayi Surah Ungu yang dijuluki Pangeran Tanpa Mahkota.
"Bagus...! Kalian boleh maju berbarengan!"
Dua orang tua itu menunggu sesaat. Ketika si tinggi besar tidak tampak mengeluarkan senjatanya maka kedua orang itupun serta merta menyerbu. Badik emas berkiblat menaburkan sinar kekuning-kuningan dalam kegelapan malam. Tombak Dwi Sula menderu mencari sasaran di tenggorokan lawan.
Serangan dua tokoh silat kelas tinggi itu bukan serangan main-main. Siapapun lawan pastilah nyawanya akan sangat terancam jika diserang demikian rupa. Tapi lagi-lagi si tinggi besar keluarkan suara tertawa. Lalu dia gerakkan tangannya kiri kanan.
Dua benda hitam sebesar ujung jari kelingking ber-bentuk bulat melesat dalam kegelapan malam. Baik Kiyai Surah Ungu maupun Ramadi Watampone hanya men-dengar suara berdesing tapi tidak melihat bendanya.
Ketika mereka kemudian menyadari ada benda yang melesat ke arah mereka, Kiyai Surah sapukan tombak ber-mata duanya ke atas. Ramadi Watampone babatkan badik-nya di udara. Namun gerakan kedua orang ini sudah sangat terlambat.
Di lain kejap terdengar jeritan mereka merobek kegelapan malam hampir bersamaan.
Tubuh kedua jago tua ini terkapar di tanah di hadapan dua buah makam. Satu di belakang makam Tua Gila, satunya di belakang makam tanpa nisan! Keduanya menemui ajal dengan mata membeliak!
Di kening masing-masing tampak sebuah lubang mengerikan sebesar ujung ibu jari tangan. Dari lubang ini mengalir keluar darah yang segera saja membasahi wajah dan mata mereka!
Begitu kedua orang itu meregang nyawa sosok tinggi tadi menyelinap dan lenyap di celah antara batu karang dan batu cadasl Tak lama kemudian dikejauhan kembali ter-dengar suara panjang lolongan anjing.
Angin malam bertiup tambah keras dan tambah dingin. Ombak di pantai pulau berdebar semakin keras.