Wiro Sableng atau Pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito. Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang terkenal di dunia persilatan dengan nama Sinto Gendeng...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
SATU
PERAPIAN telah lama padam. Dinginnya udara menjelang pagi itu terasa semakin mencucuk. Di samping perapian tergolek bergelung sosok seorang pemuda berpakaian biru. Tampaknya dia tertidur pulas, tak perduli embun mulai membasahi pakaian dan tubuhnya. Kenyenyakan tidur si pemuda tidak berlangsung lama.
Beberapa saat berselang kelopak matanya yang terpejam kelihatan bergerak-gerak. Telinga kiri yang lebih dekat ke tanah mendengar satu suara di kejauhan, membuat dia terjaga. Sepasang mata itu membuka makin lebar. Si pemuda bangkit, duduk, memasang telinga.
"Derap kaki kuda. Dipacu sangat kencang ke arah sini. Firasatku mengatakan bakal terjadi satu kejadian buruk. Sebaiknya aku berlaku waspada, berjaga-jaga...." Pemuda berambut licin, berkumis kecil rapi ini memandang berkeliling. Perlahan-lahan dia bangkit berdiri. Sesaat dia memandang ke arah datangnya suara derap kaki kuda. Lalu dengan satu gerakan luar biasa cepatnya, laksana hembusan angin tubuhnya melesat ke atas cabang satu pohon besar. Mendekam dalam gelap di balik kerimbunan ranting dan dedaunan, menunggu.
Si pemuda tidak menunggu lama. Suara kaki kuda yang tadi dipacu kencang datang mendekat tapi berubah perlahan. Lalu dari dalam kegelapan muncul kepala seekor kuda hitam. Menyusul kelihatan penunggangnya. Ternyata di atas punggung binatang itu bukan cuma satu orang, melainkan ada dua penunggang.
Orang pertama adalah kakek mengenakan jubah kelabu penuh renda kuning. Di pinggangnya melilit seutas tali kuning, dihias rumbai-rumbai pada kedua ujungnya. Kakek yang mulutnya selalu komat kamit ini memutar kudanya beberapa kali mengelilingi perapian. Sepasang mata berputar, memperhatikan tajam keadaan sekitarnya.
"Apinya memang padam. Tapi aku masih merasa ada hawa panas. Berarti di tempat ini sebelumnya ada orang. Lalu menghilang kemana?" Si kakek memandang berkeliling. Semula dia hendak berhenti sekedar istirahat di tempat itu. Namun niatnya dibatalkan. Rasa tidak enak menyamaki hatinya.
Di depan sosok si kakek, di atas punggung kuda kelihatan orang kedua. Orang ini tidak duduk seperti keadaannya kakek itu tetapi menggeletak menelungkup. Dan dia adalah seorang perempuan. Sesekali tangan kiri si kakek kelihatan mengusap tubuh perempuan itu sambil berkomat-kamit dan menyeringai.
Di atas pohon besar, pemuda berpakaian biru memperhatikan sambil membatin. "Aku tidak melihat wajahnya, tapi dari keadaan tubuhnya perempuan itu masih muda. Menelungkup di atas kuda, mungkin pingsan atau ditotok. Melihat cara si kakek mengelus tubuh perempuan itu agaknya ada yang tidak beres.
Jangan-jangan...." Setelah memperhatikan sekelilingnya sekali lagi, kakek berjubah kelabu memutuskan meninggalkan tempat itu. Tali kekang disentakkan. Kuda tunggangan menghambur ke depan, menembus kegelapan malam.
Di atas pohon pemuda berpakaian biru usap-usap dagu sambil berpikir. "Belakangan ini aku banyak menyirap kabar menggemparkan. Terutama beberapa kejadian di Kotaraja. Orang tua tadi, aku belum pernah melihatnya sebelumnya. Tapi melihat kepada ciri-cirinya besar kemungkinan dialah tokoh silat Keraton, momok cabang atas yang dijuluki Hantu Muka Licin Bukit Tidar.